Tragedi Karma Bumi: Pesan Pas, Musik Kuat
Pertunjukan drama musikal ‘Tragedi Karma Bumi’, memberi warna penampilan yang berbeda di ajang Gelar Seni Akhir Pekan (GSAP) Bali Mandara Nawanatya II tahun 2017 di Gedung Ksirarnawa Taman Budaya, Denpasar, Minggu (26/11) malam.
DENPASAR, NusaBali
Pesannya pas, musiknya pun kuat. Drama musikal ‘Tragedi Karma Bumi’ mengangkat cerita dengan latar zaman Kaliyuga di sebuah kerajaan. Dalam cerita terungkap hasrat Patih Terascina yang ingin berkuasa dan ingin menikahi sang permaisuri raja. Hasrat ini kemudian bertemu dengan kemarahan, ego dan kegelapan yang menyelimuti diri Raja Catur Maha Raja Kayika. Pertemuan hasrat dan karakter itu berujung dengan tewasnya para pemain kunci dalam ‘Tragedi Karma Bumi’.
Rasa yang berbeda berupa pertunjukan drama musikal hasil kolaborasi Dewa Jayendra (teater) dan Ari Wijaya serta Palawara Music Company (musik) itu langsung mendapat perhatian dari pengamat seni Prof Dr I Wayan Dibia SST MA. “Sajian malam ini agak berbeda dari biasa-biasanya. Pesan dramanya kena bila yang menjadi sasaran tembak itu kondisi kaliyuga saat ini. Dan Musiknya sangat kuat mendukung drama musikalnya,” apresiasinya.
Hanya saja Dibia memberi catatan bahwa drama musikal ini masih kurang padat walaui sudah bagus. Karena drama musikal itu memerlukan waktu selingan dan sebagainya. Selain itu belum semua pemain merata aktingnya. Ada yang bagus dan ada juga yang masih kurang.
“Jadi ada bagian-bagian cerita yang seharusnya dipadatkan. Sehingga pertunjukan menjadi lebih kental. Walau begitu garapan musik pertunjukan ini bagus dan kuat menunjang drama musikal,” pesan Prof Dibia.
Kekuatan musik ini juga mendapat apresiasi dari kurator Bali Mandara Nawanatya II tahun 2017, Mas Ruscita Dewi. ”Musiknya bagus sekali. Saya sebenarnya berharap musik itu tidak selalu menjadi background. Melainkan menjadi yang utama dan teater yang menjadi backgroundnya,” jelasnya.
Berbeda dengan Prof Dibia, catatan Mas Ruscita adalah soal jalan cerita. Menurut Mas Ruscita, jalan ceritanya belum terlalu kuat. “Walaupun begitu penampilan secara keseluruhan sudah bagus,” ucap Mas Ruscita.
Ada lagi yang menjadi ganjalan bagi Mas Ruscita, yaitu pilihan kata-kata indah dari Krisna yang ada di kitab suci kurang pas menjadi dialog tokoh raja yang masih diselimuti ego dan karma serta kemarahan. Mas Ruscita berharap kata-kata indah dari kitab suci tidak selalu harus dipaksakan dalam cerita. Kata-kata indah tidak selalu kata-kata dari kitab suci.
Selain ‘Tragedi Karma Bumi’, ada pula penampilan pertama dari Komunitas Manubada menampilkan tari kotemporer dengan tajuk ‘Taru Muni’. Garapan yang bercerita tentang perjalanan sebuah pohon hingga menjadi topeng atau tapel. Sajian ini digarap oleh Wayan Ary Wijaya SSn. “Garapan ini masih belum kuat. Kemampuan teknik tarinya juga tidak merata. Ada yang bagus atau yang biasa. Tetapi sebagai sebuah sajian bibit kreativitas sudah lumayan,” kata Prof Dibia. *ind
Pesannya pas, musiknya pun kuat. Drama musikal ‘Tragedi Karma Bumi’ mengangkat cerita dengan latar zaman Kaliyuga di sebuah kerajaan. Dalam cerita terungkap hasrat Patih Terascina yang ingin berkuasa dan ingin menikahi sang permaisuri raja. Hasrat ini kemudian bertemu dengan kemarahan, ego dan kegelapan yang menyelimuti diri Raja Catur Maha Raja Kayika. Pertemuan hasrat dan karakter itu berujung dengan tewasnya para pemain kunci dalam ‘Tragedi Karma Bumi’.
Rasa yang berbeda berupa pertunjukan drama musikal hasil kolaborasi Dewa Jayendra (teater) dan Ari Wijaya serta Palawara Music Company (musik) itu langsung mendapat perhatian dari pengamat seni Prof Dr I Wayan Dibia SST MA. “Sajian malam ini agak berbeda dari biasa-biasanya. Pesan dramanya kena bila yang menjadi sasaran tembak itu kondisi kaliyuga saat ini. Dan Musiknya sangat kuat mendukung drama musikalnya,” apresiasinya.
Hanya saja Dibia memberi catatan bahwa drama musikal ini masih kurang padat walaui sudah bagus. Karena drama musikal itu memerlukan waktu selingan dan sebagainya. Selain itu belum semua pemain merata aktingnya. Ada yang bagus dan ada juga yang masih kurang.
“Jadi ada bagian-bagian cerita yang seharusnya dipadatkan. Sehingga pertunjukan menjadi lebih kental. Walau begitu garapan musik pertunjukan ini bagus dan kuat menunjang drama musikal,” pesan Prof Dibia.
Kekuatan musik ini juga mendapat apresiasi dari kurator Bali Mandara Nawanatya II tahun 2017, Mas Ruscita Dewi. ”Musiknya bagus sekali. Saya sebenarnya berharap musik itu tidak selalu menjadi background. Melainkan menjadi yang utama dan teater yang menjadi backgroundnya,” jelasnya.
Berbeda dengan Prof Dibia, catatan Mas Ruscita adalah soal jalan cerita. Menurut Mas Ruscita, jalan ceritanya belum terlalu kuat. “Walaupun begitu penampilan secara keseluruhan sudah bagus,” ucap Mas Ruscita.
Ada lagi yang menjadi ganjalan bagi Mas Ruscita, yaitu pilihan kata-kata indah dari Krisna yang ada di kitab suci kurang pas menjadi dialog tokoh raja yang masih diselimuti ego dan karma serta kemarahan. Mas Ruscita berharap kata-kata indah dari kitab suci tidak selalu harus dipaksakan dalam cerita. Kata-kata indah tidak selalu kata-kata dari kitab suci.
Selain ‘Tragedi Karma Bumi’, ada pula penampilan pertama dari Komunitas Manubada menampilkan tari kotemporer dengan tajuk ‘Taru Muni’. Garapan yang bercerita tentang perjalanan sebuah pohon hingga menjadi topeng atau tapel. Sajian ini digarap oleh Wayan Ary Wijaya SSn. “Garapan ini masih belum kuat. Kemampuan teknik tarinya juga tidak merata. Ada yang bagus atau yang biasa. Tetapi sebagai sebuah sajian bibit kreativitas sudah lumayan,” kata Prof Dibia. *ind
Komentar