Berhasil Ciptakan Rindik Bertingkat Dua dan Bertingkat Tiga
Rindik bertingkat buatan sudah didaftarkan hak ciptanya ke HAKI, dengan nomor registrasi C20.2013.0009 dan C20.2013.0010, tahun 2013 lalu
I Gusti Rai, Sarjana Teknik yang Dapat Penghargaan Berkat Totalitasnya di Kerajinan Rindik
DENPASAR, NusaBali
Ir I Gusti Rai, 51, termasuk salah perajin alat musik tradisional Bali yang sangat inovatif. Dialah yang menciptakan alat musik rindik bertingkat dua dan bertingkat tiga (rindik piano), dengan memadukan seni dan ilmu teknik. I Gusti Rai juga membuat brand ‘Rindik Bambu Bali’ untuk memudahkan masyarakat mengingat rindik dan karya-karyanya.
Rindik sebagai alat musik dari bambu selama ini menjadi salah satu identitas Pulau Dewata. Bila mendengar alunan musik yang keluar dari alat musik rindik, orang akan langsung membayangkan dan serasa sedang ada di Bali. Alat musik ini begitu menarik perhatian seorang Gusti Rai, Sarjana Tekik jebolan Fakultas Teknik Universitas Warmadewa (Unwaar) Denpasar.
Gusti Rai bukan hanya mempelajari cara memainkan rindik, tapi bahkan mengeksplorasi bentuk alat musik berbahan bambu ini. Maka, seniman asal Banjar Santi, Desa Selat, Kecamatan Selat, Karangasem ini berhasil menciptakan rindik bertingkat dua dan bertingkat tiga. Permainan rindik dari ‘Rindik Bambu Bali’ karya Gusti Rai sudah banyak diunggah di channel youtube.
Saat NusaBali berkunjung ke kediamannya di Perumahan Darmasaba Permai B5, Desa Darmasaba, Kecamatan Abiansemal, Badung, belum lama ini, Gusti Rai sempat menceritakan ketertarikannya mengeksplorasi bentuk rindik. Semua berawal dari tantangan dalam diri. Menurut Gusti Rai, dirinya selalu merasa tertantang untuk melakukan hal baru dan berbeda dari yang lain.
Nah, setelah belajar bermain rindik, terpikir kemudian bagaimana caranya agar bisa ngerindik sendiri. Selama ini, untuk memainkan satu lagu, biasanya harus ngerindik berdua. Berkat perjuangannya, Gusti Rai berhasil menciptakan rindik klasik bertingkat dua dan bertingkat tiga tahun 2013 lalu.
“Orang lain ngerindik berdua, saya ingin bermain sendirian. Saya berpikir harus menciptakan suatu alat yang belum ada dan berbeda. Saya bukan orang seni, tapi dengan memadukan ilmu teknik yang saya miliki, saya bisa menciptakan rindik bertingkat ini,” ungkap pria kelahiran 23 Agustus 1966 ini.
Dengan rindik bertingkat dua, kata Gusti rai, satu orang bisa memainkan dua penambuh rindik sekaligus. Rindik bertingkat ini terdiri dari dua buah rindik, di mana salah satu rinya yakni yang bagian atas dipasang terbalik. Dengan begitu, ketika memainkan sebuah tabuh, satu pukulan akan mengenai rindik bagian bawah dan atas. Tinggal kemudian menyesuaikan dengan tabuh dan ketukannya pada bambu bagian mana agar terdengar menyatu dalam satu tabuh.
“Dengan rindik ini, otak bekerja lebih aktif. Sebab, ketika dimainkan berdua, masing-masing kan tidak sama menabuhnya (ketukan bambu, Red), tapi akhirnya terdengar menyatu dalam satu tabuh. Nah, kalau yang bertingkat ini, dimainkan satu orang dan harus memerankan ketukan bambu dari kedua penabuh tadi agar menjadi satu tabuh yang menyatu. Di sinilah tantangannya,” cerita Gusti Rai.
Demikian pula dengan rindik klasik bertingkat tiga. Rindik ini disebut rindik piano, karena bentuknya memang menyerupai piano. Rindik bertingkat tiga ini bisa dimainkan oleh dua orang, dari yang biasanya tiga sampai empat penabuh. Bentuknya pun menyerupai rindik bertingkat dua, di mana pada tingkat kedua rindik dipasang terbalik, sedangkan yang tingkat tiga dipasang menghadap ke atas.
Gusti Rai menceritakan, rindik yang diciptakannya bukannya tanpa perhitungan, bukan pula hanya mengandalkan suara bambu seperti yang dilakukan perajin rindik umumnya. Secara otodidak, dia belajar membuat sebuah rindik dengan analisis teknik yang tepat. Rindik yang diciptakannya tidak saja menghasilkan suara yang bagus, namun juga tahan lama.
“Rindik yang dicari adalah yang bagus suaranya. Rindik yang bagus ditentukan oleh tiga unsur, yakni tangga nada, ketetapan oktaf, dan ketepatan reng. Suara rindik bero atau enak didengar, tergantung dari ketepatan tiga unsur itu. Tidak banyak yang tahu hal tersebut, karena perajin rindik selama ini hanya mengandalkan suara. Dan,” jelas ayah dua anak dari pernikahannya dengan Ni Nym Eka Juwini ini.
Menurut Gusti Rai, rindik ciptaanya terbuat dari Bambu Santong. Ada pula dari Bambu Tabah, Bambu Jajang, dan Bambu Tultul. Jenis-jenis bambu tersebut bagus dipakai untuk bahan rindik. Namun, untuk menjadikan bambu sebagai rindik, harus menunggu tua dulu agar bisa menghasilkan suara yang bagus dan tidak mudah pecah. Setelah cukup bagus untuk dipakai bahan rindik, bambu tua itu juga harus dikeringkan dalam keadaan berdiri. Tujuan pengeringan ini agar suara lebih jernih dan tidak gampang berubah secara alami.
Nah, pengeringan ini tidak serta merta jadi dalam waktu sehari. Setidaknya, perlu waktu minimal 6 bulan agar bambu bisa diolah menjadi sebuah alat musik rindik yang bagus. Sadar waktu pengeringan terlalu lama, ‘Rindik Bambu Bali’ kemudian membuat cara pengeringan yang lebih efektif, dengan dusdus oven. Model dusdus oven ini adalah pengasapan tradisional Bali, dengan memakai jalikan, di mana bambu dimasukkan ke dalam sebuah drum, kemudian bagian bawahnya diisi kayu bakar. Hasilnya, pengeringan yang seharusnya selama 6 bulan bisa dipangkas menjadi hanya 1 bulan.
“Tujuan mencipatakan dusdus oven ini, untuk pengeringan bambu lebih cepat. Selain itu, untuk mematikan bibit subatah atau bubuk yang sudah ada hinggap di dalam bambu itu. Selain itu, agar sari yang ada dalam serat bambu menjadi tidak enak lagi dimakan, sehingga otomatis bambu akan awet,” bebernya.
Selain rindik klasik bertingkat dua dan bertingkat tiga, ‘Rindik Bambu Bali’ juga menginovasi rindik biasa menjadi rindik dengan bilah bambu (biasanya disebut tingklik) dengan kombinasi pipa PVC. Kombinasi ini dapat menghasilkan suara yang lebih bergema. Adapun di dalam pipanya diisi alat penyetel suara atau nada, yang bisa diputar dengan obeng plus.
“Saya menciptakan dari bilah, karena kalau dari bambu bulat biasanya pecah lantaran ada perlawanan penampang, di mana jika mengkerut akan menyebabkan pecah, begitu juga jika memuai. Jadi, saya pecahin duluan lewat bilah,” jelas Gusti Rai.
“Nah, kalau dipecah itu suaranya tidak sama dengan rindik, jadi terdengar seperti tingklik. Saya kombinasikan dengan pipa PVC. Suaranya persis seperti rindik dengan bambu bulat. Istimewanya, kalau dijemur tidak akan apa-apa. Saya sudah ujicoba.”
Sampai saat ini, Rindik Bambu Bali hanya memproduksi rindik kombinasi bilah bambu dan PVC. Hingga kini sudah terjual 8 unit ke Australia. Sedangkan rindik klasik yang bertingkat sengaja tidak diproduksi. Menurut Gusti Rai, kedua karyanya berupa rindik klasik bertingkat dua dan bertingkat tiga merupakan kekayaan inteletualnya, sehingga enggan untuk diproduksi dan dijualbelikan.
Untuk menghargai karyanya, tahun 2013 lalu ‘Rindik Bambu Bali’ sudah mendaftarkan hak cipta kedua rindik ini di HAKI dengan nomor registrasi C20.2013.0009 dan C20.2013.0010. “Rindik bertingkat dua dan bertingkat tiga tidak dijual, karena merupakan kekayaan inteletual saya. Dan, saya ingin rindik saya dikenal sepanjang masa, sekalipun nanti saya sudah meninggal. Jika ada yang ingin rindik, saya hanya memproduksi rindik biasa, tapi dengan kombinasi bilah bambu dengan pipa PVC,” tegas Gusti Rai.
Atas inovasi yang dilakukannya, Gusti Rai sempat menerima penghargaan ‘Silpakara Nugraha’ dari Pemprov Bali tahun 2015. Penghargaan ini diberikan kepada warga negara atau masyarakat, baik secara perorangan ataupun kelompok, yang mampu menghasilkan inovasi kreatif, yang dalam segi kemanfaatannya bisa meningkatkan kesejahteraan dan berdampak besar dalam mengubah kehidupan masyarakat. Nama Gusti Rai pun tercatat untuk kategori ‘pembangunan teknologi dalam rangka mendukung pelestarian dan pengembangan seni dan budaya Bali’. *ind
Komentar