Hardys Nunggak Pajak Rp 105 Miliar
Kuasa hukum Hardys menilai KPP Madya Denpasar hanya ingin kejar target dengan kesampingkan hak-hak wajib pajak
Kanwil DJP Bali Dituding Langgar Prosedur Penetapan
DENPASAR,NusaBali
Setelah dinyatakan pailit, owner Hardys Retailindo dan Group Hardys, Ir I Gede Agus Hardiawan, kini malah tersandung kasus pajak. Hardys dikabarkan menunggak pajak hingga Rp 105 miliar. Kubu Hardys sendiri tuding ada pelanggaran yang dilakukan Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Bali dalam pemeriksaan utang pajak ini.
Sumber terpercaya NusaBali menyebutkan, kronologis hingga pihak Hardys menunggak pajak mencapai Rp 105 miliar ini berawal saat Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Madya Denpasar melakukan pemeriksaan untuk tahun pajak 2011 yang dilaksanakan pada April 2015 dan untuk pemeriksaan tahun pajak 2012 dilaksanakan pada 2016. Dari pemeriksaan itu, didapatkan temuan bahwa Hardys harus membayar pajak sebesar Rp 26 miliar.
Nah, dari total temuan tersebut, Hardys sudah membayar sebesar Rp 7 miliar mulai akhir 2015. “Pembayaran ini sudah diangsur secara bertahap,” ujar sumber tersebut, Minggu (3/12).
Kemudian, pihak KPP Madya Denpasar langsung melompati pemeriksaan tahun 2013 ke tahun 2014, 2015, dan 2016. Melompati tahun tersebut, kata sumber tadi, adalah murni kewenangan pihak pajak. Sedangkan kondisi di lapangan, tahun 2013 Hardys sebenarnya sedang mengalami likuiditas bagus dan pasti bisa membayar pajak.
“Namun, ternyata pemeriksaan baru dilakukan di tahun 2015/2016, ketika ekonomi sedang down, dan Hardys sendiri mengalami masa sulit,” beber sumber tersebut. Untuk tahun pajak 2016 berjalan, Hardys sama sekali tidak mampu bayar pajak, sehingga muncul lagi tunggakan. Pada Mei 2017, datanglah surat perintah Bukti Permulaan (Buper).
“Dengan surat Buper itu, berarti Hardys diindikasikan melakukan pelanggaran tindak pidana pajak. Bukti permulaan dimaksud adalah Buper 3 tahun yakni 2014, 2015, dan 2016, pajak dihitung terutang Rp 44 miliar. Sesuai aturan, Buper itu sanksinya adalah 150 persen, sehingga muncul-lah tagihan pajak sebesar Rp 105 miliar,” katanya.
Selanjutnya, kata dia, muncul lagi surat perintah penyidikan. Untuk proses penyidikan dan sesuai Undang-undang, sanksi yang harus dibayarkan adalah 400 persen dari total pajak terutang. “Nah, proses inilah yang dipertanyakan oleh pihak Hardys, karena seharusnya Buper ditetapkan dan bisa dikeluarkan jika ada pemeriksaan lapangan untuk tahun pajak yang di Buper,” ungkap sumber tadi seraya menyebut Hardys pernah mendapatkan predikat pembayar pajak terbesar tahun 2010, 2011, dan 2012.
Dikonfirmasi NusaBali secara terpiah terkait dengan tunggakan pajak Rp 105 ini, Minggu kemarin, Gede Hardys mengakuinya. Namun, untuk memberikan keterangan lebih lanjut, Gede Hardys mempersilakan NusaBali menghubungi kuasa hukumnya, Cuaca Bangun.
Saat dihubungi, sang kuasa hukum, Cuaca Bangun, justru mempertanyakan indikasi pelanggaran pemeriksaan Buper dan tagihan utang pajak. Cuaca Bangun mengkritisi tindakan pemeriksaan bukti permulaan (Buper) dan penyidikan pajak yang dilakukan oleh Kanwil DJP Bali terhadap kliennya, yang terbelit masalah utang piutang pajak tersebut.
Menurut Cuaca Bangun, Kanwil DJP Bali kurang mengerti aturan main tentang peme-riksaan bukti permulaan (Buper) dan penyidikan pajak, sehingga terindikasi tagihan utang pajak tersebut fiktif. Dalam keterangan tertulisnya kepada NusaBali, Cuaca Bangun mengaku sudah beradu dalil dengan penyidik terkait proses penghitungan dan penetapan utang pajak tersebut.
Penyidik dikatakan sudah melaporkan ke kepala bidang yang selanjutnya berjanji akan diteruskan ke Kepala Kanwil.“Pada hari Rabu, 29 November 2017, saya kembali menanyakan hasil laporan ke pimpinan, namun dikatakan belum ada jawaban. Selanjutnya, kami menyurati Kakanwil, menanyakan dasar hukum proses penolakan pelaporan SPT sampai ke proses Buper dan penyidikan,” beber Cuaca Bangun.
Dia menambahkan, KPP Madya Denpasar tidak boleh menolak SPT yang disampaikan wajib pajak, karena belum dilakukan pemeriksanaan. Bahkan, ditegaskan siapa pun bisa disidik dan dipidanakan kalau melarang wajib pajak menyampaikan SPT. Menurut Cuaca Bangun, pemeriksaan Buper boleh dilakukan setelah dilakukan pemeriksaan awal terlebih dulu. Undang-undang Perpajakan hanya menolak menyampaikan SPT, apabila wajib pajak sedang diperiksa.
“Mengapa penyidik pajak langsung ke Buper, tanpa melewati tahap pemeriksaan? Kalau cara ini yang dipakai, berarti KPP menghilangkan hak-hak wajib pajak untuk melaporkan sendiri SPT-nya. Cara KPP yang demikian akan memberatkan pengusaha, karena dikenakan sanksi 150 persen pada tahap Buper. Apabila 150 persen itu tidak dibayar, maka wajib pajak terancam lagi harus membayar sanksi 400 persen jika kasusnya dinaikkan ke penyidikan pidana pajak,” papar Cuaca Bangun.
Cuaca Bangun melihat KPP Madya Denpasar hanya ingin mengejar target penerimaan dengan mempermainkan peraturan pajak dan mengesampingkan hak-hak wajib pajak. Sampai kapan pun penyidikan yang dilakukan Kanwil Pajak dengan langsung melakukan Buper tanpa adanya pemeriksaan terlebih dahulu, maka wajib pajak akan merasa tertindas dan tidak mendapatkan keadilan.
“Itulah pertanyaan yang kami pertanyakan ke Kanwil Pajak. Kami akan terus desak Kakanwil untuk menjawab surat kami, supaya fair. Kami minta penyidikan pajak dihentikan dulu sebelum Kakanwil menjawab surat kami dengan tuntas,” tukas Cuaca Bangun.
Selain masalah penyidikan pajak ini, kata Cuaca Bangun, pihaknya juga sedang menyurati KPP Madya Denpasar yang telanjur menerima sekitar Rp 7 miliar, karena ternyata surat ketetapan pajak sebesar Rp 22 miliar yang diterbitkan bodong, tidak memiliki daya tagih. “Mungkin bagi KPP akan kaget karena belum pernah melihat kasus utang pajak bodong. Inilah bagaimana kita membaca peraturan perpajakan untuk menentukan bodong atau tidaknya SKP yang diterbitkan,” katanya.
“Apabila dalam jangka waktu dua minggu, KPP Madya Denpasar tidak mengembalikan uang tersebut, maka kami akan segera laporkan ke Ombudsman,” ancam Cuaca Bangun yang mengaku banyak mengurusi utang pajak bodong lainnya.
Terlebih dengan situasi dan kondisi ekonomi di Bali saat ini, menurut Cuaca Bangun, tentu saja kesalahan-kesalahan yang bisa merugikan pengusaha Bali harus mendapat tanggapan serius dari semua pihak. “Pajak tidak hanya merupakan kewajiban, tapi harus juga memperhatikan tata aturan dan perundang-undangan yang berlaku. Di sinilah poin krusial dari proses ini,” tegasnya.
Sementara itu, pihak Kanwil DJP Bali belum mau memberikan keterangan masalah ini. Humas Kanwil DJP Bali, Riana Budiyanti, menyatakan pihaknya masih melakukan koordinasi dan mengumpulkan data dengan bidang yang menanganinya. “Mudah-mudahan, besok (hari ini) kami bisa memberikan keterangan, setelah saya berkoordinasi dengan bidang terkait,” ujar Riana Budiyanti saat dikonfirmasi NusaBali, Minggu kemarin. *isu
DENPASAR,NusaBali
Setelah dinyatakan pailit, owner Hardys Retailindo dan Group Hardys, Ir I Gede Agus Hardiawan, kini malah tersandung kasus pajak. Hardys dikabarkan menunggak pajak hingga Rp 105 miliar. Kubu Hardys sendiri tuding ada pelanggaran yang dilakukan Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Bali dalam pemeriksaan utang pajak ini.
Sumber terpercaya NusaBali menyebutkan, kronologis hingga pihak Hardys menunggak pajak mencapai Rp 105 miliar ini berawal saat Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Madya Denpasar melakukan pemeriksaan untuk tahun pajak 2011 yang dilaksanakan pada April 2015 dan untuk pemeriksaan tahun pajak 2012 dilaksanakan pada 2016. Dari pemeriksaan itu, didapatkan temuan bahwa Hardys harus membayar pajak sebesar Rp 26 miliar.
Nah, dari total temuan tersebut, Hardys sudah membayar sebesar Rp 7 miliar mulai akhir 2015. “Pembayaran ini sudah diangsur secara bertahap,” ujar sumber tersebut, Minggu (3/12).
Kemudian, pihak KPP Madya Denpasar langsung melompati pemeriksaan tahun 2013 ke tahun 2014, 2015, dan 2016. Melompati tahun tersebut, kata sumber tadi, adalah murni kewenangan pihak pajak. Sedangkan kondisi di lapangan, tahun 2013 Hardys sebenarnya sedang mengalami likuiditas bagus dan pasti bisa membayar pajak.
“Namun, ternyata pemeriksaan baru dilakukan di tahun 2015/2016, ketika ekonomi sedang down, dan Hardys sendiri mengalami masa sulit,” beber sumber tersebut. Untuk tahun pajak 2016 berjalan, Hardys sama sekali tidak mampu bayar pajak, sehingga muncul lagi tunggakan. Pada Mei 2017, datanglah surat perintah Bukti Permulaan (Buper).
“Dengan surat Buper itu, berarti Hardys diindikasikan melakukan pelanggaran tindak pidana pajak. Bukti permulaan dimaksud adalah Buper 3 tahun yakni 2014, 2015, dan 2016, pajak dihitung terutang Rp 44 miliar. Sesuai aturan, Buper itu sanksinya adalah 150 persen, sehingga muncul-lah tagihan pajak sebesar Rp 105 miliar,” katanya.
Selanjutnya, kata dia, muncul lagi surat perintah penyidikan. Untuk proses penyidikan dan sesuai Undang-undang, sanksi yang harus dibayarkan adalah 400 persen dari total pajak terutang. “Nah, proses inilah yang dipertanyakan oleh pihak Hardys, karena seharusnya Buper ditetapkan dan bisa dikeluarkan jika ada pemeriksaan lapangan untuk tahun pajak yang di Buper,” ungkap sumber tadi seraya menyebut Hardys pernah mendapatkan predikat pembayar pajak terbesar tahun 2010, 2011, dan 2012.
Dikonfirmasi NusaBali secara terpiah terkait dengan tunggakan pajak Rp 105 ini, Minggu kemarin, Gede Hardys mengakuinya. Namun, untuk memberikan keterangan lebih lanjut, Gede Hardys mempersilakan NusaBali menghubungi kuasa hukumnya, Cuaca Bangun.
Saat dihubungi, sang kuasa hukum, Cuaca Bangun, justru mempertanyakan indikasi pelanggaran pemeriksaan Buper dan tagihan utang pajak. Cuaca Bangun mengkritisi tindakan pemeriksaan bukti permulaan (Buper) dan penyidikan pajak yang dilakukan oleh Kanwil DJP Bali terhadap kliennya, yang terbelit masalah utang piutang pajak tersebut.
Menurut Cuaca Bangun, Kanwil DJP Bali kurang mengerti aturan main tentang peme-riksaan bukti permulaan (Buper) dan penyidikan pajak, sehingga terindikasi tagihan utang pajak tersebut fiktif. Dalam keterangan tertulisnya kepada NusaBali, Cuaca Bangun mengaku sudah beradu dalil dengan penyidik terkait proses penghitungan dan penetapan utang pajak tersebut.
Penyidik dikatakan sudah melaporkan ke kepala bidang yang selanjutnya berjanji akan diteruskan ke Kepala Kanwil.“Pada hari Rabu, 29 November 2017, saya kembali menanyakan hasil laporan ke pimpinan, namun dikatakan belum ada jawaban. Selanjutnya, kami menyurati Kakanwil, menanyakan dasar hukum proses penolakan pelaporan SPT sampai ke proses Buper dan penyidikan,” beber Cuaca Bangun.
Dia menambahkan, KPP Madya Denpasar tidak boleh menolak SPT yang disampaikan wajib pajak, karena belum dilakukan pemeriksanaan. Bahkan, ditegaskan siapa pun bisa disidik dan dipidanakan kalau melarang wajib pajak menyampaikan SPT. Menurut Cuaca Bangun, pemeriksaan Buper boleh dilakukan setelah dilakukan pemeriksaan awal terlebih dulu. Undang-undang Perpajakan hanya menolak menyampaikan SPT, apabila wajib pajak sedang diperiksa.
“Mengapa penyidik pajak langsung ke Buper, tanpa melewati tahap pemeriksaan? Kalau cara ini yang dipakai, berarti KPP menghilangkan hak-hak wajib pajak untuk melaporkan sendiri SPT-nya. Cara KPP yang demikian akan memberatkan pengusaha, karena dikenakan sanksi 150 persen pada tahap Buper. Apabila 150 persen itu tidak dibayar, maka wajib pajak terancam lagi harus membayar sanksi 400 persen jika kasusnya dinaikkan ke penyidikan pidana pajak,” papar Cuaca Bangun.
Cuaca Bangun melihat KPP Madya Denpasar hanya ingin mengejar target penerimaan dengan mempermainkan peraturan pajak dan mengesampingkan hak-hak wajib pajak. Sampai kapan pun penyidikan yang dilakukan Kanwil Pajak dengan langsung melakukan Buper tanpa adanya pemeriksaan terlebih dahulu, maka wajib pajak akan merasa tertindas dan tidak mendapatkan keadilan.
“Itulah pertanyaan yang kami pertanyakan ke Kanwil Pajak. Kami akan terus desak Kakanwil untuk menjawab surat kami, supaya fair. Kami minta penyidikan pajak dihentikan dulu sebelum Kakanwil menjawab surat kami dengan tuntas,” tukas Cuaca Bangun.
Selain masalah penyidikan pajak ini, kata Cuaca Bangun, pihaknya juga sedang menyurati KPP Madya Denpasar yang telanjur menerima sekitar Rp 7 miliar, karena ternyata surat ketetapan pajak sebesar Rp 22 miliar yang diterbitkan bodong, tidak memiliki daya tagih. “Mungkin bagi KPP akan kaget karena belum pernah melihat kasus utang pajak bodong. Inilah bagaimana kita membaca peraturan perpajakan untuk menentukan bodong atau tidaknya SKP yang diterbitkan,” katanya.
“Apabila dalam jangka waktu dua minggu, KPP Madya Denpasar tidak mengembalikan uang tersebut, maka kami akan segera laporkan ke Ombudsman,” ancam Cuaca Bangun yang mengaku banyak mengurusi utang pajak bodong lainnya.
Terlebih dengan situasi dan kondisi ekonomi di Bali saat ini, menurut Cuaca Bangun, tentu saja kesalahan-kesalahan yang bisa merugikan pengusaha Bali harus mendapat tanggapan serius dari semua pihak. “Pajak tidak hanya merupakan kewajiban, tapi harus juga memperhatikan tata aturan dan perundang-undangan yang berlaku. Di sinilah poin krusial dari proses ini,” tegasnya.
Sementara itu, pihak Kanwil DJP Bali belum mau memberikan keterangan masalah ini. Humas Kanwil DJP Bali, Riana Budiyanti, menyatakan pihaknya masih melakukan koordinasi dan mengumpulkan data dengan bidang yang menanganinya. “Mudah-mudahan, besok (hari ini) kami bisa memberikan keterangan, setelah saya berkoordinasi dengan bidang terkait,” ujar Riana Budiyanti saat dikonfirmasi NusaBali, Minggu kemarin. *isu
1
Komentar