Hukuman Mati Tetap Ada di Indonesia
Kontras menilai Pemerintah tak belajar dari eksekusi mati gelombang 3.
JAKARTA, NusaBali
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly menegaskan, hukuman mati tetap akan diberlakukan. Aturan tersebut tengah dimatangkan dalam revisi rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Menurut dia, hukuman mati masih relevan untuk saat ini meski sejumlah pihak mempertentangkannya.
"Dua arus pikiran yang berbeda dua pandangan tentang hukuman mati tetap ada yang dukung dan tidak, maka kita mengambil posisi tengah," kata Yasonna, sebelum menghadiri rapat di Komisi I DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (10/10) seperti dilansir kompas.
Meski praktik suap terhadap oknum hakim masih terjadi, Yasonna menilai hal itu tak membuat aturan soal hukuman mati perlu ditinjau kembali.
Politisi PDI Perjuangan itu meminta seluruh pihak untuk bersabar menunggu pengesahan RKUHP.
"Itu kan hukum positif kita masih ada tentang hukuman mati. Tunggu saja sampai kami sahkan kembali. Sudah dekat pengesahan rancangan UU hukum pidana yang baru," kata dia.
Adapun, soal jalan tengah yang diambil adalah menjadikan hukuman mati sebagai hukuman alternatif. Hukuman tersebut juga masih bisa ditinjau kembali. Tak menutup kemungkinan vonis hukuman mati seseorang bisa berubah jika terpidana tersebut berkelakuan baik.
"Nanti setelah menjalani hukuman 10 tahun misalnya dia berkelakuan baik itu bisa diubah, itu jalan keluar yang kami ambil," kata dia.
Penuh Kejanggalan
Kepala Divisi Hak Sipil dan Politik Kontras, Putri Kanesia menilai, masih adanya vonis mati yang dijatuhkan oleh pengadilan membuktikan bahwa Pemerintah Indonesia tidak belajar dari kebijakan eksekusi mati sebelumnya.
Putri menilai pemerintah tidak belajar pada kasus eksekusi mati gelombang ketiga yang penuh kejanggalan.
Kejanggalan itu misalnya, terpidana mati tidak menerima hak-haknya ketika dia akan dieksekusi mati, seperti harus ada notifikasi dia akan dieksekusi. Seharusnya keluarga, kedutaan, pihak orangtua dan lainnya harus diinformasikan 3x24 jam sebelum eksekusi dilakukan.
Kejanggalan lainnya, masih ada terpidana mati yang menggunakan upaya hukum luar biasa seperti Peninjauan Kembali atau grasi. Namun, belum selesai upaya itu dilakukan sudah dieksekusi mati.
"Berkaca dalam kejanggalan atau kesalahan yang dilakukan oleh pemerintah dalam eksekusi mati gelombang ketiga, saya pikir negara tidak pernah belajar. Hal ini bisa dilihat justru setelah pelaksanaan eksekusi mati, vonis hukuman mati tetap diberlakukan," kata Putri, di kantor Kontras, Jakarta Pusat, Selasa (10/10/2017), terkait peringatan 15 tahun gerakan melawan praktik hukuman mati sedunia setiap 10 Oktober.
Kontras mencatat, sejak Januari hingga September 2017 setidaknya ada 32 vonis mati yang dijatuhkan. Dari 32 vonis mati itu, 22 di antaranya terkait kasus narkoba sementara 10 lainnya merupakan kasus pembunuhan. Masih dari 32 kasus vonis mati itu, 28 di antaranya merupakan vonis di level Pengadilan Negeri, sedangkan 4 kasus sisanya merupakan vonis di level Pengadilan Tinggi.
Jumlah vonis mati ini, menurut Putri, tergolong banyak dan terkesan tidak mengambil pelajaran dari kejanggalan yang diindikasikan terjadi pada eksekusi mati yang telah dilakukan pemerintah.
Resistensi terhadap aturan hukum mati masih terus disuarakan sejumlah kelompok. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Hapus Hukuman Mati (Koalisi HATI) mendesak pemerintah menghapus aturan hukuman mati dalam draf revisi RKUHP.
"Kami mendesak pemerintah Jokowi-JK untuk menggapai ketentuan pidana hukum mati dalam rancangan KUHP," kata pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Arif Maulana di kantor LBH, Jakarta, Minggu (9/10/2016).7
1
Komentar