Sekaa Gambuh Mayasari Batuan Regenerasi Penari
Gambuh versi generasi muda ini sudah berhasil dipentaskan saat penyineban pujawali di Pura Desa lan Puseh Desa Batuan, pada Selasa (19/1) malam lalu.
GIANYAR, NusaBali
Sembilan tari tradisional Bali resmi mendapat pengakuan dari UNESCO sebagai Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity, atau Daftar Representatif Warisan Budaya Tak Benda Kemanusiaan. Kesembilan tarian tradisional tersebut adalah Rejang, Sanghyang Dadari, dan Baris Upacara yang digolongkan sebagai tarian sakral; Topeng Sidhakarya, Sendratari Gambuh, dan Sendratari Wayang Wong yang digolongkan sebagai tarian semi-sakral, serta tari Legong Kraton, Joged Bumbung, dan Barong Ket ‘Kuntisraya’, yang digolongkan sebagai tarian hiburan (entertainment).
Pengakuan ini otomatis menjadi sebuah tantangan Bagi generasi muda Bali untuk terus menjaga dan melestarikan keberadaan kesembilan tarian ini. Lebih-lebih, jangan sampai tarian yang sudah mendapat pengakuan ini justru punah seiring perkembangan zaman. Beruntung, jenis tarian sakral dan semi-sakral saat ini selalu beriringan dengan ritual keagamaan di Bali, sehingga keberadaannya dipastikan tetap eksis. Salah satunya tarian Gambuh, yang menurut Wikipedia masih aktif berkembang di Wilayah Kedisan Tegalalang Gianyar, Batuan Gianyar, Padang Aji dan Budekeling Karangasem Tumbak Bayuh Badung, Pedungan Denpasar, Apit Yeh Tabanan serta Anturan dan Naga Sepeha Buleleng.
Diperkirakan, Gambuh muncul sekitar abad ke-15 dengan lakon bersumber dari cerita Panji. Sementara menurut Lontar Candra Sengkala berangka tahun 929 caka, menyebutkan saat itu Gambuh sudah ada di Bali. Artinya, lebih dari 1.000 tahun lamanya keberadaan Gambuh di Bali dan tetap eksis hingga saat ini.
Nah, merayakan eksistensi Gambuh serta pengakuan dari UNESCO, salah satu sekaa Gambuh di Bali yakni Sekaa Gambuh Mayasari, Banjar Pekandelan, Desa Batuan, Gianyar membuat gebrakan dengan meregenerasi penari Gambuh. Dramatari Bali yang dianggap paling tinggi mutu dan merupakan dramatari klasik karena kaya akan gerak-gerik tari ini dicoba ditransfer pada generasi muda usia 9 tahun.
Bahkan gambuh versi generasi muda ini sudah berhasil dipentaskan saat penyineban pujawali di Pura Desa lan Puseh Desa Batuan, pada Selasa (19/1) malam bertempat di wantilan jaba sisi pura setempat.
Menurut Pembina tari, I Wayan Budiarsa regenerasi penari gambuh ini sudah kedua kalinya setelah tahun 2008 oleh Sekaa Gambuh Mayasari yang terbentuk sejak tahun 1971. “Dulu pernah dirintis regenerasi penari gambuh ini oleh tokoh-tokoh seni di sini. Yang dulunya anak-anak, kini sudah menjadi penari dewasa. Hal ini juga yang memotivasi saya untuk melanjutkan jejak tokoh seni gambuh zaman dulu, supaya tari gambuh ini diminati mulai dari usia anak-anak. Saya sebagai generasi penerus merasa kangen dengan suasana itu,” jelas seniman yang akrab disapa Yan Dulog ini.
Caranya meregenerasi penari gambuh ini cukup menarik yakni setiap tokoh digandakan. Condong yang biasanya hanya satu penari, ditampilkan dua penari dengan komposisi satu penari dewasa dan satu penari anak-anak. Demikian juga tokoh lainnya seperti Raja, Putri, Kakan-kakan, Arya, Demang Tumenggung, Rangga, Raja Halus, Raja Kasar, Raden Panji, Prabangsa, Wiranantaja, Potet, Banyolan, Bondres hingga Kade-Kadean.
Jika lazimnya jumlah penari hanya sekitar 15an, maka gambuh regenerasi ini didukung oleh 30 penari dan 20 penabuh. “Ada 10 anak-anak yang mendukung gambuh regenerasi ini. Paling kecil, masih duduk di kelas 3 SD. Mereka berperan sebagai Kakan-kanan, sejenis dayang-dayang dalam sendratari,” jelas pria kelahiran 6 September 1973 ini.
Dalam pementasan, gambuh ini mengangkat lakon ‘Peras Mataum’ yang mengisahkan Diah Rangkesari yang dihembuskan angin hingga tiba di kerajaan Mataum. Semenjak keberadaan Diah Rangkesari, kerajaan mengalami kebaikan, subur, murah sandang angan dan papan, gemah ripah loh jinawi. Dengan demikian, akhirnya Raja Mataum mengangkat Diah Rangkesari sebagai anak kerajaan.
Antusias penonton menyaksikan pementasan gambuh cukup tinggi, terlebih untuk pertama kalinya dipentaskan oleh anak-anak. Meski masih tampak malu-malu dalam mengucapkan dialog berbahasa kawi, anak-anak ini mampu menyelesaikan pementasan dengan baik. “Melibatkan anak-anak merupakan bagian dari uji mental. Sejauh mana anak-anak berani menari sambil berdialog, apalagi mereka harus paham betul bagaimana jalan ceritanya. Jadi disamping untuk meregenerasi, juga sebagai media pembelajaran bagi anak-anak. Ucapan antara penari dewasa dan anak-anak, sebisa mungkin harus kompak karena itu sejak latihan saya berulang kali tegaskan supaya intonasi maupun ucapannya biar sama,” terang dosen seni tari ISI Denpasar ini.
Kedepan, pihaknya pun bercita-cita untuk melahirkan satu paket dramatari gambuh dengan total penari dari kalangan anak-anak. Namun untuk mewujudkan itu, Budiarsa mengaku memerlukan waktu yang cukup lama. “Perlu proses, sebab belajar gambuh tak semudah belajar tarian kreasi baru. Yang memerlukan waktu cukup lama adalah belajar dialog bahasa kawi, belum lagi belajar struktur tari yang cukup rumit. Biasanya, anak-anak menguasai dialog dalam waktu 6 bulan. Selanjutnya 6 bulan lagi untuk memantapkan dialog dan gerakan tari,” ujarnya.
Untuk belajar dialog, teknik yang digunakan diawali dengan menghafal. “Setelah mereka hafal dialog, barulah belajar intonasi. Dimana harus diberi tekanan melengking, tekanan sudara rendah dan variasi intonasi lainnya. Selain itu, anak-anak juga diajarkan makna dari dialog yang diucapkan, sehingga mereka paham dengan apa yang diucapkan,” terangnya.
Putu Dita, salah seorang penari Kakan-kakan menyebutkan baru pertama kali ikut pentas tari gambuh. Menurutnya, belajar menari gambuh memerlukan kesabaran. “Ini baru pertama kali ikut dilibatkan dalam menari gambuh, biasanya hanya ikut menari tradisional dan kreasi. Bedanya, untuk gambuh saya harus sabar dan konsentrasi. Karena harus hafal dialog dan tariannya,” jelasnya. Namun tak dipungkiri olehnya, saat pentas dirinya beberapa kali lupa dengan dialog. Caranya, Dita harus lirik teman sebelah dan mendengarkan dialog yang diucapkan oleh seniornya dengan peran yang sama sebagai Kakan-kakan.
Ditambahkan Kelian Sekaa Gambuh Mayasari, I Wayan Suamba, bahwa cikal bakal berdirinya Sekaa Gambuh yang diprakarsai oleh tokoh seperti Nyoman Kakul, Nyoman Antat, Made Budi, Wayan Kawi, Made Bukel serta tokoh lainnya ini tiada lain untuk kepentingan ngayah di Pura Desa lan Puseh Desa Batuan setiap piodalan nadi. Seiring berkembangnya waktu, sekaa gambuh ini meningkatkan jam terbangnya dengan ngayah di pura khayangan tiga di sekitar Desa Batuan serta pernah didaulat ke Jepang pada tahun 1982 bersama ASTI Denpasar (sekarang ISI Denpasar, red) dengan grup Darma Santi, perpaduan akademisi dan non akademisi. “Sekaa ini berada dibawah naungan banjar. Jadi untuk regenerasi, setiap anggota sekaa yang punya anak perempuan maupun lai-laki wajib ikut serta setiap kali latihan. Dengan demikian, sejauh ini kita tidak pernah khawatir untuk menjaga eksistensi gambuh disini,” jelasnya. Jumlah anggota sekaa, kata Suamba sekitar 50 KK yang jika ada kegiatan ngayah, wajib satu anggota ikut terlibat. Untuk diketahui, Gambuh berbentuk teater total karena di dalamnya terdapat jalinan unsur seni suara, seni drama dan tari, seni rupa, seni sastra, dan lainnya.
Gambuh dipentaskan dalam upacara-upacara Dewa Yadnya seperti odalan, upacara Manusa Yadnya seperti perkawinan keluarga bangsawan, upacara Pitra Yadnya (ngaben) dan lain sebagainya. Tarian ini diiringi dengan gamelan Penggambuhan yang berlaras pelog Saih Pitu. 7 nv
Komentar