18 Embung Terancam Lenyap
Sebanyak 18 bangunan embung (tempat penampungan air hujan) di lereng Gunung Agung terancam lenyap, jika gunung tertinggi di Bali tersebut benar-benar meletus.
Jika Gunung Agung Benar-benar Meletus
AMLAPURA, NusaBali
Belasan embung yang berfungsi untuk melayani kebutuhan air warga lereng Gunung Agung tersebut dibangun dengan biaya total Rp 81,425 miliar.
Seluruh embung berjumlah 18 unit yang terancam lenyap tersebut selama ini digunakan menyadap air hujan untuk keperluan masyarakat di pegunungan. Embung-embung tersebut sebagian besar dibangun di era kepemimpinan Bupati Karangasem Wayan Geredeg (2005-2010, 2010-2015). Semua embung terebut terancam lenyap disapu lahar panas, karena lokasinya di Kawasan Rawan Bencana (KRB) III lereng Gunung Agung.
Secara keseluruhan, di wilayah Kabupaten Karangasem sebetulnya terdapat 22 bangunan embung. Namun, 4 embung di antaranya berada di zona aman, sehingga hanya 18 unit yang terancam lenyap. Dari total 22 embung di Karangasem itu, 5 unit di antaranya tidak berfungsi lagi, karena berbagai faktor, seperti bangunan retak, airnya keruh, airnya berbau, dan bercampur sedimen.
Data yang diperoleh NusaBali, dari 18 bangunan embung yang terancam lenyap disapu lahar panas tersebut, 3 unit di antaranya berada di lereng Gunung Agung kawasan Desa Tulamben, Kecamatan Kubu, Karangasem. Rinciannya, Embung Muntig (yang merupakan embut terbesar berkapasitas 26.250 meter kubuk air, dibangun dengan biaya Rp 10,872 miliar), Embung Batudawa II (berkapasitas 13.750 meter kubuk air, yang dibangun dengan biaya Rp 10,000 miliar), dan Embung Batudawa (berkapasitas 8.064 meter kubuk air, yang dibangun dengan biaya Rp 1,423 miliar).
Kepala Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Daerah Karangasem, I Made Sujana Erawan, mengatakan jika 18 embung di zona KRB ini lenyap, bukan hanya menimbulkan krisis air bagi warga sekitar. Selain itu, kerugian material total dari biaya pembangunan 18 embung tersebut mencapai Rp 81,425 miliar.
Menurut Sujana Erawan, 18 embung tersebut selama ini jadi kebanggaan masyarakat di pegunungan untuk memenuhi kebutuhan air mereka di musim kemarau. Semua embung tersebut dibangun dalam kurun waktu 18 tahun sejak 1997 hingga 2015. "Jika terjadi erupsi Gunung Agung, 18 embung ini akan tertimbun lahar panas, karena lokasinya di KRB III," jelas Sujana Erawan saat ditemui NusaBali di kantornya, Jalan Diponegoro Amlapura, Rabu (25/10).
Sujana Erawan menyebutkan, embung-embung tersebut dibangun atas dana yang dikucurkan Pemprov Bali dan pemerintah pusat. Salah satu bangunan embung paling dekat dengan Gunung Agung adalah Embung Temukus, di Banjar Temukus, Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Karangasem. Embung Temukus dibangun tahun 2009 dengan biaya Rp 11,329 miliar dari APBN.
Embung Temukus yang berkapasitas 16.750 meter kubir air selama ini melayani kebutuhan air 66 kepala keluarga (KK). Embung Temukus sendiri berada di lereng selatan Gunung Agung pada ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut (Dpl), dengan ukuran panjang 100 meter, lebar 40 meter, dan kedalaman 5 meter.
Bendesa Pakraman Temukus, I Nengah Sindia, mengakui jika terjadi erupsi, maka Embung Temukus akan kering karena disapu lahar panas. "Kalau Gunung Agung meletus, kita nggak bisa bilang apa, karena ini siklus alam. Ya, otomatis embung akan rusak. Kami tetap berharap dan mohon agar erupsi batal terjadi," harap Bendesa Nengah Sindia saat dikonfirmasi NusaBali terpisah, Rabu kemarin.
Embung yang juga terancam oleh erupsi Gunung Agung adalah Embung Bantas di Desa Baturinggit, Kecamatan Kubu, Karangasem. Embung Bantas ini dibangun tahun 2007, dengan kapasitas 14.048 meter kubuk air. Embung Bantas dibangun dengan biaya Rp 2,381 miliar dari kucuran APBN. "Air Embung Bantas telah kami nikmati selama ini, mudah-mudahan Gunung Agung batal erupsi,” harap Kepala Desa (Perbekel) Baturinggit, I Nengah Nirka, Rabu kemarin.
Sedangkan Perbekel Ban, Kecamatan Kubu, I Wayan Potag, pasrah jika Gunung Agung sampai erupsi, karema Embung Daya praktis akan hancur. Embung Daya di Banjar Daya, Desa Ban dibangun tahun 2006, dengan kapasitas 14.000 meter kubik. Namun, embung yang dibangun dengan biaya Rp 1,098 miliar ini tidak pernah berfungsi. "Memang berisi air, tapi airnya hijau dan berbau," ujar Perbekel Wayan Potag kepada NusaBali. *k16
Komentar