Pengungsi 'Galau' Sambut Galungan
Sejumlah pengungsi menyatakan akan pulang untuk sembahyang Galungan, malam harinya kembali ke pengungsian. Mereka tidak berencana membuat lawar dan sate.
TABANAN, NusaBali
Pengungsi dari Karangasem yang saat ini berada di Kabupaten Tabanan dilanda ‘galau’ menjelang Hari Raya Galungan dan Kuningan. Mereka ingin pulang kampung, tetapi dihantui perasaan waswas akan status awas Gunung Agung. Bisa jadi mereka akan merayakan hari raya di tempat pengungsian.
Seperti yang disampaikan oleh pengungsi asal Banjar Gelundungan, Desa Ban, Kecamatan Kubu, Karangasem, I Nengah Pageh Adi Adnyana, 47, yang rumahnya berada di zona merah. Dirinya masih ragu untuk pulang guna merayakan Galungan dan Kuningan di kampung. “Pulang atau tidak, saya masih ragu,” ungkapnya ketika ditemui di Posko Pengungsian Kecamatan Marga, Senin (16/10).
Menurut Pageh, kemungkinan dia akan pulang ke kampungnya untuk sembahyang saja. Malam harinya balik lagi ke tempat pengungsian di Tabanan. Dirinya juga tidak merencanakan untuk ngelawar seperti perayaan Galungan dan Kuningan sebelumnya. “Mungkin juga tidak akan membuat lawar atau sate sebagai persembahan,” imbuhnya.
Hal yang sama juga dikatakan oleh I Nyoman Dana, yang masih satu banjar dengan Nengah Pageh. Demi rasa aman, dia memutuskan akan merayakan Hari Raya Galungan di tempat pengungsian. Karena rumahnya berada di zona merah status awas Gunung Agung, sehingga dia tidak mau ambil risiko. “Sebab di desa sendiri sudah ada imbauan untuk mengosongkan pemukiman,” ujarnya.
Ketika nanti merayakan Hari Raya Galungan di pengungsian, dia akan mematuhi arahan petugas untuk sembahyang. Karena untuk pulang ke kampung halaman masih ragu. Jika bolak balik sudah tidak kuat, meskipun sudah ada kendaraan. “Tabanan – Karangasem lumayan jauh, mungkin pulang kampungnya hanya sembahyang, selesai itu balik lagi ke pengungsian,” tutur Dana.
Begitu pula disampaikan oleh nenek Ni Nyoman Ngales, 70, ibu dari Nyoman Dana. Dia enggan pulang kampung semasih kondisi Gunung Agung tidak aman. “Saya sudah tua, tidak mau merepotkan, di sini saja merayakan Galungan,” ujarnya.
Ni Nyoman Ngales mengenang saat Gunung Agung meletus tahun 1963 dia mengungsi ke Buleleng. Saat itu dia baru menikah. Hujan api, hujan pasir, dia rasakan betul saat itu. Namun ketika itu Gunung Agung sudah benar-benar meletus dan melumpuhkan perekonomian, bahkan tidak ada air mengalir, barulah dia mengungsi ke Buleleng.
Ditambahkannya, zaman dulu tidak secanggih sekarang. Di mana saat ini untuk mengungsi sudah banyak kendaraan. Namun dulu di tahun 1963, untuk ke Buleleng saja dia tempuh jalan kaki selama tiga hari. Setiap malam menginap di rumah warga, kadang pula tidur di jalan. “Saya sampai 6 tahun di Buleleng sambil bekerja sebagai tukang angkut kelapa,” jelasnya.
Karenanya, Ni Nyoman Ngales berharap seandainya Gunung Agung kembali meletus agar dampaknya tidak berat dan berkepanjangan. Sebab di tahun 1963 rumah yang dia tinggalkan selama 6 tahun untuk mengungsi, ambruk. Begitu pula rumah tetangganya yang ada di Banjar Tongtongan, Banjar Cucukan, dan banjar lain hancur tersapu oleh lahar. “Saya harapkan dampak Gunung Agung jika meletus lebih kecil,” harapnya.
Di posko Kecamatan Marga saat ini ada 67 orang pengungsi. Jika dihitung total se–Kecamatan Marga ada 307 jiwa pengungsi. Dari 67 orang yang tinggal di Posko Induk Marga, 3 orang sudah pulang dengan alasan rindu kampung halaman.
“Kami sudah imbau agar tidak pulang karena kampungnya masuk status awas, tetapi mereka ingin pulang, kami tidak memaksa,” kata I Wayan Sujana, Petugas Piket Dukungan Komunikasi Kecamatan Marga.
Bupati Tabanan Ni Putu Eka Wiryastuti, menjelaskan, saat ini pihaknya tengah mendata pengungsi yang dari zona aman dan tidak. “Semasih pengungsi itu sehat, tidak masalah. Tapi sudah ada pengungsi yang kerja, baik di bangunan maupun memilah kopi,” tandas Bupati Eka. *d
Seperti yang disampaikan oleh pengungsi asal Banjar Gelundungan, Desa Ban, Kecamatan Kubu, Karangasem, I Nengah Pageh Adi Adnyana, 47, yang rumahnya berada di zona merah. Dirinya masih ragu untuk pulang guna merayakan Galungan dan Kuningan di kampung. “Pulang atau tidak, saya masih ragu,” ungkapnya ketika ditemui di Posko Pengungsian Kecamatan Marga, Senin (16/10).
Menurut Pageh, kemungkinan dia akan pulang ke kampungnya untuk sembahyang saja. Malam harinya balik lagi ke tempat pengungsian di Tabanan. Dirinya juga tidak merencanakan untuk ngelawar seperti perayaan Galungan dan Kuningan sebelumnya. “Mungkin juga tidak akan membuat lawar atau sate sebagai persembahan,” imbuhnya.
Hal yang sama juga dikatakan oleh I Nyoman Dana, yang masih satu banjar dengan Nengah Pageh. Demi rasa aman, dia memutuskan akan merayakan Hari Raya Galungan di tempat pengungsian. Karena rumahnya berada di zona merah status awas Gunung Agung, sehingga dia tidak mau ambil risiko. “Sebab di desa sendiri sudah ada imbauan untuk mengosongkan pemukiman,” ujarnya.
Ketika nanti merayakan Hari Raya Galungan di pengungsian, dia akan mematuhi arahan petugas untuk sembahyang. Karena untuk pulang ke kampung halaman masih ragu. Jika bolak balik sudah tidak kuat, meskipun sudah ada kendaraan. “Tabanan – Karangasem lumayan jauh, mungkin pulang kampungnya hanya sembahyang, selesai itu balik lagi ke pengungsian,” tutur Dana.
Begitu pula disampaikan oleh nenek Ni Nyoman Ngales, 70, ibu dari Nyoman Dana. Dia enggan pulang kampung semasih kondisi Gunung Agung tidak aman. “Saya sudah tua, tidak mau merepotkan, di sini saja merayakan Galungan,” ujarnya.
Ni Nyoman Ngales mengenang saat Gunung Agung meletus tahun 1963 dia mengungsi ke Buleleng. Saat itu dia baru menikah. Hujan api, hujan pasir, dia rasakan betul saat itu. Namun ketika itu Gunung Agung sudah benar-benar meletus dan melumpuhkan perekonomian, bahkan tidak ada air mengalir, barulah dia mengungsi ke Buleleng.
Ditambahkannya, zaman dulu tidak secanggih sekarang. Di mana saat ini untuk mengungsi sudah banyak kendaraan. Namun dulu di tahun 1963, untuk ke Buleleng saja dia tempuh jalan kaki selama tiga hari. Setiap malam menginap di rumah warga, kadang pula tidur di jalan. “Saya sampai 6 tahun di Buleleng sambil bekerja sebagai tukang angkut kelapa,” jelasnya.
Karenanya, Ni Nyoman Ngales berharap seandainya Gunung Agung kembali meletus agar dampaknya tidak berat dan berkepanjangan. Sebab di tahun 1963 rumah yang dia tinggalkan selama 6 tahun untuk mengungsi, ambruk. Begitu pula rumah tetangganya yang ada di Banjar Tongtongan, Banjar Cucukan, dan banjar lain hancur tersapu oleh lahar. “Saya harapkan dampak Gunung Agung jika meletus lebih kecil,” harapnya.
Di posko Kecamatan Marga saat ini ada 67 orang pengungsi. Jika dihitung total se–Kecamatan Marga ada 307 jiwa pengungsi. Dari 67 orang yang tinggal di Posko Induk Marga, 3 orang sudah pulang dengan alasan rindu kampung halaman.
“Kami sudah imbau agar tidak pulang karena kampungnya masuk status awas, tetapi mereka ingin pulang, kami tidak memaksa,” kata I Wayan Sujana, Petugas Piket Dukungan Komunikasi Kecamatan Marga.
Bupati Tabanan Ni Putu Eka Wiryastuti, menjelaskan, saat ini pihaknya tengah mendata pengungsi yang dari zona aman dan tidak. “Semasih pengungsi itu sehat, tidak masalah. Tapi sudah ada pengungsi yang kerja, baik di bangunan maupun memilah kopi,” tandas Bupati Eka. *d
Komentar