'Tak Melarang Kremasi, Namun Wajib Lapor'
Pemberitahuan untuk kremasi di krematorium kepada desa adat sebagai bentuk menjaga pasidikaraan (persatuan) dalam tatanan adat masyarakat Bali.
DENPASAR, NusaBali
Keputusan soal kremasi di krematorium saat Pasamuhan Agung VI Majelis Desa Pakraman beberapa waktu lalu menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Bendesa Agung Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali, Jero Gede Putus Suwena Upadesa menegaskan tidak melarang jika krama ingin melakukan kremasi di krematorium, asal keluarga tetap ingat melakukan pemberitahuan atau lapor kepada desa pakraman dimana yang meninggal terdaftar sebagai krama adat (milpil).
“Bukan berarti kita tidak ngasi. Kremasi itu ibarat kita ingin pergi ke negara lain. Kan tidak ada larangan, cuma memang ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. Salah satunya tidak lupa untuk minta izin. Dalam hal ini, yang ingin dikremasi harus diberitahukan kepada desa pakraman tempatnya milpil,” ungkapnya saat ditemui di Denpasar, Kamis (23/11).
“Kalau di tempat krematorium itu kan pengayengan semua. Itu tidak salah juga. Karena Ida Bhatara ada dimana-mana. Yang penting ada satu perikatan atau pemberitahuan antara satu pihak dengan pihak lainnya agar jangan sampai nanti terlupakan desanya,” katanya.
Jero Suwena menambahkan, pemberitahuan sebagai bentuk menjaga pasidikaraan (persatuan) dalam tatanan adat masyarakat Bali. “Seringkali tidak melapor ke desa adat. Nah, permasalahan itu yang kita angkat. Jangan sampai nyari fragmatisnya, cepetnya, ekonomisnya, kemudian pasidikaraan di desa hilang, gotong royong hilang. Itu yang kita khawatirkan. Pasidikaraan hilang, pengempon hilang, siapa nanti suruh ngurusin pura, dan sebagainya,” beber Jero Suwena.
Setelah pemberitahuan tersebut, kata Jero Suwena, bendesa adat juga tidak serta merta bisa melarang krama untuk melakukan kremasi. “Berikanlah dia rekomendasi bahwa desa pakraman sedang dalam keadaan tidak bisa mengubur atau ngaben pada waktu itu, atau ada halangan lainnya. Karena itu silakan lakukan kremasi dengan catatan beritahukan juga desa pakraman di tempat kremasi itu,” katanya.
Diungkapkan Jero Suwena, bahwa sebenarnya pada awal mula pembangunan krematorium pertama di Cekomaria, MUDP turut memberikan rekomendasi saat itu, dengan dasar bahwa tujuan didirikannya krematorium adalah untuk memberikan solusi apabila ada krama meninggal yang memiliki masalah-masalah di desanya. Kedua, apabila ada krama yang tinggal dan mekrama di luar Bali, namun tiba-tiba meninggal di Bali.
“Misalnya ada saudara kita yang tinggal, berumah tangga atau mekrama di luar Bali. Suatu saat misalnya dia berobat atau sedang pulang kampung ke Bali, kemudian meninggal, kan kadang-kadang susah buat nyari setra. Nah, kremasi bisa jadi solusi,” jelasnya.
Ketiga, kremasi dilakukan apabila di desa pakraman ada suatu larangan atau kekeran desa yang tidak boleh ngaben atau mendem pada hari-hari tertentu. “Hal-hal lainnya, misalnya persoalan adat sehingga jangan sampai ada jenazah di desa tidak diupacarai, yang menyebabkan desa cuntaka. Termasuk hal lainnya yang sebenarnya untuk kebaikan desa,” imbuhnya.
Dalam rangka bagaimana menjaga eksistensi desa pakraman, kata Jero Suwena, tantangan global adat dan budaya saat ini adalah masyarakat yang ingin praktis, ekonomis, dan cepat selesai. Karena itu, menurut dia, alangkah lebih baik kalau kremasi dilakukan misalnya karena kekeran desa atau halangan di desa adat, supaya mayat tidak terlalu lama di desa pakraman yang bersangkutan yang akhirnya menimbulkan cuntaka. Namun pihaknya kembali menegaskan tidak serta merta melarang krama untuk kremasi di krematorium.
“Jadi tantangan adat dan budaya kita itu adalah ketika nanti tidak ada yang ngurusin. Semuanya lantas nggak mau pulang kampung, nggau ngurusin Pura, setra. Kemudian bagaimana tatanan adat dan kultur orang Bali. Bagaimana menjaga eksistensi desa pakraman di era kekinian? Ini tantangan kita,” ucapnya.
“Kita tidak menolak krematorium. Toh misalnya nanti kalau ada yang mau buat, perlu juga desa pakraman bekerja sama dengan siapa yang akan membuat itu. Jangan sampai membuat krematoriun di hulu, atau membuat krematorium dekat Pura Puseh. Kan tidak pantas,” cetusnya.
Selain krematorium, kata Jero Suwena, sebenarnya ada solusi lain yang disebut dengan setra pengilang-ilang. Penguburan ini apabila ada seseorang yang tidak ada tempat, tidak ada keluarga, lalu meninggal di tempat kita yang kemudian harus dipendem (dikubur). “Tempatnya di barat daya. Daripada cuntaka desa, kita bisa lakukan hal itu. Itu yang namanya fleksibitas dan penghargaan desa pakraman terhadap orang yang tinggal di wilayah desa, siapa saja,” katanya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Pasamuhan Agung VI Majelis Desa Pakraman (MDP) 2017 yang digelar di Gedung Ksiraranawa, Taman Budaya, Denpasar, Rabu (15/11) menghasilkan beberapa keputusan yang sangat krusial dalam menguatkan eksistensi desa pakraman dalam menghadapi tantangan global. Salah satunya menyangkut fenomena kremasi masyarakat Bali. Dalam pasamuhan itu diputuskan, kremasi yang akan dilakukan harus mendapat persetujuan desa pakraman tempat dimana krama yang meninggal ini terdaftar sebagai krama adat (milpil). *in
Keputusan soal kremasi di krematorium saat Pasamuhan Agung VI Majelis Desa Pakraman beberapa waktu lalu menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Bendesa Agung Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali, Jero Gede Putus Suwena Upadesa menegaskan tidak melarang jika krama ingin melakukan kremasi di krematorium, asal keluarga tetap ingat melakukan pemberitahuan atau lapor kepada desa pakraman dimana yang meninggal terdaftar sebagai krama adat (milpil).
“Bukan berarti kita tidak ngasi. Kremasi itu ibarat kita ingin pergi ke negara lain. Kan tidak ada larangan, cuma memang ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. Salah satunya tidak lupa untuk minta izin. Dalam hal ini, yang ingin dikremasi harus diberitahukan kepada desa pakraman tempatnya milpil,” ungkapnya saat ditemui di Denpasar, Kamis (23/11).
“Kalau di tempat krematorium itu kan pengayengan semua. Itu tidak salah juga. Karena Ida Bhatara ada dimana-mana. Yang penting ada satu perikatan atau pemberitahuan antara satu pihak dengan pihak lainnya agar jangan sampai nanti terlupakan desanya,” katanya.
Jero Suwena menambahkan, pemberitahuan sebagai bentuk menjaga pasidikaraan (persatuan) dalam tatanan adat masyarakat Bali. “Seringkali tidak melapor ke desa adat. Nah, permasalahan itu yang kita angkat. Jangan sampai nyari fragmatisnya, cepetnya, ekonomisnya, kemudian pasidikaraan di desa hilang, gotong royong hilang. Itu yang kita khawatirkan. Pasidikaraan hilang, pengempon hilang, siapa nanti suruh ngurusin pura, dan sebagainya,” beber Jero Suwena.
Setelah pemberitahuan tersebut, kata Jero Suwena, bendesa adat juga tidak serta merta bisa melarang krama untuk melakukan kremasi. “Berikanlah dia rekomendasi bahwa desa pakraman sedang dalam keadaan tidak bisa mengubur atau ngaben pada waktu itu, atau ada halangan lainnya. Karena itu silakan lakukan kremasi dengan catatan beritahukan juga desa pakraman di tempat kremasi itu,” katanya.
Diungkapkan Jero Suwena, bahwa sebenarnya pada awal mula pembangunan krematorium pertama di Cekomaria, MUDP turut memberikan rekomendasi saat itu, dengan dasar bahwa tujuan didirikannya krematorium adalah untuk memberikan solusi apabila ada krama meninggal yang memiliki masalah-masalah di desanya. Kedua, apabila ada krama yang tinggal dan mekrama di luar Bali, namun tiba-tiba meninggal di Bali.
“Misalnya ada saudara kita yang tinggal, berumah tangga atau mekrama di luar Bali. Suatu saat misalnya dia berobat atau sedang pulang kampung ke Bali, kemudian meninggal, kan kadang-kadang susah buat nyari setra. Nah, kremasi bisa jadi solusi,” jelasnya.
Ketiga, kremasi dilakukan apabila di desa pakraman ada suatu larangan atau kekeran desa yang tidak boleh ngaben atau mendem pada hari-hari tertentu. “Hal-hal lainnya, misalnya persoalan adat sehingga jangan sampai ada jenazah di desa tidak diupacarai, yang menyebabkan desa cuntaka. Termasuk hal lainnya yang sebenarnya untuk kebaikan desa,” imbuhnya.
Dalam rangka bagaimana menjaga eksistensi desa pakraman, kata Jero Suwena, tantangan global adat dan budaya saat ini adalah masyarakat yang ingin praktis, ekonomis, dan cepat selesai. Karena itu, menurut dia, alangkah lebih baik kalau kremasi dilakukan misalnya karena kekeran desa atau halangan di desa adat, supaya mayat tidak terlalu lama di desa pakraman yang bersangkutan yang akhirnya menimbulkan cuntaka. Namun pihaknya kembali menegaskan tidak serta merta melarang krama untuk kremasi di krematorium.
“Jadi tantangan adat dan budaya kita itu adalah ketika nanti tidak ada yang ngurusin. Semuanya lantas nggak mau pulang kampung, nggau ngurusin Pura, setra. Kemudian bagaimana tatanan adat dan kultur orang Bali. Bagaimana menjaga eksistensi desa pakraman di era kekinian? Ini tantangan kita,” ucapnya.
“Kita tidak menolak krematorium. Toh misalnya nanti kalau ada yang mau buat, perlu juga desa pakraman bekerja sama dengan siapa yang akan membuat itu. Jangan sampai membuat krematoriun di hulu, atau membuat krematorium dekat Pura Puseh. Kan tidak pantas,” cetusnya.
Selain krematorium, kata Jero Suwena, sebenarnya ada solusi lain yang disebut dengan setra pengilang-ilang. Penguburan ini apabila ada seseorang yang tidak ada tempat, tidak ada keluarga, lalu meninggal di tempat kita yang kemudian harus dipendem (dikubur). “Tempatnya di barat daya. Daripada cuntaka desa, kita bisa lakukan hal itu. Itu yang namanya fleksibitas dan penghargaan desa pakraman terhadap orang yang tinggal di wilayah desa, siapa saja,” katanya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Pasamuhan Agung VI Majelis Desa Pakraman (MDP) 2017 yang digelar di Gedung Ksiraranawa, Taman Budaya, Denpasar, Rabu (15/11) menghasilkan beberapa keputusan yang sangat krusial dalam menguatkan eksistensi desa pakraman dalam menghadapi tantangan global. Salah satunya menyangkut fenomena kremasi masyarakat Bali. Dalam pasamuhan itu diputuskan, kremasi yang akan dilakukan harus mendapat persetujuan desa pakraman tempat dimana krama yang meninggal ini terdaftar sebagai krama adat (milpil). *in
1
Komentar