Polda Sebut Yonda Lakukan Pemerasan Terselubung
Penetapan Bendesa Adat Tanjung Benoa, I Made Wijaya alias Yonda dalam kasus pungli (pungutan liar) oleh Polda Bali semakin memanas.
Pasca Penetapan Bendesa Tanjung Benoa Kasus Pungli
DENPASAR, NusaBali
Setelah kuasa hukum Yonda menyatakan memiliki payung hukum atas pungutan tersebut, kini giliran Polda Bali yang membantahnya. Bahkan, pungutan tersebut dinilai sebagai pemerasan terselubung yang bersembunyi dibalik kepentingan Desa.
Kabid Humas Polda Bali, Kombes Pol Hengky Widjaja menerangkan tindakan kepolisian dilakukan karena ingin meningkatkan eksistensi desa dalam mendukung kebijakan Pemerintah Daerah (Pemda) Bali. Sebagai daerah tujuan wisata dunia, harus dapat memberikan rasa aman dan nyaman terhadap tamu domestik dan mancanegara. “Salah satunya adalah membersihkan preman-preman yang meresahkan, termasuk preman yang berkamuflase menjadi perangkat desa yang mengatasnamakan masyarakat tapi untuk kepentingan pribadi dan golongannya,” ujarnya melalui siaran pers via Whatsapp, Senin (20/11) siang.
Dijelaskan Kombes Hengky, tindakan Subdit I Keamanan Negara (Kamneg) Ditreskrimum Polda Bali melakukan OTT (operasi tangkap tangan) terhadap seorang wanita berinisial NKR pada 2 Agustus lalu karena ada keberatan dari masyarakat bahwa telah terjadi pungutan yang dinilai sebagai pemerasan terselubung kepada para pengelola wisata bahari di Tanjung Benoa. Pemerasan itu dengan cara melakukan pungutan yang memberatkan dengan dalih untuk kepentingan Desa. “Peristiwa tersebut dimulai sejak tanggal 20 Desember 2014, dimana Yonda sebagai Bendesa Adat menyampaikan kepada para pengelola Wisata bahari di Tanjung Benoa agar membayar kepada Desa Adat uang sebesar Rp10 ribu per kepala atau per aktifitas selama kegiatan usahanya berlangsung,” ungkapnya.
Selanjutnya pada tanggal 25 April 2015, disahkan Perarem sebagai dasar melakukan pungutan dengan substansi bahwa setiap perusahaan wajib membantu Desa Tanjung Benoa dalam memfasilitasi penitipan harga diatas nett price yang diatur. Dan sanksinya adalah penutupan akses jalan menuju perusahaan bila melanggar. Sedangkan besarnya nilai pungut Rp10.000 per kepala atau per aktifitas dituangkan dalam surat edaran tersendiri. Dalam pelaksanaan, pemungutan dibentuk Satuan Gali Potensi Desa adat. “Pada prinsipnya, pungutan yang didasarkan perarem hasil paruman desa tidak dipermasalahkan, bila materi yang dibuat benar dan tidak bertentangan dengan aturan diatasnya. Selain itu, dibuat atas dasar musyawarah, bukan atas pesanan oknum tertentu sebagai legal standing atas perbuatannya melawan hukum,” tegasnya.
Menurut perwira dengan pangkat tiga melati di pundaknya ini, Pemerintah Daerah Bali bahkan telah mengatur dalam Perda Bali No.3 tahun 2003 tentang perubahan Perda No.3 tahun 2001 tentang desa Pekraman, bahwa Pendapatan Desa Pekraman diperoleh dari; urunan krama, hasil pengelolaan kekayaan desa, hasil usaha LPD, bantuan pemerintah, pendapatan lain yang sah dan sumbangan pihak ketiga yang tidak mengikat. Sedangkan ketentuan tentang pungutan pun sudah diatur dalam Undang - Undang No. 28 tahun 2009 tentang pajak dan retribusi daerah. “Diharapkan desa lain bekerjasama dengan pemerintah daerah dalam mengelola pendapatan desa guna menghindari pungutan illegal. Apabila ditemukan modus yang serupa akan dilakukan tindakan yang proporsional dan terukur sesuai aturan yang berlaku,” tungkasnya.
Seperti diketahui, Yonda yang merupakan anggota DPRD BAdung dari Fraksi Gerindra ini ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan Pungli oleh penyidik Subdit I Dit Reskrimum Polda Bali pada 25 Oktober lalu. Yonda ditetapkan sebagai tersangka bersama empat orang warga lainnya masing - masing berinisiak IMS, IKS, IWK dan NKR. Penetapan para tersangka ini setelah penyidik memeriksa sedikitnya 79 orang saksi dan mengelar gelar perkara. Namun, pada Minggu (19/11) kemarin, Yonda melalui kuasa Hukumnya Eddi Iswahyudi dan Ketut Rinata menampik tindakan pungutan tersebut memiliki payung hukum dan atas kesepakatan bersama. Bahkan, mereka menilai tuduhan pungli itu tidak benar adanya. *dar
Komentar