nusabali

Saling Siram Air Campuhan di Pagi Buta Sebelum Upacara Galungan

  • www.nusabali.com-saling-siram-air-campuhan-di-pagi-buta-sebelum-upacara-galungan

Tradisi ritual Mengebog-gebogan dilaksanakan rutin 210 hari sekali saat Hari Raya Galungan, bermakna sebagai simbolis mempererat hubungan antar-krama dan melepas kangen setelah sekian bulan jarang bertemu

Tradisi Ritual Mengobag-gobagan di Pura Taman Pecampuhan, Desa Pakraman Sala, Kecamatan Susut

BANGLI, NusaBali
Krama Desa Pakraman Sala, Desa Abuan, Kecamatan Susut, Bangli melaksanakan tradisi ritual Magobag-gobagan saat Hari Raya Galungan pada Buda Kliwon Dunggulan, Rabu (1/11) subuh. Tradisi berupa ritual saling siram dengan air campuhan ini dilaksanakan di Pura Taman Pecampuhan, Desa Pakraman Sala yang bermakna untuk penyucian diri dan mempererat hubungan antar-krama.

Rangkaian tradisi Megobag-gobagan diawali dengan kedatangan seluruh krama ke Pura Taman Campuhan Desa Pakraman Sala, Rabu dini hari sekitar pukul 04.00 Wita. Krama yang datang mulai kalangan anak-anak, remaja, truna, hingga para orang tua.

Di tengah suasana yang masih gelap, Pemangku Pura Taman Campuhan ngaturang piuning (pemberitahuan secara niskala) untuk melaksanakan tradisi ritual Megobag-gobagan. Selanjutnya, subuh sekitar pukul 05.00 Wita, seluruh krama yang sudah membawa canang dan bunga, menaburkan bunga tersebut ke air campuhan. Walhasil, bunga menghiasi air campuhan (pertemuan dua aliran sungai), sehingga menyerupai air kumkuman.

Setelah itu, krama mengucap Gayatri Mantra, sembari mengambil air campuhan---yang berada di sebelah barat bagian bawah Pura Taman Campuhan---dengan menggunakan tangan tercakup. Air yang pertama diambil dengan kedua tangan, kemudian dikucurkan kembali ke campuhan. Sedangkan air yang diambil kedua, dibasuhkan ke kepala, air yang diambil ketiga untuk membasuh wajah, air yang diambil selanjutnya untuk membasuh badan.

Habis itu, krama kembali mengambil canang dan menaruh lilin menyala dengan tatakan tanah liat di atasnya. “Barulah setelah itu, canang berisi api menyala diletakkan di sungai, sebagai simbol pikiran, perkataan, dan perbuatan yang buruk dihanyutkan. Hal-hal yang buruk digantikan dengan hal-hal yang baik," ungkap Bendesa Pakraman Sala, I Ketut Kayana, usai pelaksanaan ritual Megobag-gobagan.

Selama prosesi awal sampai meletakkan canang berisi api di sungai, krama lanang (laki-laki) maupun istri (perempuan) berbaur. Kemudian, pada inti acara yakni ritual Megobag-gobagan, krama lanang dan istri dipisahkan dalam kelompok berbeda. Saat itulah, krama saling siram dengan air yang diambil menggunakan kedua tangan.

Usai ritual Megebog-gebogan yang berlangsung selama 1,5 jam hingga pukul 06.30 Wita, seluruh krama menggelar persembahyangan bersama di Pura Taman Pecampuhan. Setelah semuanya selesai, barulah krama Desa Pakraman Sala pulang ke rumah masing-masing dan bersiap melaknakan upacara Galungan.

Bendesa Ketut Kayana menyebutkan, tradisi ritual Mengebog-gebogan ini dilaksanakan rutin 6 bulan sekali (210 hari sistem penanggalan Bali) saat Hari Raya Galungan pada Buda Kliwon Dunggulan. Ritual ini bermakna sebagai simbolis mempererat hubungan antar krama dan melepas kangen setelah sekian bulan jarang bertemu.

“Ritual saling siram dengan air campuhan inilah ajang bagi krama bisa mempererat hubungan dengan krama yang lain. Sekalian mereka melepas kangen dan bisa berkumpul lagi saat Galungan, setelah lama tak bertemu," jelas Bendesa Ketut Kayana.

Dia menegaskan, tradisi ritual Megobag-gobagan bertujuan untuk spiritual dan sosial masyarakat. "Dari sisi spiritual, terlihat rangkaian tradisi Megobag-gobagan, di mana krama lebih dulu malukat bersama, sebelum sembahyang bersama," katanya. “Sedangan dari sisi sosial, yakni krama yang selama ini jarang ketemu lantaran kesibukan masing-masing, bisa berkumpul untuk melaksanakan tradisi Megobag-go-bagan.” *e

Komentar