MUTIARA WEDA: Memuja Ishvara pada Objek
Sruti mengatakan bahwa maya adalah prakrti, penyebab material dari alam semesta, dan penguasa dari Maya adalah Ishvara Yang Agung yang menyelimuti seluruh alam semesta, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, yang merupakan seperti bagian dari Ishvara itu sendiri.
Māyām tu prakrtim vidyānmayinam tu mahesvaram
Asyāvayavabhutaistu vyāptam sarvamidam jagat
(Pancadasi, 6.123)
Salah satu teks manual komprehensif Advaita Vedanta pasca Adi Shankaracharya adalah Pancadasi karya Sri Swami Vidyaranya. Salah satu verses, sebagaimana yang dinyatakan di atas menguraikan sesuatu yang signifikan dalam praktik beragama orang Hindu. Teks di atas bisa dijadikan sebagai rujukan filosofis utama tentang prinsip pemujaan yang dilakukan oleh orang-orang Hindu. Selama ini penganut non-Hindu pada bingung melihat tata cara persembahyangan mereka. Orang-orang Hindu tampak menyembah patung, batu, pohon, gambar, gunung, dan benda-benda lainnya. Apakah mereka salah? Apakah cara memuja seperti itu tidak memuja Tuhan atau bertentangan dengan Tuhan?
Teks di atas mengatakan bahwa Prakerti yang merupakan penyebab dari alam semesta ini adalah Maya. Penguasa dari Maya adalah Ishvara (Tuhan). Ishvara menyelimuti segala yang ada, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Seluruh alam semesta ini adalah tubuh dari Ishvara itu sendiri. Alam semesta ini pada prinsipnya muncul dari Ishvara dan tidak berbeda dengan Ishvara. Terbentuknya alam semesta ini adalah melalui proses emanasi, di mana unsur-unsur pembentuk alam muncul dari dalam diri Ishvara itu sendiri.
Oleh karena itu, cara pemujaan kepada Ishvara melalui benda-benda duniawi seperti patung, pohon, dan yang lainnya telah sangat tepat, dan bahkan bentuk pemujaan yang paling dekat dan jujur. Objek berupa patung dan yang lainnya tidak hanya semata-mata sebagai objek konsentrasi dalam menghubungkan diri kepada Ishvara yang impersonal. Ketika kita mampu menemukan dan menyadari bahwa seluruh alam semesta ini sepenuhnya diselimuti oleh Ishvara dan bahkan alam itu sendiri muncul dari Beliau, maka memuja keagungan-Nya melalui benda-benda sangat logis. Ini justru termasuk pemujaan yang lebih jujur, karena kita tidak berpura-pura tahu tentang Tuhan yang tak terbayangkan. Memuja Tuhan melalui sesuatu yang paling dekat dengan kehidupan kita adalah bentuk dan cara berpikir yang bijaksana dari awal.
Tetapi, mengapa kadang kita merasa tidak pas memuja Tuhan dalam bentuk objek-objek seperti itu? Pertama, tentu karena kita tidak memiliki cukup pengetahuan tentang itu. Kedua, kita berpikir bahwa Ishvara adalah serba maha yang berada di luar jangkauan pikiran kita, sehingga ketika kita melihat pohon, batu, patung, dan yang lainnya itu sebagai sesuatu yang biasa. Ishvara tentu tidak bisa dihubungkan dengan sesuatu yang bisa kita lihat sehari-hari. Ketiga, kita selalu merasa bahwa alam sepenuhnya berbeda dengan Ishvara, sehingga kita berpikir bahwa memuja pohon, patung, dan yang sejenisnya tidak memuja Tuhan, melainkan memuja alam, dan bahkan kita berpikir cara itu hanya untuk memuja hantu.
Jika kita mau beranjak sedikit dari kebekuan berpikir seperti itu, tentu kita akan bisa melihat kebenarannya. Tuhan adalah penguasa segalanya, sehingga tidak ada ruang yang tidak dikuasainya, setiap sudut dipenuhi oleh-Nya. Hanya saja kita susah beranjak dari cara berpikir seperti itu. Mengapa? Karena secara genetis kita telah mewarisinya dari generasi ke generasi. Kita telah mewarisi sankalpa yang menutup pemahaman ini. Namun, jika kita mau belajar terus, terbuka terhadap semua jenis pelajaran yang ada, tidak terpaku hanya pada satu ajaran atau dogma, tentu apa yang terjadi di masa datang dapat kita prediksikan.
Seperti misalnya di Bali, pemujaan dilakukan dengan berbagai simbol. Bagi orang Bali, setiap ruang adalah suci. Walaupun mengenal istilah sakral dan propan, namun tetap Ishvara yang dipujanya sangat dekat, berada pada objek yang dipujanya. Apalagi mereka yang mampu melihat segalanya adalah Ishvara, tentu tidak ada ruang kosong yang tidak suci. Mereka akan siap untuk menghormati apapun. Inilah tujuan dari hidup itu sendiri, yakni menemukan esensi Ishvara. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
(Pancadasi, 6.123)
Salah satu teks manual komprehensif Advaita Vedanta pasca Adi Shankaracharya adalah Pancadasi karya Sri Swami Vidyaranya. Salah satu verses, sebagaimana yang dinyatakan di atas menguraikan sesuatu yang signifikan dalam praktik beragama orang Hindu. Teks di atas bisa dijadikan sebagai rujukan filosofis utama tentang prinsip pemujaan yang dilakukan oleh orang-orang Hindu. Selama ini penganut non-Hindu pada bingung melihat tata cara persembahyangan mereka. Orang-orang Hindu tampak menyembah patung, batu, pohon, gambar, gunung, dan benda-benda lainnya. Apakah mereka salah? Apakah cara memuja seperti itu tidak memuja Tuhan atau bertentangan dengan Tuhan?
Teks di atas mengatakan bahwa Prakerti yang merupakan penyebab dari alam semesta ini adalah Maya. Penguasa dari Maya adalah Ishvara (Tuhan). Ishvara menyelimuti segala yang ada, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Seluruh alam semesta ini adalah tubuh dari Ishvara itu sendiri. Alam semesta ini pada prinsipnya muncul dari Ishvara dan tidak berbeda dengan Ishvara. Terbentuknya alam semesta ini adalah melalui proses emanasi, di mana unsur-unsur pembentuk alam muncul dari dalam diri Ishvara itu sendiri.
Oleh karena itu, cara pemujaan kepada Ishvara melalui benda-benda duniawi seperti patung, pohon, dan yang lainnya telah sangat tepat, dan bahkan bentuk pemujaan yang paling dekat dan jujur. Objek berupa patung dan yang lainnya tidak hanya semata-mata sebagai objek konsentrasi dalam menghubungkan diri kepada Ishvara yang impersonal. Ketika kita mampu menemukan dan menyadari bahwa seluruh alam semesta ini sepenuhnya diselimuti oleh Ishvara dan bahkan alam itu sendiri muncul dari Beliau, maka memuja keagungan-Nya melalui benda-benda sangat logis. Ini justru termasuk pemujaan yang lebih jujur, karena kita tidak berpura-pura tahu tentang Tuhan yang tak terbayangkan. Memuja Tuhan melalui sesuatu yang paling dekat dengan kehidupan kita adalah bentuk dan cara berpikir yang bijaksana dari awal.
Tetapi, mengapa kadang kita merasa tidak pas memuja Tuhan dalam bentuk objek-objek seperti itu? Pertama, tentu karena kita tidak memiliki cukup pengetahuan tentang itu. Kedua, kita berpikir bahwa Ishvara adalah serba maha yang berada di luar jangkauan pikiran kita, sehingga ketika kita melihat pohon, batu, patung, dan yang lainnya itu sebagai sesuatu yang biasa. Ishvara tentu tidak bisa dihubungkan dengan sesuatu yang bisa kita lihat sehari-hari. Ketiga, kita selalu merasa bahwa alam sepenuhnya berbeda dengan Ishvara, sehingga kita berpikir bahwa memuja pohon, patung, dan yang sejenisnya tidak memuja Tuhan, melainkan memuja alam, dan bahkan kita berpikir cara itu hanya untuk memuja hantu.
Jika kita mau beranjak sedikit dari kebekuan berpikir seperti itu, tentu kita akan bisa melihat kebenarannya. Tuhan adalah penguasa segalanya, sehingga tidak ada ruang yang tidak dikuasainya, setiap sudut dipenuhi oleh-Nya. Hanya saja kita susah beranjak dari cara berpikir seperti itu. Mengapa? Karena secara genetis kita telah mewarisinya dari generasi ke generasi. Kita telah mewarisi sankalpa yang menutup pemahaman ini. Namun, jika kita mau belajar terus, terbuka terhadap semua jenis pelajaran yang ada, tidak terpaku hanya pada satu ajaran atau dogma, tentu apa yang terjadi di masa datang dapat kita prediksikan.
Seperti misalnya di Bali, pemujaan dilakukan dengan berbagai simbol. Bagi orang Bali, setiap ruang adalah suci. Walaupun mengenal istilah sakral dan propan, namun tetap Ishvara yang dipujanya sangat dekat, berada pada objek yang dipujanya. Apalagi mereka yang mampu melihat segalanya adalah Ishvara, tentu tidak ada ruang kosong yang tidak suci. Mereka akan siap untuk menghormati apapun. Inilah tujuan dari hidup itu sendiri, yakni menemukan esensi Ishvara. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Komentar