Hardys Lapor Ombudsman
“Kami melaporkan ini ke Ombudsman RI untuk menguji adanya maladministrasi atau tidak” (Kuasa Hukum Hardys, Cuaca)
DJP Bali Dinilai Keliru Penetapan Utang Pajak
DENPASAR, NusaBali
PT Hardys Group melaporkan Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Bali, Tim Penyidik Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Bali, dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Madya Denpasar ke Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Bali, Selasa (12/12) terkait dugaan perbuatan melanggar hukum dan penyalahgunaan wewenang mengenai utang piutang pajak. Ini setelah penetapan utang pajak yang harus dibayarkan oleh PT Hardys ditengarai telah terjadi kesalahan karena tanpa didahului dengan pemeriksaan.
Menurut Kuasa Hukum Hardys, Cuaca, kasus yang dilaporkan ke Ombudsman yakni kasus penyalahgunaan pungutan pajak dan denda sebanyak Rp 22 miliar pada tahun 2011 dan 2012. Pada kasus ini, Hardys sudah membayar Rp 7 miliar. Sementara kasus kedua adalah mengenai utang pajak pada 2014, 2015, dan 2016 senilai Rp105 miliar.
Pada kasus pertama berawal dari pemeriksaan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Madya Denpasar untuk tahun pajak 2011, yang dilaksanakan pada April 2015 dan untuk tahun pajak 2012 dilaksanakan pada Tahun 2016. Dari sana didapatkan temuan, bahwa Hardys kurang bayar sebesar Rp 22 miliar. Dari total temuan tersebut, Hardys sudah membayar sebesar Rp 7 M mulai akhir 2015 yang diangsur bertahap.
Namun menurut Cuaca, pada pada tahun-tahun itu PT Hardys sudah melakukan kewajiban bayar pajak. Seharusnya, kata dia, utang pajak senilai Rp 22 M itu tidak ada karena kewajiban bayar pajak itu sudah dipenuhi. “PT Hardys dikenakan pajak Rp 22 M untuk tahun 2011 dan 2012, dan sudah disetor Rp 7 miliar. Setelah saya baca-baca, ternyata ini tidak patut untuk dibayar, karena dia sudah melakukan semua kewajiban bayar pajak. Seharusnya dalam pemeriksaan, berapa utang pajaknya itu tidak ada (fiktif). Uang Rp 7 miliar itu harus kita tarik dari kas negara,” kata Cuaca saat ditemui di Kantor Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Bali, Selasa kemarin.
Kasus kedua, setelah pemeriksaan pajak tahun 2011 dan 2012, kemudian pihak KPP Madya Denpasar langsung melompati tahun 2013 dan melakukan pemeriksaan lagi pada pajak tahun 2014, 2015, dan 2016. Melompati tahun tersebut merupakan murni kewenangan pajak. Sedangkan kondisi di lapangan, pada 2013 Hardys sedang mengalami likuiditas bagus dan pasti bisa membayar.
Sementara untuk Tahun Pajak 2016 berjalan, Hardys sama sekali tidak mampu bayar pajak sehingga muncul lagi tungggakan. Sehingga pada bulan Mei 2017, datanglah surat perintah bukti permulaan (Buper). Adapun dengan Buper pada 2014, 2015 dan 2016, maka pajak dihitung terutang Rp 44 M. Sesuai aturan, Buper itu sanksinya adalah 150%, sehingga muncullah tagihan pajak Rp105 miliar.
Menurut Cuaca, Kanwil Ditjen Pajak Bali telah melakukan kekeliruan karena PT Hardys tidak diizinkan untuk menyetorkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). “Alasannya karena telah dilakukan buper, tidak diizinkan lagi menyampaikan SPT tahun 2014, 2015, dan 2016, lalu tiba-tiba ditagih pajaknya,” bebernya.
“Ini yang dirasakan tidak sesuai ketentuan, karena pajak langsung melakukan pemeriksaan buper dan kepenyidikan tanpa melalui prosedur pemeriksaan atas SPT-nya. Karena itu kami melaporkan ini ke Ombudsman RI untuk menguji adanya maladministrasi atau tidak disana. Dugaan kami kuat ada maladministrasi. Dasarnya adalah karena penyidik pajak tidak melalui prosedur pemeriksaan terhadap SPT lebih dulu, langsung lompat ke pemeriksaan buper,” paparnya.
Sementara Asisten Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Bali, Ni Nyoman Sri Widhiyanti, sudah menerima laporan dari PT Hardys Retailindo terkait dugaan perbuatan melanggar hukum dan penyalahgunaan wewenang terkait utang piutang pajak. Adapun 3 terlapor tersebut yakni Kepala Kantor Wilayah Pajak Provinsi, Tim Penyidik Kantor Wilayah Dirjen Pajak Bali, dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Madya Denpasar. “Berkas dan pengaduan langsung telah kami terima. Kami akan proses, dimana akan melakukan pemeriksaan formal dan substansi,” katanya.
Laporan akan ditindaklanjuti dalam waktu 14 hari. Setelah dipelajari secara formal dan substansi, Ombudsman pasti akan melakukan klarifikasi yang bisa dilakukan baik lisan ataupun tertulis dengan cara mengudang atau memanggil, atau datang kepada terlapor. “Setelah semua hasil pemeriksaan ternyata juga ditemukan maladministrasi maka kita bisa membuat saran atau rekomendasi kepada instansi atau atasannya,” imbuhnya.
“Kalau saran, kami lebih ke saran perbaikan. Tapi kalau rekomendasi kami akan naikkan ke Ombudsman di pusat. Biasanya kita juga sudah membuat sanksi-sanksi tergantung jenis model pelanggarannya,” tandasnya.
Dikonfirmasi secara terpisah terkait laporan ini, pihak Kanwil DJP Bali belum mau memberikan keterangan. “Mohon waktu,” tulis Humas DJP Bali, Riana Budiyanti via WhatsApp. *ind
Komentar