Kremasi Harus Persetujuan Desa Pakraman
Selain kremasi, persoalan pungli juga dibahas cukup panjang, termasuk tentang prajuru desa pakraman yang tidak boleh ikut dalam partai politik.
Pasamuhan Agung VI MDP Bali
DENPASAR, NusaBali
Pasamuhan Agung VI Majelis Desa Pakraman (MDP) 2017 yang digelar di Gedung Ksiraranawa, Taman Budaya, Denpasar, Rabu (15/11) menghasilkan beberapa keputusan yang sangat krusial dalam menguatkan eksistensi desa pakraman dalam menghadapi tantangan global. Salah satunya menyangkut fenomena kremasi masyarakat Bali. Dalam pasamuhan itu diputuskan, kremasi yang akan dilakukan harus mendapat persetujuan desa pakraman tempat dimana krama yang meninggal ini terdaftar sebagai krama adat (milpil).
Menurut anggota MUDP Bali, Ida Pangelingsir Putra Sukahet mengungkapkan, saat pembahasan komisi satu, kremasi pada awalnya disetujui untuk mulai dilaksanakan karena ingin mencari jalan keluar jika desa pakraman sedang dalam kapiambengan (berhalangan), misalnya sedang berlangsung sebuah karya besar di desa itu. Makanya, ketika terjadi permalasahan seperti itu, dicarikanlah jalan keluar berupa kremasi.
Namun seiring berjalannya waktu, fenomena yang terjadi saat ini di Bali bukannya dalam keadaan mendesak, dan tidak pula ada kapiambengan di desa pakraman, namun malah dibawa ke kremasi. “Ini sudah banyak terjadi. Dan yang lebih fatal tiang lihat, ada keluarga yang meninggal di rumah, kemudian jenazahnya dititip di rumah sakit, lalu hari H dibawa ke krematorium untuk dikremasi. Kalau begini bisa memunculkan pemikiran ‘sing perlu mebanjar’ lagi,” ungkapnya.
Dengan pemikiran ‘yang penting gelis, praktis, dan ekonomis’, menurutnya akan berakibat memunculkan anggapan bahwa krama tidak perlu mebanjar lagi. Lalu perlahan eksistensi sebuah desa pakraman dengan konsep desa, kala, patranya akan terancam. Padahal, desa pakraman merupakan benteng pertahanan Pulau Dewata. Selain itu, desa pakraman terikat dengan Pura Kahyangan Tiga. Dengan banyaknya fenomena kremasi, apalagi tanpa didaasari adanya kapiambengan di desa pakraman, menurut Ida Pangelingsir Sukahet, krama akan merasa tidak terikat setra lagi di desa pakramannya sendiri.
“Kremasi ini penting untuk diputuskan. Kenapa desa pakraman bisa kuat sampai sekarang? Ya karena ada wewengkon, pangemong, awig-awig yang mengikat, serta terikat kahyangan tiga dan setra. Nah, ikatan setra ini yang harus dijaga oleh krama,” tegas tokoh yang juga menjabat Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) ini.
Melalui pasamuhan ini ingin ditegaskan agar konsep kremasi bisa kembali ke filosofi awal, hanya dilakukan jika ada kapiambengan di desa pakraman tempat krama yang meninggal itu milpil. Untuk mempertegasnya, maka diputuskan kremasi yang akan dilakukan harus mendapat persetujuan desa pakraman tempat dimana krama yang meninggal ini terdaftar sebagai krama adat (milpil). “Kremasi silakan tetap jalan. Kremasi dilakukan bila memang ada kapiambengan di desa pakraman tempat krama itu milpil. Dan yang penting lagi, kremasi bisa dilakukan jika persetujuan dari desa pakraman di tempat milpil melalui paruman, dan diketahui oleh desa pakraman tempat krematorium,” tegasnya.
Selain kremasi, persoalan pungli juga dibahas cukup panjang dalam pertemuan dua tahunan ini. Namun nampaknya persoalan pungli di desa pakraman masih belum detail dijelaskan bagaimana hukumnya jika melakukan pungutan di desa pakraman. Sebab, masih banyak peserta yang bertanya namun diskusi mentok pada jawaban sesuai pararem yang tidak bertentangan dengan undang-undang. Hal ini juga karena harus lebih jelas didiskusikan dengan tim pemprov, kejaksaan, kepolisian dan pihak terkait lainnya.
Menurut Bendesa Agung MUDP Bali, Jero Gede Putus Suwena Upadesa, pihaknya telah mengadakan pertemuan dengan tim pemprov tentang pungli. Dijelaskan, jika berdasarkan Perpres 87 tahun 2015, yang menjadi sasaran pungli adalah pejabat negara, atau yang mendapat gaji dari uang negara. Kemudian menurut Permendikbud, sasaran pungli diarahkan kepada sekolah dimana disitu ada komite yang memungut kembali biaya-biaya di sekolah. Pada Permendagri, sasaran pungli itu menyangkut kependukan dan administrasi.
“Pada peraturan menteri desa dan daerah tertinggal, disebutkan bahwa desa adat dibolehkan untuk memungut. Nah, perlu diperbaiki sekarang, diperbolehkan itu syaratnya apa? Satu, subyeknya harus jelas yaitu desa pakraman berdasarkan keputusan paruman. Kemudian obyek yang dipungut, peruntukan, mekanisme, pengelolaan, pertanggungjawaban, dan sebagainya. Ketika pararem nanti tidak bertentangan, lalu dengan UU mana yang tidak bertentangan? Nanti di tim perumus saya akan sampaikan termasuk peraturan-peraturan yang membolehkan,” jelasnya.
Sementara dalam pasamuhan ini ditegaskan juga bahwa prajuru desa pakraman tidak boleh ikut dalam partai politik. Hal ini untuk menghindari kepentingan-kepentingan politis yang menunggangi kekokohan desa pakraman di Bali. “Meniti karir di dunia politik silakan saja, tapi jangan menjadi prajuru desa pakraman,” tegasnya. *ind
Komentar