nusabali

Status Awas Pun Diturunkan

  • www.nusabali.com-status-awas-pun-diturunkan

Setelah Gunung Agung turun ke level siaga, 100.000 lebih pengungsi dari 22 desa dipersilakan pulang ke rumah masing-masing

Tinggal 49.470 Pengungsi dari 6 Desa Harus Tetap Mengungsi

AMLAPURA, NusaBali
Status awas (level IV) Gunung Agung yang sudah berlangsung selama sebulan lebih, akhirnya diturunkan menjadi siaga (level III), Minggu (29/10). Pengungsi dari 22 desa yang masuk Kawasan Rawan Bencana (KRB) II dan KRB I pun dibolehkan pulang ke desanya masing-masing. Hanya 49.470 jiwa penduduk dari 6 desa KRB III (radius 6 kilometer dari kawah puncak Gunung Agung) yang masih harus bertahan di pengungsian.

Penurunan status Gunung Agung dari awas menjadi siaga ini diumumkan Kepala Badan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (BPVMBG) Kementerian ESDM RI, Kasbani, dalam jumpa pers di Pos Pengamatan Gunung Api Agung Banjar Rendang Dangin Pasar, Desa/Kecamatan Rendang, Karangasem, Minggu sore pukul 16.30 Wita.

Kasbani menyebutkan, Gunung Agung yang awalnya berstatus awas sejak 22 September 2017, diturunkan menjadi seiaga dengan perluasan sektoral 7,5 kilometer ke arah utara-timur laut, serta tenggara-selatan-barat daya. Hanya saja, kata Kasbani, Gunung Agung belum sepenuhnya aman.

Secara fisik pun, kata Kasbani, Gunung Agung juga belum sepenuhnya kempes, masih mengembung 6 cm. Hanya saja, Gunung Agung mulai mengempes secara perlahan. Nantinya, Gunung Agung akan normal kembali setelah tidak lagi mengembung, tidak lagi ada gempa vulkani, dan tak lagi mengepulkan uap air.

Kasbani membantah penurunan status Gunung Agung ini dilakukan atas intervensi pihak tertentu. Namun, status diturunkan menjadi seiaga, karena aktivitas vulkanik Gunung Agung memang menurun sejak 9 hari terakhir. “Tidak ada intervensi. Aktivitas Gunung Agung memang menurun sejak 9 hari terakhir, terutama tingkat kegempaan dan aktivitas dapur magma, tandas Ksbani.

“Jadi, kami menurunkan status, sesuai data teknis,” tandas Kasbani, yang dalam jumpa pers kemarin didampingi didampingi Kepala Sub Bidang Gunung Api Wilayah Timur BPVMBG Kemertrerian ESDM, Devi Kamil Syahbana, dan Kepala Pelaksana BPBD Provinsi Bali I Dewa Made Indra.

Kasbani menyebutkan, sebelum PVMBG mengambil keputusan untuk turunkan status menjadi siaga, pihaknya sempat menerbangkan drone buat mengetahui kondisi terakhir kawah Gunung Agung. Tujuannya, untuk merekam kondisi kawah, apalagi didukung cuaca yang cerah. Data terakhir, kondisi magma masih di posisi kedalaman 4 kilometer. Dapur magma juga masih aktif.

Menurut Kasbani, penurunan status gunung api seperti ini biasa terjadi di seluruh dunia. Bahkan, di Indonesia sering terjadi kasus serupa, seperti Gunung Sinabung (di Sumatra Utara) dan Gunung Merapi (di Jawa Tengah-Jogjakarta).

Status siaga tersebut, kata Kasbani, juga belum tentu akan terus bertahan. Bisa saja suatu saat status Gunung Agung naik lagi menjadi awas, atau bisa juga sebaliknya turun mnenjadi status waspada (level II), hingga status normal (level I). Naik turunnya status ini tergantung kondisi Gunung Agung itu sendiri.

Gunung Agung sendii awalnya naik status dari level I (normal) menjadi waspada (level II) pada 14 September 2017. Empat hari kemudian, status Gunung Agung naik ke siaga (level III0, 18 September 2017. Terakhir, status Gunung Agung naik ke level tertinggi IV (awas) pada 22 September 2017, hingga lebih dari 185.000 penduduk asal 28 desa KRB harus mengungsi.

Dengan turunnya status Gunung Agung menjadi siaga, maka sebagian besar pengungsi dibolehkan pulang ke desanya masing-masing. Mereka yang dibolehkan pulang berasal dari 22 desa KRB II dan KRB I, yang berada dalam radius di atas 6 kilometer dari kawah puncak Gunung Agung. Mereka dapat kembali ke desanya masing-masing, dengan tetap menetapkan zona bahaya radius sekitar 6-7 kilometer dari kawah puncak Gunung Agung.

Sedangkan penduduk dari 6 desa KRB III, masih harus bertahan di pengungsian. Jumlah penduduk yang masih bertahan di pengungsian ini mencapai 49.470 jiwa atau kurang dari sepertiga jumlah total pengungsi sebelumnya. Jumlah pengungsi terbanyak yang masih harus bertahan di pengungsian berasal dari Desa Ban, Kecamatan Kubu, Karangasem, yakni mencapai 13.720 jiwa.

Sedangkan 5 desa KRB III (radis kurang dari 6 kilometer) lainnya yang penduduknya masih harus bertahan di pengungsian masing-masing Desa Jungutan (Kecamatan Bebandem, Karangasem) sebanyak 9.546 jiwa, Desa Bhuana Giri (Kecamatan Bebandem) dengan 8.041 jiwa, Desa Besakih (Kecamatan Rendang, Ka-rangasem/7.911 jiwa), Desa Sebudi (Kecamatan Selat, Karangasem/6.246 jiwa), dan Desa Dukuh (Kecamatan Kubu, Karangasem/4.015 jiwa).

Menurut Kepala Pelaksana BPBD Provinsi Bali, I Dewa Made Indra, tidak semua wilayah di 6 desa KRB III ini harus mengungsi penduduknya. “Tidak semua wilayah di 6 desa itu kena radius 6 kilometer, sehingga penduduknya tidak mesti mengungsi,” jelas Dewa Made Indra.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyediakan kendaraan bagi para pengungsi yang ingin pulang ke rumahnya masing-masing. BNPB juga berkoordinasi dengan BPBD Provinsi Bali dan BPBD Kabupaten/Kota di Bali untuk pemulangan pengungsi.

"BPBD bersama TNI, Polri, Basarnas, SKPD, NGO dan masyarakat telah me-nyediakan kendaraan yang ditempatkan di pos pengungsian untuk mengangkut pengungsi pulang. Sebagian pengungsi pulang menggunakan kendaraan sendiri atau dibantu pihak lain," ujar Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, dilansir detikcom secara terpisah di Jakarta, Minggu kemarin.

Sementara itu,  Kepala Desa (Perbekel) Besakih, I Wayan Benya, mengaku belum tahu kalau penduduknya masih harus bertahan di pengungsian, karena desa mereka masuk radius 6 kilometer. “Nantilah, kami bersama Sekdes Besakih sama-sama harus melihat peta. Kita harus cek, banjar mana saja yang kena radius 6 kilometer,” kilah Perbekel Wayan Benya saat dikonfirmasi NusaBali, Minggu kemarin.

Sedangkan salah seorang pengungsi dari Banjar Pemuteran, Desa Pempatan, Ke-camatan Rendang (wilayah KRB II), I Wayan Wirya, mengaku pasrah karena tak punya apa-apa lagi, meskipun dibolehkan pulang ke desanya. Sebab, semua ternak sapinya sudah dijual. “Kami memang bisa pulang, tapi tidak bisa merayakan Galungan. Harta berupa ternak sapi dudah dijual,” tutur Wayan Wirya, yang selama ini mengungsi di Desa Pengotan, Kecamatan Bangli. *k16

Komentar