MUTIARA WEDA : Dewa Luar-Dalam
Lengan memegang busur tebu, sebagai simbol pikiran yang dikuasai oleh Sankalpa dan Vikalpa. Memegang lima anak panah sebagai simbol dari tan matra (lima elemen halus) yang mendukung indera. Memandikan alam semesta dengan sinar merahnya sendiri.
Manorupeksu kodandā pancatanmātra-sāyakā,
Nijāruna prabhāpura mamajjadbrahmānda mandala.
(Lalitasahasranam, 3)
BILA perhatikan terjemahan dari sloka di atas paling tidak kita mendapat gambaran bahwa ornamen-ornamen yang dipegang dari gambaran para dewa yang ada kurang lebih merepresentasikan tubuh kita beserta dengan kelengkapannya. Hal ini bisa diperkuat dengan ‘konsep buana agung-buana alit’ yang selama ini kita pelajari. Dikatakan bahwa tubuh kita ada buana alit dan alam semesta ini adalah buana agung. Apa yang ada di buana agung akan ada di buana alit. Tubuh adalah potret mini dari alam semesta. Ada yang mengatakan bahwa jika kita ingin memahami alam semesta, maka yang diperlukan adalah masuk ke dalam diri. Memahami diri adalah cara terbaik untuk memahami alam semesta. Atas dasar ini, rasanya tidak salah jika dewa-dewa yang merupakan perwujudan dan simbol kosmik menjadi representasi dari tubuh kita. Seluruh gambaran dewa ada di dalam diri kita.
Seperti misalnya teks di atas, salah satu gambaran dari Sang Dewi dalam wujud Dewi Lalita adalah memegang busur yang terbuat dari tebu. Ini merupakan simbol pikiran kita yang dipengaruhi dan dikuasai oleh sankalpa dan vikalpa. Sankalpa adalah niat yang dibentuk oleh hati dan pikiran – sebuah sumpah, tekad, atau kehendak yang suci. Secara praktis, Sankalpa berarti tekad bulat yang secara psikologis dan filosofis terfokus pada tujuan tertentu. Sankalpa juga berarti alat yang digunakan untuk mempertajam kemauan, dan untuk memfokuskan serta menyelaraskan pikiran dan tubuh. Vikalpa artinya imajinasi, khayalan atau ilusi. Memikirkan situasi dari masa lalu dan membayangkan hasil yang berbeda, melamun, memikirkan hal-hal yang tidak ada atau membayangkan situasi dan kejadian di masa depan disebut dengan vikalpa. Jadi, ini adalah ide yang tidak ada dalam kenyataan. Pikiran yang dikuasai oleh sankalpa dan vikalpa artinya, pikiran yang penuh dengan niat dan imajinasi yang tak terkendali.
Demikian juga memegang anak panah yang berjumlah lima sebagai simbol dari lima elemen halus (tan matra) dari panca indera. Demikianlah seterusnya, setiap detail dari atribut para dewa merupakan simbol yang berhubungan dengan tubuh kita. Maka dari itu, mencari rahmat Dewa sebenarnya bisa dicari ke dalam diri. Atau dengan cara sebaliknya, kita memuja para dewa guna menghadirkan sensitivitas diri sehingga ketika kita memuja Deva, sesungguhnya kita sedang menuju ke dalam diri. Bhakti kepada Dewa adalah bentuk penghormatan pada diri. Jadi, pencarian baik di dalam diri maupun di luar diri adalah benar dan memiliki kemuliaannya masing-masing.
Oleh karena indriya kita tertuju pada objek-objeknya yang ada di luar, demikian juga pikiran senantiasa memikirkan sesuatu yang ada di luar, memuja Deva yang berstana di luar diri akan lebih mudah. Ini bisa dikatakan sebagai pondasi awal di dalam perjalanan spiritual. Memuja Surya, yang merupakan matahari, memuja Candra yang merupakan bulan, memuja Varuna yang merupakan lautan adalah langkah awal yang tepat dari sebuah perjalanan bhatin. Langkah-langkah inilah yang mampu memberikan rasa agama. Hanya ketika proses ini bisa dilalui dengan baik, perjalanan berikutnya bisa berjalan mulus. Pemujaan kemudian mengarah ke dalam diri. Di dalam dirilah matahari, bulan, lautan, dan yang lainnya bersemayam. Demikian juga ketika semua ini tamat, tahapan berikutnya baru bisa dimulai.
Deva-deva beserta dengan warna-warninya di dalam tubuh mulai mengerucut menyatu dalam sebuah keheningan. Kita menjadi sangat hening. Setelah keheningan ini tercapai, maka probabilitas kosmik memungkinkan terjadi. Dalam keheningan inilah keberadaan, pengetahuan, dan kebahagiaan terekspresi secara sempurna. Tahap inilah yang mengantarkan kita melompat menuju kebebasan sejati. Jika ini terjadi, maka kita menyatu dalam kosmik. Kita adalah kosmik itu sendiri, seperti yang diindikasikan oleh teks di atas, alam semesta termandikan oleh cahaya merah-Nya. Proses hidup sesungguhnya seperti ini, tidak kurang dan tidak lebih. Terminal akhir adalah kebebasan sejati. Tetapi, kembali oleh karena indera dan pikiran kita senantiasa mengarah keluar, maka menyatukannya pada satu titik di luar diri menjadi sangat penting di awal. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
(Lalitasahasranam, 3)
BILA perhatikan terjemahan dari sloka di atas paling tidak kita mendapat gambaran bahwa ornamen-ornamen yang dipegang dari gambaran para dewa yang ada kurang lebih merepresentasikan tubuh kita beserta dengan kelengkapannya. Hal ini bisa diperkuat dengan ‘konsep buana agung-buana alit’ yang selama ini kita pelajari. Dikatakan bahwa tubuh kita ada buana alit dan alam semesta ini adalah buana agung. Apa yang ada di buana agung akan ada di buana alit. Tubuh adalah potret mini dari alam semesta. Ada yang mengatakan bahwa jika kita ingin memahami alam semesta, maka yang diperlukan adalah masuk ke dalam diri. Memahami diri adalah cara terbaik untuk memahami alam semesta. Atas dasar ini, rasanya tidak salah jika dewa-dewa yang merupakan perwujudan dan simbol kosmik menjadi representasi dari tubuh kita. Seluruh gambaran dewa ada di dalam diri kita.
Seperti misalnya teks di atas, salah satu gambaran dari Sang Dewi dalam wujud Dewi Lalita adalah memegang busur yang terbuat dari tebu. Ini merupakan simbol pikiran kita yang dipengaruhi dan dikuasai oleh sankalpa dan vikalpa. Sankalpa adalah niat yang dibentuk oleh hati dan pikiran – sebuah sumpah, tekad, atau kehendak yang suci. Secara praktis, Sankalpa berarti tekad bulat yang secara psikologis dan filosofis terfokus pada tujuan tertentu. Sankalpa juga berarti alat yang digunakan untuk mempertajam kemauan, dan untuk memfokuskan serta menyelaraskan pikiran dan tubuh. Vikalpa artinya imajinasi, khayalan atau ilusi. Memikirkan situasi dari masa lalu dan membayangkan hasil yang berbeda, melamun, memikirkan hal-hal yang tidak ada atau membayangkan situasi dan kejadian di masa depan disebut dengan vikalpa. Jadi, ini adalah ide yang tidak ada dalam kenyataan. Pikiran yang dikuasai oleh sankalpa dan vikalpa artinya, pikiran yang penuh dengan niat dan imajinasi yang tak terkendali.
Demikian juga memegang anak panah yang berjumlah lima sebagai simbol dari lima elemen halus (tan matra) dari panca indera. Demikianlah seterusnya, setiap detail dari atribut para dewa merupakan simbol yang berhubungan dengan tubuh kita. Maka dari itu, mencari rahmat Dewa sebenarnya bisa dicari ke dalam diri. Atau dengan cara sebaliknya, kita memuja para dewa guna menghadirkan sensitivitas diri sehingga ketika kita memuja Deva, sesungguhnya kita sedang menuju ke dalam diri. Bhakti kepada Dewa adalah bentuk penghormatan pada diri. Jadi, pencarian baik di dalam diri maupun di luar diri adalah benar dan memiliki kemuliaannya masing-masing.
Oleh karena indriya kita tertuju pada objek-objeknya yang ada di luar, demikian juga pikiran senantiasa memikirkan sesuatu yang ada di luar, memuja Deva yang berstana di luar diri akan lebih mudah. Ini bisa dikatakan sebagai pondasi awal di dalam perjalanan spiritual. Memuja Surya, yang merupakan matahari, memuja Candra yang merupakan bulan, memuja Varuna yang merupakan lautan adalah langkah awal yang tepat dari sebuah perjalanan bhatin. Langkah-langkah inilah yang mampu memberikan rasa agama. Hanya ketika proses ini bisa dilalui dengan baik, perjalanan berikutnya bisa berjalan mulus. Pemujaan kemudian mengarah ke dalam diri. Di dalam dirilah matahari, bulan, lautan, dan yang lainnya bersemayam. Demikian juga ketika semua ini tamat, tahapan berikutnya baru bisa dimulai.
Deva-deva beserta dengan warna-warninya di dalam tubuh mulai mengerucut menyatu dalam sebuah keheningan. Kita menjadi sangat hening. Setelah keheningan ini tercapai, maka probabilitas kosmik memungkinkan terjadi. Dalam keheningan inilah keberadaan, pengetahuan, dan kebahagiaan terekspresi secara sempurna. Tahap inilah yang mengantarkan kita melompat menuju kebebasan sejati. Jika ini terjadi, maka kita menyatu dalam kosmik. Kita adalah kosmik itu sendiri, seperti yang diindikasikan oleh teks di atas, alam semesta termandikan oleh cahaya merah-Nya. Proses hidup sesungguhnya seperti ini, tidak kurang dan tidak lebih. Terminal akhir adalah kebebasan sejati. Tetapi, kembali oleh karena indera dan pikiran kita senantiasa mengarah keluar, maka menyatukannya pada satu titik di luar diri menjadi sangat penting di awal. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
1
Komentar