Disorot, Kesenjangan Pusat dan Daerah
Ketua Lembaga Pengkajian (Lemkaji) MPR RI Rully Chairul Azwar menegaskan, salah satu kajian Lemkaji adalah menyoroti kesenjangan antara pusat dan daerah.
JAKARTA, NusaBali
Khususnya Indonesia Timur. Antara lain, Papua yang penduduk miskinnya 28,4 persen, Papua Barat 24,88 persen, Nusa Tenggara Timur 22,01 persen dan Maluku 19,26 persen.
“Kesenjangan pembangunan itu yang akan menjadi fokus Lemkaji dalam simposium nasional MPR RI untuk pemantapan pelaksanaan otonomi daerah guna mewujudkan kewajiban konstitusi DPD RI,” ujar Rully di Gedung Nusantara IV, Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Selasa (3/10/2017).
Rully mengatakan, dalam era keterbukaan informasi kesenjangan antar daerah sangat mudah memicu suburnya separatisme seperti terjadi di Papua Barat. Disana pimpinan gerakan pembebasan Papua Barat Benny Wenda pada akhir September 2017 lalu membuat laporan petisi referendum kemerdekaan Papua Barat ke PBB. Konon ditandatangani oleh 1,8 juta warga Papua Parat atau 70 persen populasi penduduk di wilayah tersebut, tapi ditolak Perserikatan Bangsa Bangsa.
Sebenarnya, kata Rully, perhatian pemerintah terhadap pelaksanaan otonomi daerah cukup besar. Hal tersebut terlihat dari besarnya anggaran transfer daerah yang cenderung meningkat setiap tahun.
Pada APBN-P 2015 jumlah dana trasfer daerah mencapai Rp 664,6 triliun, APBN-P 2016 Rp 776,3 triliun. Dimana jumlah alokasi transfer ke daerah itu lebih besar dibandingkan belanja kementerian/lembaga yang sebesar Rp 767,8 triliun. Bahkan sejak 2015 pemerintah memberikan dana desa secara block grant.
Dana desa tahun 2017 mencapai Rp 60 triliun, sebelumnya pada 2015 Rp 20,77 triliun, dan 2016 Rp 46,9 triliun, sedangkan tahun 2018 Rp 120 triliun. Hanya saja, lanjut Rully, dana itu belum efektif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara merata di daerah. Sementara posisi tawar daerah dalam memperjuangkan kepentingannya di tingkat nasional tidak efektif.
“Belum efektifnya posisi tawar itu, salah-satunya disebabkan terjadinya kekosongan peran DPD RI dalam melaksanakan kewajiban konstitusionalnya, yaitu pelaksanaan fungsi legislasi, penganggaran dan pengawasan untuk memperjuangkan kepentingan daerah di tingkat nasional,” papar politisi Golkar ini.
Oleh karena itu, kata Rully, DPD telah mengajukan usulan pengkajian revitalisasi peran DPD RI sesuai kewajiban konstitusionalnya dalam momentum HUT DPD RI yang ke-13 pada 1 Oktober 2017. *k22
“Kesenjangan pembangunan itu yang akan menjadi fokus Lemkaji dalam simposium nasional MPR RI untuk pemantapan pelaksanaan otonomi daerah guna mewujudkan kewajiban konstitusi DPD RI,” ujar Rully di Gedung Nusantara IV, Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Selasa (3/10/2017).
Rully mengatakan, dalam era keterbukaan informasi kesenjangan antar daerah sangat mudah memicu suburnya separatisme seperti terjadi di Papua Barat. Disana pimpinan gerakan pembebasan Papua Barat Benny Wenda pada akhir September 2017 lalu membuat laporan petisi referendum kemerdekaan Papua Barat ke PBB. Konon ditandatangani oleh 1,8 juta warga Papua Parat atau 70 persen populasi penduduk di wilayah tersebut, tapi ditolak Perserikatan Bangsa Bangsa.
Sebenarnya, kata Rully, perhatian pemerintah terhadap pelaksanaan otonomi daerah cukup besar. Hal tersebut terlihat dari besarnya anggaran transfer daerah yang cenderung meningkat setiap tahun.
Pada APBN-P 2015 jumlah dana trasfer daerah mencapai Rp 664,6 triliun, APBN-P 2016 Rp 776,3 triliun. Dimana jumlah alokasi transfer ke daerah itu lebih besar dibandingkan belanja kementerian/lembaga yang sebesar Rp 767,8 triliun. Bahkan sejak 2015 pemerintah memberikan dana desa secara block grant.
Dana desa tahun 2017 mencapai Rp 60 triliun, sebelumnya pada 2015 Rp 20,77 triliun, dan 2016 Rp 46,9 triliun, sedangkan tahun 2018 Rp 120 triliun. Hanya saja, lanjut Rully, dana itu belum efektif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara merata di daerah. Sementara posisi tawar daerah dalam memperjuangkan kepentingannya di tingkat nasional tidak efektif.
“Belum efektifnya posisi tawar itu, salah-satunya disebabkan terjadinya kekosongan peran DPD RI dalam melaksanakan kewajiban konstitusionalnya, yaitu pelaksanaan fungsi legislasi, penganggaran dan pengawasan untuk memperjuangkan kepentingan daerah di tingkat nasional,” papar politisi Golkar ini.
Oleh karena itu, kata Rully, DPD telah mengajukan usulan pengkajian revitalisasi peran DPD RI sesuai kewajiban konstitusionalnya dalam momentum HUT DPD RI yang ke-13 pada 1 Oktober 2017. *k22
1
Komentar