KPK Sebut Gugatan Praperadilan MAKI Tidak Berdasar
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberi tanggapan atas gugatan Praperadilan yang diajukan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar pada,
Kasus Pembangunan RS Unud
DENPASAR, NusaBali
Rabu (15/11). Dalam tanggapannya, KPK menyebut gugatan yang dimohonkan MAKI mengada-ada dan tidak berdasar.
Sebelumnya, MAKI mengajukan Praperadilan terkait status mantan Bendahara Partai Demokrat, M Nazaruddin yang tidak ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara pembangunan Rumah Sakit Khusus Infeksi dan Pariwisata Universitas Udayana (Unud) tahun 2009–2010. Padahal dalam perkara ini, Nazaruddin dan beberapa perusahaannya diketahui merupakan otak dalam perkara yang merugikan negara Rp 25 miliar. Malah KPK disebut menghentikan penyidikan untuk Nazaruddin ini.
Sementara itu, KPK dalam tanggapannya yang dibacakan secara bergantian oleh Juliandi Tigor Simanjuntak, Togi Robson Sirait dan Mia Suryani Siregar menyatakan alasan permohonan dari MAKI tersebut tidak benar dan tidak berdasar. Menurutnya, Undang-undang tidak mengatur KPK melakukan penghentian penyidikan. “Undang-Undang KPK Pasal 40, dengan tegas menyatakan, KPK tidak diberi kewenangan untuk mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara korupsi,” ungkap Togi Sirait.
Undang-undang hanya mengatur, KPK memiliki kewenangan untuk menghentikan penyelidikan. “Penyelidik dalam melakukan penyelidikan tidak menemukan permulaan yang cukup, KPK memiliki kewenangan untuk menghentikan itu,” jelas Togi Sirait.
Ditegaskannya, KPK telah melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap Nazaruddin terkait tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Dalam kasus korupsi yang menyeret Nazaruddin ke balik jeruji besi, sebagaimana putusan Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada tanggal 15 Juni 2016, tindak pidana yang dilakukan mantan bendahara Partai Demokrat ini termasuk di dalamnya adalah korupsi pembangunan gedung di Universitas Udayana.
Di mana Nazaruddin dijatuhi pidana penjara 6 tahun dan denda sebesar Rp1 miliar subsider 1 tahun penjara. Juliandi Tigor menambahkan, di dalam pertimbangan majelis hakim, telah dengan tegas mengatakan, Muhammad Nazaruddin sebagai pemilik dan pengendali dari Permai Group yang terdiri dari PT Anugrah Nusantara, PT Anak Negeri telah menerima imbalan atau komitmen fee sebesar Rp23.119.278.000 dalam pembangunan gedung di Universitas Udayana dan proyek lainnya. “Hasil yang diperoleh Nazaruddin dari pembangunan gedung di Universitas Udayana dan proyek lainnya dirampas untuk negara,” tegas Juliandi.
“Sehingga sangat tidak mendasar alasan dari pemohon MAKI menyatakan KPK melakukan penghentian penyidikan secara tidak sah,” lanjutnya. Selain tanggapan dalil – dalil hukum atas alasan permohonan praperadilan yang dimohonkan MAKI, wakil KPK juga mempertanyakan kewenangan PN Denpasar untuk menyidangkan permohonan praperadilan ini. Oleh sebab itu, selain memohon majelis hakim menyatakan permohonan MAKI tidak dapat diterima, juga menyatakan PN Denpasar tidak berwewenang memeriksa, mengadili dan memutus permohonan praperadilan tersebut. *rez
DENPASAR, NusaBali
Rabu (15/11). Dalam tanggapannya, KPK menyebut gugatan yang dimohonkan MAKI mengada-ada dan tidak berdasar.
Sebelumnya, MAKI mengajukan Praperadilan terkait status mantan Bendahara Partai Demokrat, M Nazaruddin yang tidak ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara pembangunan Rumah Sakit Khusus Infeksi dan Pariwisata Universitas Udayana (Unud) tahun 2009–2010. Padahal dalam perkara ini, Nazaruddin dan beberapa perusahaannya diketahui merupakan otak dalam perkara yang merugikan negara Rp 25 miliar. Malah KPK disebut menghentikan penyidikan untuk Nazaruddin ini.
Sementara itu, KPK dalam tanggapannya yang dibacakan secara bergantian oleh Juliandi Tigor Simanjuntak, Togi Robson Sirait dan Mia Suryani Siregar menyatakan alasan permohonan dari MAKI tersebut tidak benar dan tidak berdasar. Menurutnya, Undang-undang tidak mengatur KPK melakukan penghentian penyidikan. “Undang-Undang KPK Pasal 40, dengan tegas menyatakan, KPK tidak diberi kewenangan untuk mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara korupsi,” ungkap Togi Sirait.
Undang-undang hanya mengatur, KPK memiliki kewenangan untuk menghentikan penyelidikan. “Penyelidik dalam melakukan penyelidikan tidak menemukan permulaan yang cukup, KPK memiliki kewenangan untuk menghentikan itu,” jelas Togi Sirait.
Ditegaskannya, KPK telah melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap Nazaruddin terkait tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Dalam kasus korupsi yang menyeret Nazaruddin ke balik jeruji besi, sebagaimana putusan Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada tanggal 15 Juni 2016, tindak pidana yang dilakukan mantan bendahara Partai Demokrat ini termasuk di dalamnya adalah korupsi pembangunan gedung di Universitas Udayana.
Di mana Nazaruddin dijatuhi pidana penjara 6 tahun dan denda sebesar Rp1 miliar subsider 1 tahun penjara. Juliandi Tigor menambahkan, di dalam pertimbangan majelis hakim, telah dengan tegas mengatakan, Muhammad Nazaruddin sebagai pemilik dan pengendali dari Permai Group yang terdiri dari PT Anugrah Nusantara, PT Anak Negeri telah menerima imbalan atau komitmen fee sebesar Rp23.119.278.000 dalam pembangunan gedung di Universitas Udayana dan proyek lainnya. “Hasil yang diperoleh Nazaruddin dari pembangunan gedung di Universitas Udayana dan proyek lainnya dirampas untuk negara,” tegas Juliandi.
“Sehingga sangat tidak mendasar alasan dari pemohon MAKI menyatakan KPK melakukan penghentian penyidikan secara tidak sah,” lanjutnya. Selain tanggapan dalil – dalil hukum atas alasan permohonan praperadilan yang dimohonkan MAKI, wakil KPK juga mempertanyakan kewenangan PN Denpasar untuk menyidangkan permohonan praperadilan ini. Oleh sebab itu, selain memohon majelis hakim menyatakan permohonan MAKI tidak dapat diterima, juga menyatakan PN Denpasar tidak berwewenang memeriksa, mengadili dan memutus permohonan praperadilan tersebut. *rez
Komentar