Krama Ababi Laksanakan Ritual Redam Erupsi
Pengungsi Gelar Upacara Pamelaspas 94 Tenda Sebelum Ditempati
AMLAPURA, NusaBali
Krama Desa Pakraman Ababi, Kecamatan Abang, Karangasem kembali menggelar ritual khusus untuk meredam erupsi Gunung Agung, sebagaimana pernah dilaksanakan 20 Mei 1963 silam. Kali ini, upacara ritual berupa guru pidika dilaksanakan di Pura Pasar Agung, Banjar Uma Anyar Kaja, Desa Pakraman Ababi tepat Purnamaning Kanem pada Radite Paing Pahang, Minggu (3/12) siang,
Upacara guru piduka untuk meredam erupsi Gunung Agung di Pura Pasar Agung, Desa Pakraman Ababi, Minggu siang sekitar pukul 11.00 Wita, dikoordinasikan langsung Bendesa Pakraman Ababi, I Gede Pasek Ariana. Sedangkan persembahyangan dipuput empat pamangku sekaligus, yakni Jro Mangku Adnyana, Jro Mangku Subrata, Jro Mangku Nagi, dan Jro Mangku Santika.
Gagasan digelarnya upacara guru piduka untuk meredam erupsi Gunung Agung ini berawal dari I Gusti Gede Asta, pemilik lahan Pura Pasar Agung yang merupakan stana Ida Batara Hyang Pasupati. Awalnya, Gusti Gede Asta berkoordinasi dengan Bendesa Gede Pasek Ariana. Dalam koordinasi tersebut, Gusti Gede Asta membeber pengalaman 54 tahun silam saat bencana Gunung Agung meletus 1963. Kala itu, dilakukan ritual khusus mohon agar erupsi bisa terhenti.
Dari situ, Bendesa Gede Pasek Ariana berkoordinasi dengan lima kelian banjar adat se-Desa Pakraman Ababi, yakni I Gede Sugita (Kelian Adat Banjar Ababi), I Made Sujana (Kelian Adat Banjar Uma Anyar), I Gede Wangsa (Kelian Adat Banjar Tanah Lengis), I Ketut Salin (Kelian Adat Banjar Gunaksa), dan I Gede Alit (Kelian Adat Banjar Pikat). Melalui paruman (rapat adat), akhirnya disepakati untuk menggelar ritual khusus mohon keselamatan lahir dan bathin dalam bentuk upacara guru piduka. Permohonannya, agar erupsi Gunung Agung yang sedang berlangsung saat ini segera berakhir.
Terungkap, permohonan melalui upacara serupa sempat dikabulkan Ida Batara untuk hentikan Gunung Agung meletus tahun 1963. Kala itu, upacara ritual guru piduka digelar di tempat yang sama pada 20 Mei 1963. Gunung Agung sendiri saat itu erupsi erupsi yang diawali gempa besar pada 18 Februari 1963, disusul hujan abu dan semburan gas belerang dalam radius 11 kilometer pada 19 Februari 1963, sampai terjadi erupsi besar-besaran pada 17 Maret 1963.
Erupsi Gunung Agung waktu itu sempat reda beberapa minggu, namun kembali meletus hebat pada 16 Mei 1963. Saat itu, krama Desa Pakraman Ababi berkoordinasi dengan Raja Karangasem terakhir, Anak Agung Agung Anglurah (AAAA) Ktut Karangasem. Dari situ, diperoleh petunjuk agar menggelar upacara guru piduka untuk permohonan khusus supaya erupsi segera berhenti. Setalah upacara ritual dilaksanakan 20 Mei 1963, tidak lagi terjadi erupsi skala besar. Yang ada hanya berupa kepulan asap kecil, hingga Gunung Agung kembali benar-benar normal pada 27 Januari 1964.
"Setelah berlalu 54 tahun pasca erupsi Gunung Agung 1963, kali ini kami kembali melaksanakan upacara ritual serupa. Semoga perhomonan kami terkabulkan, erupsi Gunung Agung tahun 2017 ini bisa diakhiri," ungkap penggagas upacara, Gusti Gede Asta, kepada NiusaBali di sela prosesi ritual di Pura Pasar Agung, Desa Pakraman Ababi, Minggu kemarin.
Sementara, Jro Mangku Adnyana menyatalan upacara guru piduka kali ini digelar dengan tujuan untuk memohon erupsi Gunung Agung segera berakhir. "Permohonan ini untuk keselamatan umat sedharma. Permohonan bertujuan agar erupsi Gunung Agung berakhir," jelas Jro Mangku Adnyana seraya menyebutkan, saat Gunung Agung meletus tahun 1963, Desa Pakraman Ababi dan sekitarnya terhindar dari bencana lahar dingin.
Sementara itu, upacara ritual pamelaspas 94 tenda pengungsi digelar di areal Kantor UPT Dinas Pertanian kawasan Banjar Singarata, Desa/Kecamatan Rendang, Karangasem tepat Purnamang Kanem, Minggu pagi pukul 08.00 Wita. Upacara pamelaspas ini digelar untuk mencegah terjadinya gangguan niskala terhadap pengungsi. Karenanya, 94 tenda diupacarai dulu sebelum digunakan oleh para pengungsi bencana Gunung Agung dari Banjar Palak, Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Karangasem.
Ini untuk kali pertama ada upacara pamelaspas tenda dalam skala besar, sebelum ditempati pengungsi. Upacara pamelaspas 94 tenda tersebut dipuput tokoh spiritual yang juga pengungsi asal Desa Besakih, I Gusti Mangku Putu Astika. Sedangkan 94 tenda yang diupacarai pamelaspas tersebut dibangun PMI Provinsi Bali, menggunakan tiang dan plafon dari bambu, beratap terpal. PMI Bali memberikan material, sedangkan para pengungsi membangun secara swadaya sejak 27 November 2017 lalu.
Pantauan NusaBali, setiap tenda dilengkapi dengan tempat tidur bertiang bambu, sehingga saat hujan turun, tempat tidur tidak basah. Pembangunan 94 tenda ini di-koordinasikan Kelian Banjar Palak, Desa Besakih, I Gusti Ngurah Alit.
Gusti Ngurah Alit mengatakan, cepatnya pembangunan tenda, karena dilakukan secara gotong royong lantaran dikejar waktu. Sebab, para pengungsi juga berkepentingan untuk cepat bisa menempati tenda, apalagi saat ini sudah musim hujan. "Kami berterima kasih kepada relawan PMI Provinsi Bali yang telah menyediakan material sesuai kebutuhan. Kami tinggal mengerjakan tenda. Soal upacara pamelaspas juga kami koordinasikan untuk membuat banten di tempat pengungsian,” jelas Gusti Ngurah Alit kepada NusaBali, Minggu kemarin.
Sementara, Koordinator Relawan PMI Bali, I Wayan Aryawan, mengaku salut atas semangat gotong royong membangun tenda oleh pengungsi asal Banjar Palak, Desa Besakih. "Kita memang tengah diuji Sang Maha Pencipta, baik kesabaran, kreativitas, semangat kebersamaan, maupun rasa saling membantu," kata Wayan Aryawan. *k16
Upacara guru piduka untuk meredam erupsi Gunung Agung di Pura Pasar Agung, Desa Pakraman Ababi, Minggu siang sekitar pukul 11.00 Wita, dikoordinasikan langsung Bendesa Pakraman Ababi, I Gede Pasek Ariana. Sedangkan persembahyangan dipuput empat pamangku sekaligus, yakni Jro Mangku Adnyana, Jro Mangku Subrata, Jro Mangku Nagi, dan Jro Mangku Santika.
Gagasan digelarnya upacara guru piduka untuk meredam erupsi Gunung Agung ini berawal dari I Gusti Gede Asta, pemilik lahan Pura Pasar Agung yang merupakan stana Ida Batara Hyang Pasupati. Awalnya, Gusti Gede Asta berkoordinasi dengan Bendesa Gede Pasek Ariana. Dalam koordinasi tersebut, Gusti Gede Asta membeber pengalaman 54 tahun silam saat bencana Gunung Agung meletus 1963. Kala itu, dilakukan ritual khusus mohon agar erupsi bisa terhenti.
Dari situ, Bendesa Gede Pasek Ariana berkoordinasi dengan lima kelian banjar adat se-Desa Pakraman Ababi, yakni I Gede Sugita (Kelian Adat Banjar Ababi), I Made Sujana (Kelian Adat Banjar Uma Anyar), I Gede Wangsa (Kelian Adat Banjar Tanah Lengis), I Ketut Salin (Kelian Adat Banjar Gunaksa), dan I Gede Alit (Kelian Adat Banjar Pikat). Melalui paruman (rapat adat), akhirnya disepakati untuk menggelar ritual khusus mohon keselamatan lahir dan bathin dalam bentuk upacara guru piduka. Permohonannya, agar erupsi Gunung Agung yang sedang berlangsung saat ini segera berakhir.
Terungkap, permohonan melalui upacara serupa sempat dikabulkan Ida Batara untuk hentikan Gunung Agung meletus tahun 1963. Kala itu, upacara ritual guru piduka digelar di tempat yang sama pada 20 Mei 1963. Gunung Agung sendiri saat itu erupsi erupsi yang diawali gempa besar pada 18 Februari 1963, disusul hujan abu dan semburan gas belerang dalam radius 11 kilometer pada 19 Februari 1963, sampai terjadi erupsi besar-besaran pada 17 Maret 1963.
Erupsi Gunung Agung waktu itu sempat reda beberapa minggu, namun kembali meletus hebat pada 16 Mei 1963. Saat itu, krama Desa Pakraman Ababi berkoordinasi dengan Raja Karangasem terakhir, Anak Agung Agung Anglurah (AAAA) Ktut Karangasem. Dari situ, diperoleh petunjuk agar menggelar upacara guru piduka untuk permohonan khusus supaya erupsi segera berhenti. Setalah upacara ritual dilaksanakan 20 Mei 1963, tidak lagi terjadi erupsi skala besar. Yang ada hanya berupa kepulan asap kecil, hingga Gunung Agung kembali benar-benar normal pada 27 Januari 1964.
"Setelah berlalu 54 tahun pasca erupsi Gunung Agung 1963, kali ini kami kembali melaksanakan upacara ritual serupa. Semoga perhomonan kami terkabulkan, erupsi Gunung Agung tahun 2017 ini bisa diakhiri," ungkap penggagas upacara, Gusti Gede Asta, kepada NiusaBali di sela prosesi ritual di Pura Pasar Agung, Desa Pakraman Ababi, Minggu kemarin.
Sementara, Jro Mangku Adnyana menyatalan upacara guru piduka kali ini digelar dengan tujuan untuk memohon erupsi Gunung Agung segera berakhir. "Permohonan ini untuk keselamatan umat sedharma. Permohonan bertujuan agar erupsi Gunung Agung berakhir," jelas Jro Mangku Adnyana seraya menyebutkan, saat Gunung Agung meletus tahun 1963, Desa Pakraman Ababi dan sekitarnya terhindar dari bencana lahar dingin.
Sementara itu, upacara ritual pamelaspas 94 tenda pengungsi digelar di areal Kantor UPT Dinas Pertanian kawasan Banjar Singarata, Desa/Kecamatan Rendang, Karangasem tepat Purnamang Kanem, Minggu pagi pukul 08.00 Wita. Upacara pamelaspas ini digelar untuk mencegah terjadinya gangguan niskala terhadap pengungsi. Karenanya, 94 tenda diupacarai dulu sebelum digunakan oleh para pengungsi bencana Gunung Agung dari Banjar Palak, Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Karangasem.
Ini untuk kali pertama ada upacara pamelaspas tenda dalam skala besar, sebelum ditempati pengungsi. Upacara pamelaspas 94 tenda tersebut dipuput tokoh spiritual yang juga pengungsi asal Desa Besakih, I Gusti Mangku Putu Astika. Sedangkan 94 tenda yang diupacarai pamelaspas tersebut dibangun PMI Provinsi Bali, menggunakan tiang dan plafon dari bambu, beratap terpal. PMI Bali memberikan material, sedangkan para pengungsi membangun secara swadaya sejak 27 November 2017 lalu.
Pantauan NusaBali, setiap tenda dilengkapi dengan tempat tidur bertiang bambu, sehingga saat hujan turun, tempat tidur tidak basah. Pembangunan 94 tenda ini di-koordinasikan Kelian Banjar Palak, Desa Besakih, I Gusti Ngurah Alit.
Gusti Ngurah Alit mengatakan, cepatnya pembangunan tenda, karena dilakukan secara gotong royong lantaran dikejar waktu. Sebab, para pengungsi juga berkepentingan untuk cepat bisa menempati tenda, apalagi saat ini sudah musim hujan. "Kami berterima kasih kepada relawan PMI Provinsi Bali yang telah menyediakan material sesuai kebutuhan. Kami tinggal mengerjakan tenda. Soal upacara pamelaspas juga kami koordinasikan untuk membuat banten di tempat pengungsian,” jelas Gusti Ngurah Alit kepada NusaBali, Minggu kemarin.
Sementara, Koordinator Relawan PMI Bali, I Wayan Aryawan, mengaku salut atas semangat gotong royong membangun tenda oleh pengungsi asal Banjar Palak, Desa Besakih. "Kita memang tengah diuji Sang Maha Pencipta, baik kesabaran, kreativitas, semangat kebersamaan, maupun rasa saling membantu," kata Wayan Aryawan. *k16
Komentar