Nyaris Rp 20 T, Anggaran Pilkada Disorot
Publik perlu tahu dana sebesar itu akan digunakan untuk apa saja pada penyelenggaraan pesta demokrasi di daerah tersebut.
JAKARTA, NusaBali
Untuk sementara total anggaran Pilkada serentak 2018 mendatang baru mencapai Rp 15,2 triliun. Namun, anggaran Pilkada serentak di 171 daerah tersebut berpotensi tembus Rp 20 triliun. Jumlah yang fantastis ini pun dikritisi sejumlah kalangan. Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mengatakan publik perlu tahu dana sebesar itu akan digunakan untuk apa saja pada penyelenggaraan pesta demokrasi di daerah tersebut.
"Angka Rp 20 triliun tentu adalah angka yang sangat besar. Apalagi jika secara sederhana dibandingkan dengan Pilkada 2015 dan 2017. Namun menyikapi besaran anggaran tersebut juga harus bijaksana," kata Titi, Minggu (29/10). Menurutnya, publik perlu tahu dana sebesar itu akan digunakan untuk apa saja pada penyelenggaraan pesta demokrasi di daerah tersebut.
"Harus tahu peruntukkannya buat apa saja dan bagaimana komposisi alokasinya. Apakah memang prioritas sesuai kebutuhan ataukah sifatnya hanya komplementari. Bagaimana signifikansinya dalam menunjang kebutuhan pembiayaan penyelenggaraan Pilkada," kata dia. "Pertanyaan-pertanyaan tersebut wajar dimunculkan mengingat salah satu prinsip penyelenggaraan Pilkada adalah efektif dan efisien. Maka anggaran Pilkada pun wajib mencerminkan prinsip tersebut," ujarnya.
Titi memahami jika Pilkada mendatang anggaran yang harus dikeluarkan oleh pemerintah besar. Sebab, banyak provinsi besar di tanah air yang juga ikut Pilkada tersebut. "Di 2018 ada 17 provinsi yang pemilihan gubernur. Beberapa di antaranya adalah provinsi dengan penduduk dalam jumlah besar dan wilayah yang luas. Ini tentu membawa konsekuensi pada anggaran yang juga tidak sedikit," kata dia.
Meski demikian, Titi mengingatkan kepada penyelenggara bahwa keterbukaan, transparansi, dan akuntabilitas anggaran Pilkada adalah mutlak. Hal itu agar sesuai dengan prinsip efektif dan efisien Pilkada. "KPU dan Bawaslu di daerah mestinya menyampaikan secara terbuka kepada publik komponen dan besaran anggaran Pilkada yang mereka kelola," kata dia.
Sementara Direktur Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Robert Endi Jaweng menganggap tujuan efisiensi anggaran dengan digelarnya Pilkada secara serentak belum tercapai. "Tujuan efisiensi belum tercapai. Terasa sekali beban pemerintah daerah terhadap anggaran Pilkada," kata Robert Endi dilansir kompas.com. Ia mencontohkan bagaimana daerah Nusa Tenggara Timur (NTT), di mana Anggaran Pendapatan, dan Belanja Daerah (APBD) sudah dipakai ratusan miliar untuk Pilkada dari total anggaran Rp 4 triliun yang ada.
"Sangat terasa. NTT ini korbannya dalam tanda kutip adalah rakyat. Layanan publik yang dikorbankan. Pembangunan tertunda, masyarakat yang menanggung," kata dia. Untuk itu menurut Robert Endi, seharusnya pembiayaan Pilkada diubah, tidak lagi dari daerah. Sebab, faktanya hal itu justru mengganggu layanan publik dan pembangunan di daerah. Ia pun menegaskan, sudah semestinya sumber anggaran Pilkada dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Sebelumnya, Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Sumarsono menyebutkan, total anggaran penyelenggaraan Pilkada Serentak 2018 di 171 daerah berpotensi tembus Rp 20 Triliun. Saat ini total anggaran baru mencapai Rp 15,2 triliun. Rinciannya anggaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) Rp 11,9 triliun, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rp 2,9 triliun, dan pengamanan TNI-Polri Rp 339,6 miliar. Sedangkan Mendagri, Tjahjo Kumolo menganggap besarnya totalnya anggaran Pilkada serentak 2018 yang berpotensi menembus angka Rp 20 triliun adalah hal yang wajar. "Politik itu memang mahal. Anggaran yang ada ini kan disesuaikan dengan kepadatan pemilih, disesuaikan dengan kondisi geografis," kata Tjahjo di Hotel Kartika Chandra Jakarta, Senin (23/10) lalu. *
"Angka Rp 20 triliun tentu adalah angka yang sangat besar. Apalagi jika secara sederhana dibandingkan dengan Pilkada 2015 dan 2017. Namun menyikapi besaran anggaran tersebut juga harus bijaksana," kata Titi, Minggu (29/10). Menurutnya, publik perlu tahu dana sebesar itu akan digunakan untuk apa saja pada penyelenggaraan pesta demokrasi di daerah tersebut.
"Harus tahu peruntukkannya buat apa saja dan bagaimana komposisi alokasinya. Apakah memang prioritas sesuai kebutuhan ataukah sifatnya hanya komplementari. Bagaimana signifikansinya dalam menunjang kebutuhan pembiayaan penyelenggaraan Pilkada," kata dia. "Pertanyaan-pertanyaan tersebut wajar dimunculkan mengingat salah satu prinsip penyelenggaraan Pilkada adalah efektif dan efisien. Maka anggaran Pilkada pun wajib mencerminkan prinsip tersebut," ujarnya.
Titi memahami jika Pilkada mendatang anggaran yang harus dikeluarkan oleh pemerintah besar. Sebab, banyak provinsi besar di tanah air yang juga ikut Pilkada tersebut. "Di 2018 ada 17 provinsi yang pemilihan gubernur. Beberapa di antaranya adalah provinsi dengan penduduk dalam jumlah besar dan wilayah yang luas. Ini tentu membawa konsekuensi pada anggaran yang juga tidak sedikit," kata dia.
Meski demikian, Titi mengingatkan kepada penyelenggara bahwa keterbukaan, transparansi, dan akuntabilitas anggaran Pilkada adalah mutlak. Hal itu agar sesuai dengan prinsip efektif dan efisien Pilkada. "KPU dan Bawaslu di daerah mestinya menyampaikan secara terbuka kepada publik komponen dan besaran anggaran Pilkada yang mereka kelola," kata dia.
Sementara Direktur Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Robert Endi Jaweng menganggap tujuan efisiensi anggaran dengan digelarnya Pilkada secara serentak belum tercapai. "Tujuan efisiensi belum tercapai. Terasa sekali beban pemerintah daerah terhadap anggaran Pilkada," kata Robert Endi dilansir kompas.com. Ia mencontohkan bagaimana daerah Nusa Tenggara Timur (NTT), di mana Anggaran Pendapatan, dan Belanja Daerah (APBD) sudah dipakai ratusan miliar untuk Pilkada dari total anggaran Rp 4 triliun yang ada.
"Sangat terasa. NTT ini korbannya dalam tanda kutip adalah rakyat. Layanan publik yang dikorbankan. Pembangunan tertunda, masyarakat yang menanggung," kata dia. Untuk itu menurut Robert Endi, seharusnya pembiayaan Pilkada diubah, tidak lagi dari daerah. Sebab, faktanya hal itu justru mengganggu layanan publik dan pembangunan di daerah. Ia pun menegaskan, sudah semestinya sumber anggaran Pilkada dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Sebelumnya, Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Sumarsono menyebutkan, total anggaran penyelenggaraan Pilkada Serentak 2018 di 171 daerah berpotensi tembus Rp 20 Triliun. Saat ini total anggaran baru mencapai Rp 15,2 triliun. Rinciannya anggaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) Rp 11,9 triliun, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rp 2,9 triliun, dan pengamanan TNI-Polri Rp 339,6 miliar. Sedangkan Mendagri, Tjahjo Kumolo menganggap besarnya totalnya anggaran Pilkada serentak 2018 yang berpotensi menembus angka Rp 20 triliun adalah hal yang wajar. "Politik itu memang mahal. Anggaran yang ada ini kan disesuaikan dengan kepadatan pemilih, disesuaikan dengan kondisi geografis," kata Tjahjo di Hotel Kartika Chandra Jakarta, Senin (23/10) lalu. *
Komentar