MUTIARA WEDA : Yogi vs Karmi
Oleh karena itu, tanpa keterikatan, lakukan kewajibanmu, selalu kerjakan apapun yang harus dikerjakan, dengan melakukan tindakan tanpa keterikatan, seeorang mencapai Yang Tertinggi
Tasmād asaktah satatam kāryam karma samāchara,
Asakto hyācharan karma param āpnoti purushah.
(Bhagavad-gita, III. 19)
ADA dua perbedaan mencolok antara seorang yogi dan karmi, walaupun secara fisik, tindakan mereka bisa tidak jauh berbeda. Menurut teks di atas, seorang yogi adalah mereka yang melakukan kewajibannya, yang menjalankan setiap tindakannya tanpa keterikatan. Sementara itu, seorang karmi juga melalukan tindakannya, menjalankan kewajibannya, tetapi ia terikat dengan tindakan dan hasil tindakan itu. Dua orang mungkin melakukan pekerjaan yang sama di tempat yang sama, tetapi mereka bisa saja salah satu dari mereka seorang yogi sementara yang satunya seorang karmi. Tindakan yang sama akan bisa berbeda ketika ada perbedaan dalam motifnya.
Demikian pula bisa saja dua orang sama-sama bekerja pada sebuah kantor yang sama, yang satu sebagai manajer dan yang satunya sebagai tukang sapu. Meskipun demikian, bisa saja tukang sapu itu adalah seorang yogi sementara manajer adalah seorang karmi, atau sebaliknya. Jadi, apa yang dikerjakan tidak menjamin tingkatan seseorang, melainkan bagaimana ia mengerjakannya. Meskipun seorang tukang sapu, tetapi dia mengerjakannya dengan tulus diabdikan untuk Tuhan, tidak terikat dengan tindakan dan hasil tindakannya, maka dialah yogi sejati. Demikian sebaliknya, walaupun dia seorang manajer, yang bisa mengatur segalanya, selalu terikat dengan tindakan dan hasil dari tindakannya itu, dipastikan dia seorang karmi.
Krishna menyatakan kepada kita bahwa tujuan kita hidup adalah untuk menjadi yogi, bukan karmi. Jadilah seorang yogi dalam tindakan atau bertindak seperti seorang yogi. Jika kita mampu bertindak laksana seorang yogi, maka dialah seorang karmayogi. Oleh karena itu sangat jelas disebutkan bahwa jenis pekerjaan tidak menjamin seseorang langsung menjadi seorang yogi. Tindakan itu hanya baju, sementara motif yang ada di dalamnya adalah isinya. Boleh saja seseorang memakai baju yogi, tetapi isinyalah yang menentukan bahwa dia yogi atau karmi. Harumnya bunga ditentukan oleh semerbak yang ia keluarkan dari dalam bukan tampilannya yang cantik.
Maka dari itu, marilah kita senantiasa melihat ke dalam diri bahwa tidak setiap tindakan secara otomatis menjadi karma yoga, meskipun itu dikerjakan atas nama kesucian. Walaupun tindakan itu diatasnamakan kesucian dan kemanusiaan, seperti melakukan pelayanan di temple atau melakukan banyak tindakan kemanusiaan, namun, jika dirinya tidak suci, maka tindakan yang dilakukannya itu bukan yoga. Sekali lagi kita mempertegas bahwa bentuk dan jenis tindakan tidak menentukan apakah tindakan itu yoga atau tidak, melainkan kemelekatan terhadap tindakan itulah yang menentukan.
Jika demikian apa yang mesti dilakukan? Untuk mampu menjadikan tindakan kita menjadi sebuah yoga, ada beberapa hal yang harus diperhatikan menurut Krishna. Pertama, melakukan kewajiban apapun yang telah ditetapkan buat kita. Jika kita adalah seorang brahmana, melakukan laku kebrahmanaan adalah kewajiban kita. Jika kita adalah seorang Vaishya, melakukan laku ke-vaishya-an adalah kewajiban kita, demikian seterusnya. Kedua, lakukan semua kewajiban itu dengan tidak terikat dengan tindakan dan hasilnya. Maksudnya, bahwa tindakan itu dilakukan oleh karena kosmik memerintahkan demikian, bukan merasa diri kita yang mengerjakan. Jika kita merasa mengerjakan, maka kita akan terjebak dalam ego atau asmita. Ketiga, serahkan semua hasil tindakan itu kepada Ishvara. Kita hendaknya tidak pernah memikirkan apapun yang dihasilkan oleh tindakan itu. Tindakan telah memiliki hukumnya sendiri untuk menghasilkan sesuatu. Kita harus fokus pada tindakan itu agar dijalankan dengan sebaik-baiknya dan menyerahkan hasilnya secara penuh kepada Ishvara. Jadi, melalui ketiga jalan inilah tindakan kita akan menjadi yoga, dan layak sebagai seorang karmayogi. Sepanjang tindakan kita masih memiliki motif, apakah itu untuk masyarakat, untuk Negara, untuk kesejahteraan, apalagi untuk mengejar penghargaan, nama, kekayaan dan yang sejenisnya, tentu hal itulah yang menghalangi tindakan kita menjadi yoga. Kita tidak ada bedanya dengan seorang karmi biasa. *
Asakto hyācharan karma param āpnoti purushah.
(Bhagavad-gita, III. 19)
ADA dua perbedaan mencolok antara seorang yogi dan karmi, walaupun secara fisik, tindakan mereka bisa tidak jauh berbeda. Menurut teks di atas, seorang yogi adalah mereka yang melakukan kewajibannya, yang menjalankan setiap tindakannya tanpa keterikatan. Sementara itu, seorang karmi juga melalukan tindakannya, menjalankan kewajibannya, tetapi ia terikat dengan tindakan dan hasil tindakan itu. Dua orang mungkin melakukan pekerjaan yang sama di tempat yang sama, tetapi mereka bisa saja salah satu dari mereka seorang yogi sementara yang satunya seorang karmi. Tindakan yang sama akan bisa berbeda ketika ada perbedaan dalam motifnya.
Demikian pula bisa saja dua orang sama-sama bekerja pada sebuah kantor yang sama, yang satu sebagai manajer dan yang satunya sebagai tukang sapu. Meskipun demikian, bisa saja tukang sapu itu adalah seorang yogi sementara manajer adalah seorang karmi, atau sebaliknya. Jadi, apa yang dikerjakan tidak menjamin tingkatan seseorang, melainkan bagaimana ia mengerjakannya. Meskipun seorang tukang sapu, tetapi dia mengerjakannya dengan tulus diabdikan untuk Tuhan, tidak terikat dengan tindakan dan hasil tindakannya, maka dialah yogi sejati. Demikian sebaliknya, walaupun dia seorang manajer, yang bisa mengatur segalanya, selalu terikat dengan tindakan dan hasil dari tindakannya itu, dipastikan dia seorang karmi.
Krishna menyatakan kepada kita bahwa tujuan kita hidup adalah untuk menjadi yogi, bukan karmi. Jadilah seorang yogi dalam tindakan atau bertindak seperti seorang yogi. Jika kita mampu bertindak laksana seorang yogi, maka dialah seorang karmayogi. Oleh karena itu sangat jelas disebutkan bahwa jenis pekerjaan tidak menjamin seseorang langsung menjadi seorang yogi. Tindakan itu hanya baju, sementara motif yang ada di dalamnya adalah isinya. Boleh saja seseorang memakai baju yogi, tetapi isinyalah yang menentukan bahwa dia yogi atau karmi. Harumnya bunga ditentukan oleh semerbak yang ia keluarkan dari dalam bukan tampilannya yang cantik.
Maka dari itu, marilah kita senantiasa melihat ke dalam diri bahwa tidak setiap tindakan secara otomatis menjadi karma yoga, meskipun itu dikerjakan atas nama kesucian. Walaupun tindakan itu diatasnamakan kesucian dan kemanusiaan, seperti melakukan pelayanan di temple atau melakukan banyak tindakan kemanusiaan, namun, jika dirinya tidak suci, maka tindakan yang dilakukannya itu bukan yoga. Sekali lagi kita mempertegas bahwa bentuk dan jenis tindakan tidak menentukan apakah tindakan itu yoga atau tidak, melainkan kemelekatan terhadap tindakan itulah yang menentukan.
Jika demikian apa yang mesti dilakukan? Untuk mampu menjadikan tindakan kita menjadi sebuah yoga, ada beberapa hal yang harus diperhatikan menurut Krishna. Pertama, melakukan kewajiban apapun yang telah ditetapkan buat kita. Jika kita adalah seorang brahmana, melakukan laku kebrahmanaan adalah kewajiban kita. Jika kita adalah seorang Vaishya, melakukan laku ke-vaishya-an adalah kewajiban kita, demikian seterusnya. Kedua, lakukan semua kewajiban itu dengan tidak terikat dengan tindakan dan hasilnya. Maksudnya, bahwa tindakan itu dilakukan oleh karena kosmik memerintahkan demikian, bukan merasa diri kita yang mengerjakan. Jika kita merasa mengerjakan, maka kita akan terjebak dalam ego atau asmita. Ketiga, serahkan semua hasil tindakan itu kepada Ishvara. Kita hendaknya tidak pernah memikirkan apapun yang dihasilkan oleh tindakan itu. Tindakan telah memiliki hukumnya sendiri untuk menghasilkan sesuatu. Kita harus fokus pada tindakan itu agar dijalankan dengan sebaik-baiknya dan menyerahkan hasilnya secara penuh kepada Ishvara. Jadi, melalui ketiga jalan inilah tindakan kita akan menjadi yoga, dan layak sebagai seorang karmayogi. Sepanjang tindakan kita masih memiliki motif, apakah itu untuk masyarakat, untuk Negara, untuk kesejahteraan, apalagi untuk mengejar penghargaan, nama, kekayaan dan yang sejenisnya, tentu hal itulah yang menghalangi tindakan kita menjadi yoga. Kita tidak ada bedanya dengan seorang karmi biasa. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Komentar