Bahrun Naim Jadikan Anak sebagai ‘Senjata’
Bahrun Naim atau Muhammad Bahrun Naim Anggih Tamtomo disebut sebagai otak di balik peristiwa penembakan dan teror bom di kawasan Sarinah dan Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis, 14 Januari 2016.
Sempat Meretas Sistem Imigrasi
SOLO, NusaBali
Kapolri Jenderal Badrodin Haiti menyebut, posisi Bahrun Naim kini ada di Allepo, Suriah, dan bergabung dengan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Bahrun ke Suriah memakai paspor asli Indonesia, atas namanya. Agak aneh kenapa Bahrun bisa leluasa mendapatkan dokumen perjalanan resmi atas namanya mengingat Bahrun, bekas narapidana, terkait kasus terorisme, dan kepemilikan senjata api. Kasus itu membuat Bahrun dibui beberapa tahun lamanya.
Namun Bahrun Naim bisa wara-wiri ke luar negeri. Bahrun menceritakan lika-likunya mendapatkan dokumen-dokumen resmi itu melalui blognya, bahrunnaim.co. Dalam tulisan di blognya yang tertanggal 12 Juli 2015, lelaki kelahiran Pekalongan, Jawa Tengah, itu menceritakan tentang bagaimana ia mengatur perjalanan dari Indonesia menuju Suriah.
Bahrun mengaku mengurus paspor sendiri, meski harus mencari ‘orang’ Imigrasi yang bisa membantunya memuluskan dokumen. Tempo menelusuri ke Kantor Imigrasi Surakarta, menemukan catatan, Bahrun Naim mengajukan paspor ke kantor itu, pada Desember 2014.
Bahrun tak sendiri. Setelah Bahrun, ada juga perempuan bernama Siti Lestari, mengajukan paspor. Siti adalah mahasiswa asal Demak yang diduga telah diperistri Bahrun Naim. Selain dirinya, Siti juga membuat paspor untuk tiga orang anak. Dalam pengajuan tersebut, Bahrun dan Siti menggunakan identitas aslinya.
Sayangnya, pihak Imigrasi enggan menjelaskan mengenai penerbitan paspor itu. "Kami belum cek apakah paspor itu benar diterbitkan dari sini," kata Pelaksana Harian Kepala Kantor Imigrasi Surakarta Agus Setiadi kepada Tempo. Agus beralasan, hingga saat ini belum ada perintah dari atasan mereka memeriksa data itu.
Namun dalam blognya, Bahrun menjelaskan, setelah mendapatkan paspor, Bahrun mencari siasat untuk mendapatkan visa ke Turki. Agak repot karena beberapa kali Bahrun mengajukan visa untuk umrah selalu gagal karena statusnya sebagai bekas narapidana.
Bahrun mengatakan, jika akhirnya ia bisa mendapat visa ke Turki, setelah dibantu tim peretasnya, mengacak sistem Imigrasi Indonesia dan Turki. Tim ini diminta menghapus nama Bahrun dari daftar hitam pada sistem imigrasi.
Caranya Bahrun membagi kelompoknya menjadi tiga tim. Tim pertama, bertugas membuka. Tim kedua menjadi tim inti dan tim ketiga adalah penyelamat. “Saya di tim penyelamat, mengontrol jalannya semua rencana hijrah,” tulis Bahrun seperti dilansir tempo.co, Sabtu (16/1).
Bahrun menceritakan, mereka lolos hingga ke Turki di awal 2015. Dari Turki, barulah mereka menyeberang ke Suriah melalui jalur ilegal.
Semua anggota tim yang berangkat, kata Bahrun, harus mempersiapkan fisik. Salah satunya tiap hari harus latihan lari, dua kilometer menjelang tidur dan setelah bangun tidur. Hal-hal lain adalah belajar menyimpan rapi rahasia. Masing-masing tak boleh menceritakan kegiatan, dan baru tahu kapan berangkat secara mendadak.
Selain itu, mereka diminta tetap menjalan aktivitas sehari-hari. Termasuk tidak memikirkan nasib bisnis yang akan diurusi, bahkan dilarang mengganti nomor telepon yang selama ini dipakai.
Menurut Bahrun, aktivitas mereka sempat tercium intelijen. Itu mengapa Bahrun dan kelompoknya akhirnya memgunakan jalur lain menuju Turki. Akibatnya, Bahrun harus mengorbankan tiket senilai Rp 35 juta yang sudah dibeli sebelumnya.
Bahrun juga mengaku mengelabui aparat yang sudah menguntitnya. Dengan menciptakan seakan-akan, mereka masih di Solo, Jawa Tengah. Padahal hari itu, Bahrun dan dua timnya, sudah di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, siap terbang ke Turki.
Apa yang dilakukan Bahrun? Ternyata Bahrun dan timnya membawa alat pengacak sinyal dan meretas sistem online petugas bandara. Cara serupa juga dilakukan di Istanbul, Turki.
Selanjutnya...
Komentar