Disiapkan, 10 Jalur Evakuasi Pengungsi Korban Gunung Agung
Aparat Desa Tembok Terapkan Sanksi Tegas bagi Pengungsi yang Melanggar
AMLAPURA, NusaBali
Polres Karangasem siapkan 10 jalur evakuasi korban bencana, jika Gunung Agung nantinya benar-benar meletus. Dua (2) dari 10 jalur evakuasi yang sisiapkan itu melalui jalur laut, yakni Pantai Amed (Desa Purwekerti, Kecamatan Abang, Karangasem) dan Pelabuhan Padangbai (Desa Padangbai, Kecamatan Manggis, Karangasem).
Jalur evakuasi laut melalui Pantai Amed ini diperutuntukkan bagi warga korban bencana erupsi Gunung Agung dari Kecamatan Abang dan Keca-matan Kubu. Sedangkan jalur evakuasi laut melalui Pelabuhan Padangbai diperuntukkan bagi warga dari Kecamatan Bebandem dan Kecamatan Karangasem. Selebihnya, 8 jalur evakuasi lainnya semua melalui jalur darat (lihat tabel).
Menurut Kapolres Karangasem, AKBP I Wayan Gede Ardana, 10 jalur evakuasi yang disiapkan ini telah dipetakan. Jalur evakuasi juga sudah disosialisasikan kepada masyarakat di setiap kesempatan.
Khusus untuk evakuasi jalur laut, kata AKBP Ardana, telah diujicobakan oleh Sat Polisiair Polres Karangasem yang dipimpin AKP I Made Wartama, dengan menyediakan speed boat dan rubber boat. “Evakuasi jalur laut disediakan untuk antisipasi jika jalur darat mengalami kendala. Misalnya, terjadi jembatan putus atau jalan diha-dang lahar dingin,” jelas AKBP Ardana di Amlapura, Jumat (13/10).
Disebutkan, setelah berhasil melalui jalur laut, nantinya warga korban bencana Gunung Agng akan disebar di beberapa titik pengungsian yang telah tersedia. “Itu kan alternatif, mudah-mudahan semuanya berjalan lancar. Tapi, kita terlebih dulu mengoptimalkan evakuasi jalur darat,” tandas AKBP Ardana.
Secara terpisah, Bupati Karangasem I Gusti Ayu Mas Sumatri mendukung langkah inovatif Kapolres yang menyediakan jalur laut untuk evakuasi pengungsi korban bencana Gunung Agung. Sebab, berdasarkan pengalaman Gunung Agung meletus tahun 1963, pengungsi sempat terjebak dan gagal melintasi jalur Jembatan Desa Bugbug, Kecamatan Karangasem menuju Kecamatan Manggis, karena jembatan keburu jebol.
“Begitu juga jembatan Sungai Jangga di Kelurahan Subagan menuju Amlapura jebol saat bencana 1963, sehingga jalan darat terputus. Karenanya, jalur evakuasi laut itu sangat penting,” tegas Bupati Mas Sumatri, Jumat kemarin.
Sementara itu, Desa Tembok, Kecamatan Tejakula, Buleleng menjadi desa yang terbanyak menerima pengungsi bencana Gunung Agung asal wilayah Kecamatan Kubu, Karangasem. Aparat Desa Tembok pun terapkan sanksi tegas untuk hidari konflik sosial, kehidupan pengungsi dan warga setempat berjalan harmonis.
Data terakhir, jumlah pengungsi asal Kecamatan Kubu yang mengungsi ke Desa Tembok mencapai 6.528 jiwa---semula terdata 7.175 jiwa. Mereka mengungsi sejak 22 September 2017 lalu. Sebagian besar warga yang mengungsi mandiri pilih numpang di rumah-rumah warga. Sisanya, ada delapan titik penampungan. Jumlah pengungsi ini hampir setara dengan jumlah penduduk Desa Tembok yang mencapai 7.900 jiwa.
Sebanyak 34 persen dari jumlah penduduk Desa Tembok merupakan warga asal Karangasem yang awalnya mengungsi saat bencana Gunung Agung meletus tahun 1963 dan akhirnya tingga; menetap di sana. “Jadi, di sini (Desa Tembok, Red) masih ada hubungan kekeluargaan dengan warga Karangsem. Sekarang, warga yang mengungsi itu lebih banyak di rumah-rumah warga, karena masih ada hubungan saudara,” ungkap mantan Kepala Desa (Perbekel) Tembok, Dewa Putu Tjakra, yang kini anggota Fraksi Demokrat DPRD Buleleng, Jumat (13/10).
Karena banyaknya pengungsi kali ini, aparat Desa Tembok menerapkan sanksi tegas terhadap para pengungsi yang tidak mematuhi ketentuan. Sanksi itu bentuknya mulai dari penahanan jatah logistik hingga diusir keluar dari Desa Tembok. Sanksi tegas diberikan agar semua pengungsi dapat diberdayakan, termasuk untuk menghidari munculnya konflik sosial dengan warga setempat.
“Memang bagi beberapa pihak, sanksi ini terlalu ekstrim. Tapi, bagi kami, ini yang terbaik, ya kami lakukan. Apa yang dilakukan ini ternyata mampu menciptakan suasana nyaman dan bersih. Semua pengungsi akhirnya patuh,” papar Perbekel Tembok, Dewa Komang Yudi Astara, saat ditemui NusaBali, Jumat kemarin.
Dijelaskan, dalam penanganan pengungsi, ada beberapa ketentuan yang ditaati. Ketentuan itu dibuat berdasarkan kesepakatan bersama, di mana masing-masing koordinator dari kelompok pengungsi membuat surat pernyataan. Ketentuan itu, masing-masing pengungsi mendapat giliran piket tiap hari. Pengungsi yang piket mendapat tugas mengatur sirkulasi bantuan logistik, mulai dari penerima, pencatatan, hingga membungkus sesuai kebutuhan, kemudian pembersihan areal pengungsi, hingga menata tenda.
“Piket ini bisa 60-70 orang tiap sift. Dalam sehari ada tiga sift. Piket bekerja hanya 4 jam setiap sift. Semua yang piket kami catat dan mendapat id card sebagai tanda piket,” jelas Dewa Yudi.
Pengungsi dari salah satu kelompok yang sama sekali tidak menjalankan piket, ada sanksi di mana batuan logistik ditahan. Untuk bisa mendapatkan bantuan logistik itu, kelompok pengungsi tersebut harus ada yang piket di hari itu. Pengungsi yang piket maupun sama sekali tidak pernah piket, akan diketahui karena nama-nama pengungsi dan dari kelompok mana, tercatat.
“Nah, ketika nanti dari salah satu kelompok itu mau mengambil bantuan logistik, datanya akan dicocokkan dengan daftar jadwal piket. Kalau sama sekali tidak piket, akan kelihatan. Di situ nanti ada petugas piket langsung menahan bantuan yang diperlukan, hinga mereka ada yang piket,” katanya. * k16,k19
Jalur evakuasi laut melalui Pantai Amed ini diperutuntukkan bagi warga korban bencana erupsi Gunung Agung dari Kecamatan Abang dan Keca-matan Kubu. Sedangkan jalur evakuasi laut melalui Pelabuhan Padangbai diperuntukkan bagi warga dari Kecamatan Bebandem dan Kecamatan Karangasem. Selebihnya, 8 jalur evakuasi lainnya semua melalui jalur darat (lihat tabel).
Menurut Kapolres Karangasem, AKBP I Wayan Gede Ardana, 10 jalur evakuasi yang disiapkan ini telah dipetakan. Jalur evakuasi juga sudah disosialisasikan kepada masyarakat di setiap kesempatan.
Khusus untuk evakuasi jalur laut, kata AKBP Ardana, telah diujicobakan oleh Sat Polisiair Polres Karangasem yang dipimpin AKP I Made Wartama, dengan menyediakan speed boat dan rubber boat. “Evakuasi jalur laut disediakan untuk antisipasi jika jalur darat mengalami kendala. Misalnya, terjadi jembatan putus atau jalan diha-dang lahar dingin,” jelas AKBP Ardana di Amlapura, Jumat (13/10).
Disebutkan, setelah berhasil melalui jalur laut, nantinya warga korban bencana Gunung Agng akan disebar di beberapa titik pengungsian yang telah tersedia. “Itu kan alternatif, mudah-mudahan semuanya berjalan lancar. Tapi, kita terlebih dulu mengoptimalkan evakuasi jalur darat,” tandas AKBP Ardana.
Secara terpisah, Bupati Karangasem I Gusti Ayu Mas Sumatri mendukung langkah inovatif Kapolres yang menyediakan jalur laut untuk evakuasi pengungsi korban bencana Gunung Agung. Sebab, berdasarkan pengalaman Gunung Agung meletus tahun 1963, pengungsi sempat terjebak dan gagal melintasi jalur Jembatan Desa Bugbug, Kecamatan Karangasem menuju Kecamatan Manggis, karena jembatan keburu jebol.
“Begitu juga jembatan Sungai Jangga di Kelurahan Subagan menuju Amlapura jebol saat bencana 1963, sehingga jalan darat terputus. Karenanya, jalur evakuasi laut itu sangat penting,” tegas Bupati Mas Sumatri, Jumat kemarin.
Sementara itu, Desa Tembok, Kecamatan Tejakula, Buleleng menjadi desa yang terbanyak menerima pengungsi bencana Gunung Agung asal wilayah Kecamatan Kubu, Karangasem. Aparat Desa Tembok pun terapkan sanksi tegas untuk hidari konflik sosial, kehidupan pengungsi dan warga setempat berjalan harmonis.
Data terakhir, jumlah pengungsi asal Kecamatan Kubu yang mengungsi ke Desa Tembok mencapai 6.528 jiwa---semula terdata 7.175 jiwa. Mereka mengungsi sejak 22 September 2017 lalu. Sebagian besar warga yang mengungsi mandiri pilih numpang di rumah-rumah warga. Sisanya, ada delapan titik penampungan. Jumlah pengungsi ini hampir setara dengan jumlah penduduk Desa Tembok yang mencapai 7.900 jiwa.
Sebanyak 34 persen dari jumlah penduduk Desa Tembok merupakan warga asal Karangasem yang awalnya mengungsi saat bencana Gunung Agung meletus tahun 1963 dan akhirnya tingga; menetap di sana. “Jadi, di sini (Desa Tembok, Red) masih ada hubungan kekeluargaan dengan warga Karangsem. Sekarang, warga yang mengungsi itu lebih banyak di rumah-rumah warga, karena masih ada hubungan saudara,” ungkap mantan Kepala Desa (Perbekel) Tembok, Dewa Putu Tjakra, yang kini anggota Fraksi Demokrat DPRD Buleleng, Jumat (13/10).
Karena banyaknya pengungsi kali ini, aparat Desa Tembok menerapkan sanksi tegas terhadap para pengungsi yang tidak mematuhi ketentuan. Sanksi itu bentuknya mulai dari penahanan jatah logistik hingga diusir keluar dari Desa Tembok. Sanksi tegas diberikan agar semua pengungsi dapat diberdayakan, termasuk untuk menghidari munculnya konflik sosial dengan warga setempat.
“Memang bagi beberapa pihak, sanksi ini terlalu ekstrim. Tapi, bagi kami, ini yang terbaik, ya kami lakukan. Apa yang dilakukan ini ternyata mampu menciptakan suasana nyaman dan bersih. Semua pengungsi akhirnya patuh,” papar Perbekel Tembok, Dewa Komang Yudi Astara, saat ditemui NusaBali, Jumat kemarin.
Dijelaskan, dalam penanganan pengungsi, ada beberapa ketentuan yang ditaati. Ketentuan itu dibuat berdasarkan kesepakatan bersama, di mana masing-masing koordinator dari kelompok pengungsi membuat surat pernyataan. Ketentuan itu, masing-masing pengungsi mendapat giliran piket tiap hari. Pengungsi yang piket mendapat tugas mengatur sirkulasi bantuan logistik, mulai dari penerima, pencatatan, hingga membungkus sesuai kebutuhan, kemudian pembersihan areal pengungsi, hingga menata tenda.
“Piket ini bisa 60-70 orang tiap sift. Dalam sehari ada tiga sift. Piket bekerja hanya 4 jam setiap sift. Semua yang piket kami catat dan mendapat id card sebagai tanda piket,” jelas Dewa Yudi.
Pengungsi dari salah satu kelompok yang sama sekali tidak menjalankan piket, ada sanksi di mana batuan logistik ditahan. Untuk bisa mendapatkan bantuan logistik itu, kelompok pengungsi tersebut harus ada yang piket di hari itu. Pengungsi yang piket maupun sama sekali tidak pernah piket, akan diketahui karena nama-nama pengungsi dan dari kelompok mana, tercatat.
“Nah, ketika nanti dari salah satu kelompok itu mau mengambil bantuan logistik, datanya akan dicocokkan dengan daftar jadwal piket. Kalau sama sekali tidak piket, akan kelihatan. Di situ nanti ada petugas piket langsung menahan bantuan yang diperlukan, hinga mereka ada yang piket,” katanya. * k16,k19
Komentar