Acara Dimulai oleh Pertanda 'Gaib', Nasi yang Tercecer Pantang Dibersihkan
Yang diperebutkan adalah nasi berikut lauk. Khusus lauk menggunakan ayam hasil tabuh rah yang dilakukan sesaat sebelum panyineban.
Unik, Tradisi Megarang Nasi di Desa Adat Tanjung Bungkak, Denpasar Timur
DENPASAR, NusaBali
Ada banyak cara untuk mensyukuri anugerah Tuhan. Salah satunya, melalui tradisi unik yang dilakukan masyarakat Desa Adat Tanjung Bungkak, Denpasar Timur, berupa tradisi megarang nasi. Tradisi yang memperebutkan nasi ini dilakukan di Pura Daleng Tanjung Sari, desa adat setempat pada Sukra Pon Medangsia, Jumat (24/11) sore.
Tradisi megarang nasi merupakan rangkaian dari piodalan di Pura Dalem Tanjung Sari yang jatuh setiap Anggara Kasih Medangsia. Pura Dalem Tanjung Sari sendiri dimiliki oleh desa dan kaempon oleh keluarga besar Penataran. Nah, tahun ini, piodalan diadakan pada 21 November dan nyejer selama tiga hari hingga 24 November. Pada hari terakhir atau panyineban, Jumat kemarin, barulah tradisi megarang nasi ini dilakukan.
Menurut Bendesa Desa Adat Tanjung Bungkak I Ketut Suweden, tradisi ini bertujuan untuk memohon sekaligus mensyukuri anugerah yang diberikan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
“Nasi yang diperebutkan ini diyakini sebagai anugerah, berkah yang diberikan Tuhan kepada krama Desa Adat Tanjung Bungkak, damuh Ida,” ungkapnya.
Meskipun menurut Pemangku Pura Dalem desa setempat, Jero Mangku Dalem Tanjung Sari, tidak ditemukan sumber sejarah yang jelas untuk ini, namun tradisi tersebut sudah dilakukan secara turun temurun sejak Pura Dalem Tanjung Sari ada. Setiap piodalan, tradisi ini pasti dilakukan.
Lebih lanjut dijelaskan Bendesa Suweden, dalam tradisi megarang nasi, yang diperebutkan adalah nasi berikut olahan lauknya. Khusus lauk, dalam tradisi itu menggunakan ayam hasil tabuh rah yang dilakukan sesaat sebelum panyineban. “Ada tabuh rah, dimana ayam yang kalah pertama itu yang dipakai dalam megarang nasi ini sebagai olahan. Namun sebelumnya, pemangku menghaturkan dulu nasi yang sudah siap untuk digarang ini ke hadapan Tuhan yang bersthana di sini. Baru kemudian ditunas secara bersama-sama,” katanya.
Setelah nasi dan olahan lauknya siap, krama berduyun-duyun ke pura. Tradisi itu diawali dengan sembahyang bersama. Setelahnya, krama menunggu waktu untuk megarang nasi. Uniknya, tradisi ini tanpa komando formal seperti tepak kulkul atau arahan bendesa. Tradisi dimulai secara spontan, setelah pertanda yang bisa dibilang ‘gaib’ dirasakan krama. Kemarin, entah dari arah mana, ada krama yang spontan berteriak merasakan sesuatu. Sehingga itu menjadi tanda untuk memulai tradisi megarag nasi ini.
“Tradisi ini tidak bisa ditentukan jam mulainya, spontan saja. Ada seperti penanda yang dirasakan krama, seperti getaran-getaran lain, suara meriung di telinga, atau ada hentakan-hentakan padahal tidak ada yang menghentak. Bisa juga dari jaba luar lari ke sini karena mendengar suara ramai seperti orang merebut, tapi ternyata yang di sini masih duduk-duduk saja. Ketika ada seperti ini, krama mesuryak dan langsung berebut nasi,” ujarnya.
Setelah megarang nasi, krama akan merasakan suatu berkah. Walaupun hanya satu bulir nasi tapi mereka yakin itu adalah anugerah yang luar biasa. Ini mengajarkan krama untuk bersyukur. Selain bersyukur, di dalamnya juga terkandung makna kebersamaan. Ketika mendapat berkah, tidak lupa juga mereka berbagi kepada yang belum mendapatkan berkah itu.
“Waktu berebut itu, mereka saling berbagi. Selain itu, bagi yang tidak bisa datang ke pura, satu orang mewakili keluarganya untuk mengambil. Sehingga nanti dibagi-bagi lagi di rumah,” jelas Bendesa Suweden.
Setelah tradisi megarang nasi, rupanya ada pantangan untuk tidak membersihkan areal tradisi megarang nasi dilakukan. Nasi sisa yang banyak berjatuhan ke tanah dibiarkan begitu saja. Berdasarkan tradisi, diyakini ada makhluk-makhluk lain, yang mungkin saja tidak terlihat juga akan menikmati nasi yang digarang itu. Sehingga, sisa nasi dibiarkan hingga esok pagi. Ajaibnya, keesokan hari, areal tersebut telah bersih dengan sendirinya.
“Sisa-sisa yang terjatuh tidak boleh diambil lagi. Karena pasti binatang, atau yang kita yakini makhluk tidak kelihatan juga ikut menikmati. Karena kita meyakini, ada yang tidak terlihat, yang sering membantu kita di alam ini. Makanya tidak boleh ada yang ke pura malam ini (Jumat malam). Kita yakin besok habis semua itu (nasi yang tercecer, Red),” ungkapnya. *ind
DENPASAR, NusaBali
Ada banyak cara untuk mensyukuri anugerah Tuhan. Salah satunya, melalui tradisi unik yang dilakukan masyarakat Desa Adat Tanjung Bungkak, Denpasar Timur, berupa tradisi megarang nasi. Tradisi yang memperebutkan nasi ini dilakukan di Pura Daleng Tanjung Sari, desa adat setempat pada Sukra Pon Medangsia, Jumat (24/11) sore.
Tradisi megarang nasi merupakan rangkaian dari piodalan di Pura Dalem Tanjung Sari yang jatuh setiap Anggara Kasih Medangsia. Pura Dalem Tanjung Sari sendiri dimiliki oleh desa dan kaempon oleh keluarga besar Penataran. Nah, tahun ini, piodalan diadakan pada 21 November dan nyejer selama tiga hari hingga 24 November. Pada hari terakhir atau panyineban, Jumat kemarin, barulah tradisi megarang nasi ini dilakukan.
Menurut Bendesa Desa Adat Tanjung Bungkak I Ketut Suweden, tradisi ini bertujuan untuk memohon sekaligus mensyukuri anugerah yang diberikan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
“Nasi yang diperebutkan ini diyakini sebagai anugerah, berkah yang diberikan Tuhan kepada krama Desa Adat Tanjung Bungkak, damuh Ida,” ungkapnya.
Meskipun menurut Pemangku Pura Dalem desa setempat, Jero Mangku Dalem Tanjung Sari, tidak ditemukan sumber sejarah yang jelas untuk ini, namun tradisi tersebut sudah dilakukan secara turun temurun sejak Pura Dalem Tanjung Sari ada. Setiap piodalan, tradisi ini pasti dilakukan.
Lebih lanjut dijelaskan Bendesa Suweden, dalam tradisi megarang nasi, yang diperebutkan adalah nasi berikut olahan lauknya. Khusus lauk, dalam tradisi itu menggunakan ayam hasil tabuh rah yang dilakukan sesaat sebelum panyineban. “Ada tabuh rah, dimana ayam yang kalah pertama itu yang dipakai dalam megarang nasi ini sebagai olahan. Namun sebelumnya, pemangku menghaturkan dulu nasi yang sudah siap untuk digarang ini ke hadapan Tuhan yang bersthana di sini. Baru kemudian ditunas secara bersama-sama,” katanya.
Setelah nasi dan olahan lauknya siap, krama berduyun-duyun ke pura. Tradisi itu diawali dengan sembahyang bersama. Setelahnya, krama menunggu waktu untuk megarang nasi. Uniknya, tradisi ini tanpa komando formal seperti tepak kulkul atau arahan bendesa. Tradisi dimulai secara spontan, setelah pertanda yang bisa dibilang ‘gaib’ dirasakan krama. Kemarin, entah dari arah mana, ada krama yang spontan berteriak merasakan sesuatu. Sehingga itu menjadi tanda untuk memulai tradisi megarag nasi ini.
“Tradisi ini tidak bisa ditentukan jam mulainya, spontan saja. Ada seperti penanda yang dirasakan krama, seperti getaran-getaran lain, suara meriung di telinga, atau ada hentakan-hentakan padahal tidak ada yang menghentak. Bisa juga dari jaba luar lari ke sini karena mendengar suara ramai seperti orang merebut, tapi ternyata yang di sini masih duduk-duduk saja. Ketika ada seperti ini, krama mesuryak dan langsung berebut nasi,” ujarnya.
Setelah megarang nasi, krama akan merasakan suatu berkah. Walaupun hanya satu bulir nasi tapi mereka yakin itu adalah anugerah yang luar biasa. Ini mengajarkan krama untuk bersyukur. Selain bersyukur, di dalamnya juga terkandung makna kebersamaan. Ketika mendapat berkah, tidak lupa juga mereka berbagi kepada yang belum mendapatkan berkah itu.
“Waktu berebut itu, mereka saling berbagi. Selain itu, bagi yang tidak bisa datang ke pura, satu orang mewakili keluarganya untuk mengambil. Sehingga nanti dibagi-bagi lagi di rumah,” jelas Bendesa Suweden.
Setelah tradisi megarang nasi, rupanya ada pantangan untuk tidak membersihkan areal tradisi megarang nasi dilakukan. Nasi sisa yang banyak berjatuhan ke tanah dibiarkan begitu saja. Berdasarkan tradisi, diyakini ada makhluk-makhluk lain, yang mungkin saja tidak terlihat juga akan menikmati nasi yang digarang itu. Sehingga, sisa nasi dibiarkan hingga esok pagi. Ajaibnya, keesokan hari, areal tersebut telah bersih dengan sendirinya.
“Sisa-sisa yang terjatuh tidak boleh diambil lagi. Karena pasti binatang, atau yang kita yakini makhluk tidak kelihatan juga ikut menikmati. Karena kita meyakini, ada yang tidak terlihat, yang sering membantu kita di alam ini. Makanya tidak boleh ada yang ke pura malam ini (Jumat malam). Kita yakin besok habis semua itu (nasi yang tercecer, Red),” ungkapnya. *ind
1
Komentar