Pamedek di Pura Sakenan Tak Lagi Berdesak-desakan
Ribuan pamedek tangkil pada Pujawali di Pura Sakenan, Desa Serangan, Kecamatan Denpasar Selatan, bertepatan dengan Hari Raya Kuningan, pada Saniscara Kliwon Kuningan, Sabtu (11/11).
DENPASAR, NusaBali
Sejak pagi umat sudah memadati Pura Sakenan yang terdiri dari Pura Dalem Sakenan, Pura Pesamuhan Agung, dan Pura Susunan Wadon. Pantauan NusaBali, hingga siang kemarin pamedek masih ramai berdatangan. Panas terik yang serasa membakar bahkan tidak mampu menghalangi niat pamedek untuk menghaturkan puja bhakti. Pada pujawali kali ini, meski cukup ramai namun pamedek tidak lagi terlihat berdesak-desakan. Berbeda dengan pujawali sebelumnya, dimana pamedek sampai berebut agar bisa masuk ke pura lebih dulu. Pecalang yang bertugas ‘memantau’ jumlah pamedek dalam setiap satu sesi persembahyangan pun, kemarin terlihat lebih mudah mengatur masuknya pamedek ke pura. Ini karena antrean kali ini tidak terlalu berjubel.
“Tidak bisa dihindari bahwa kepadatan di puncak pujawali (kemarin) memang berlangsung tiap pujawali dilakukan. Karena itu, kami terus mengimbau agar pamedek juga bisa mencari hari lain untuk sembahyang, karena Ida Bhatara ngadeg tiga hari sampai hari Selasa (14 November),” ungkap Manggala Yadnya Pujawali di Pura Sakenan Ida Bagus Gede Pidada.
Sementara setelah masuk ke dalam pura, pamedek tetap khusuk menjalankan niatnya menghaturkan sembah bhakti di bawah terik matahari dan mendapat cukup tempat untuk duduk.
Pujawali kemarin dipimpin Ida Pedanda Gede Sari Arimbawa dari Griya Tegal Sari, Denpasar, dan Ida Pedanda Gede Putra Telaga dari Griya Telaga Gulingan, Sanur.
Sedangkan nyejer di hari Minggu (12/11) dipuput oleh Ida Pedanda Buda Jelantik Giri dari Griya Gunung Sari Ubud, pada Senin (13/11) Ida Pedanda Gede Oka Giri dari Griya Oka Sanur, dan Panyineb (Selasa, 14/11)) oleh Ida Pedanda Gede Oka Manuaba Griya Toko Sanur. Pujawali kali ini masih menggunakan sarana pebangkit dan pakelem berupa ayam dan bebek berwarna hitam.
Menurut Purana Sakenan, disebutkan bahwa Pura Sakenan merupakan pura penangluk merana yang artinya berfungsi sebagai penetralisir alam dari hama penyakit. Hama penyakit biasanya berhubungan dengan bidang pertanian sumber penghidupan masyarakat. Sehingga, menurut IB Pidada, Pura Sakenan bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat karena fungsinya menetralisir alam. “Subak-subak bila terserang hama penyakit, pasti sembahyang ke sini. Ini juga tidak terlepas karena Pura Sakenan barada di tengah laut. Itulah mengapa disebut pura penangluk merana,” ujarnya.
Sementara akademisi Sekolah Tinggi Agama Hindu (STAH) Negeri Mpu Kuturan Singaraja Ketut Agus Nova SAg MFil H, mengatakan Hari Suci Kuningan merupakan momentum memperkuat rasa kebersamaan dan solidaritas sosial.
“Hari Raya Kuningan diingatkan untuk selalu ingat menyama braya atau meningkatkan rasa kebersamaan sesama manusia,” kata Agus Nova di Singaraja, Sabtu (11/11). Umat Hindu diharapkan selalu ingat kepada lingkungan sehingga tercipta harmonisasi alam semesta beserta isinya, serta tidak lupa mengucap syukur kepada Tuhan.
Agus menjelaskan jika dilihat dari sumber kata yakni Kuningan memiliki makna ‘kauningan’ yang artinya mencapai peningkatan spiritual dengan cara introspeksi diri. “Selain itu memiliki makna agar terhindar dari mara bahaya,” tutur dia seperti dilansir Antara. Pada Hari Raya Kuningan menggunakan upakara sesajen yang berisi simbol ‘tamiang’ dan ‘endongan’. Makna dari sarana tersebut yakni lambang perlindungan dan juga melambangkan perputaran roda alam.
“Kuningan juga dibuat nasi kuning sebagai lambang kemakmuran dan dihaturkan kepada Tuhan dengan segala manifestasinya. Selanjutnya dikonsumsi bersama-sama sebagai wujud prasadam atau makanan yang telah dipersembahkan,” paparnya. *ind
“Tidak bisa dihindari bahwa kepadatan di puncak pujawali (kemarin) memang berlangsung tiap pujawali dilakukan. Karena itu, kami terus mengimbau agar pamedek juga bisa mencari hari lain untuk sembahyang, karena Ida Bhatara ngadeg tiga hari sampai hari Selasa (14 November),” ungkap Manggala Yadnya Pujawali di Pura Sakenan Ida Bagus Gede Pidada.
Sementara setelah masuk ke dalam pura, pamedek tetap khusuk menjalankan niatnya menghaturkan sembah bhakti di bawah terik matahari dan mendapat cukup tempat untuk duduk.
Pujawali kemarin dipimpin Ida Pedanda Gede Sari Arimbawa dari Griya Tegal Sari, Denpasar, dan Ida Pedanda Gede Putra Telaga dari Griya Telaga Gulingan, Sanur.
Sedangkan nyejer di hari Minggu (12/11) dipuput oleh Ida Pedanda Buda Jelantik Giri dari Griya Gunung Sari Ubud, pada Senin (13/11) Ida Pedanda Gede Oka Giri dari Griya Oka Sanur, dan Panyineb (Selasa, 14/11)) oleh Ida Pedanda Gede Oka Manuaba Griya Toko Sanur. Pujawali kali ini masih menggunakan sarana pebangkit dan pakelem berupa ayam dan bebek berwarna hitam.
Menurut Purana Sakenan, disebutkan bahwa Pura Sakenan merupakan pura penangluk merana yang artinya berfungsi sebagai penetralisir alam dari hama penyakit. Hama penyakit biasanya berhubungan dengan bidang pertanian sumber penghidupan masyarakat. Sehingga, menurut IB Pidada, Pura Sakenan bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat karena fungsinya menetralisir alam. “Subak-subak bila terserang hama penyakit, pasti sembahyang ke sini. Ini juga tidak terlepas karena Pura Sakenan barada di tengah laut. Itulah mengapa disebut pura penangluk merana,” ujarnya.
Sementara akademisi Sekolah Tinggi Agama Hindu (STAH) Negeri Mpu Kuturan Singaraja Ketut Agus Nova SAg MFil H, mengatakan Hari Suci Kuningan merupakan momentum memperkuat rasa kebersamaan dan solidaritas sosial.
“Hari Raya Kuningan diingatkan untuk selalu ingat menyama braya atau meningkatkan rasa kebersamaan sesama manusia,” kata Agus Nova di Singaraja, Sabtu (11/11). Umat Hindu diharapkan selalu ingat kepada lingkungan sehingga tercipta harmonisasi alam semesta beserta isinya, serta tidak lupa mengucap syukur kepada Tuhan.
Agus menjelaskan jika dilihat dari sumber kata yakni Kuningan memiliki makna ‘kauningan’ yang artinya mencapai peningkatan spiritual dengan cara introspeksi diri. “Selain itu memiliki makna agar terhindar dari mara bahaya,” tutur dia seperti dilansir Antara. Pada Hari Raya Kuningan menggunakan upakara sesajen yang berisi simbol ‘tamiang’ dan ‘endongan’. Makna dari sarana tersebut yakni lambang perlindungan dan juga melambangkan perputaran roda alam.
“Kuningan juga dibuat nasi kuning sebagai lambang kemakmuran dan dihaturkan kepada Tuhan dengan segala manifestasinya. Selanjutnya dikonsumsi bersama-sama sebagai wujud prasadam atau makanan yang telah dipersembahkan,” paparnya. *ind
1
Komentar