MUTIARA WEDA : Banten dan Maksudnya
Banten merupakan lambang diri kita, lambang perwujudan Tuhan dan lambang alam semesta.
Banten pinaka raganta, pinaka rupaning Ida Bhatara, pinaka andabhuana
(Yadnya Prakerti)
ORANG Bali identik dengan banten. Tanpa banten, ‘ke-Balian-nya’ kadang diragukan. Kemelekatannya terhadap banten mungkin karena faktor genetis, di mana, orang Bali telah mewarisi tradisi ini turun-temurun dalam kurun waktu ribuan tahun tanpa putus. Sekecil apapun kejadian atau kegiatan yang dilakukan, mereka selalu mendahului dan mengakhirinya dengan banten. Bahkan kejadian-kejadian yang tampak aneh pun seperti turunnya lahar dingin dan lava dari gunung berapi, manak salah (kelahiran tidak wajar), dan yang lainnya, mereka menyelenggarakan upacara untuk itu. Hal inilah yang menyebabkan mengapa orang Bali, yang walaupun berada di tengah gempuran globalisasi, tradisinya tetap berjalan sebagaimana mestinya.
Mengapa orang Bali sangat bertalian dengan banten? Secara simbolis hal ini disebutkan dalam lontar Yadnya Prakerti dengan menyatakan bahwa banten adalah lambang manusia, alam, dan Tuhan. Ketika bicara Tri Hita Karana, maka banten adalah sumber awalnya. Dalam banten lah simbol ketiga itu ada, dan jika dibuat dengan tatanan tertentu akan menjadi lambang keharmonisan. Melalui banten, seseorang akan mencoba melihat seluruhnya. Dalam hal ini, pertama, banten adalah cermin dan sekaligus sebagai pisau bedah untuk membedah satu per satu dirinya dan kemudian menunjukkannya sehingga secara perlahan mampu mengenal dirinya. Melalui banten seseorang diharapkan belajar tentang dirinya sendiri. Melalui banten seseorang mampu svadyaya, yakni belajar tentang dirinya secara terus-menerus. Orang Bali tidak putus-putus membuat banten, artinya, setiap saat mereka selalu terhubungan dengan dirinya sendiri dan kemudian mengenal betul siapa dirinya yang sesungguhnya.
Kedua, banten adalah lambang alam semesta. Alam semesta ini sangat luas. Jangankan miliaran galaksi, satu bumi pun kita tidak mampu mengetahuinya dengan baik, sehingga pengetahuan tentang alam semesta mustahil dikuasai. Untuk itu orang Bali menyajikan formula, yakni dengan sarana banten diharapkan mereka memahami seluruh alam semesta. Banten sebagai simbol alam semesta mengindikasikan hal ini. Banten adalah miniatur alam semesta. Sehingga, dengan mengenal banten, kita akan mengenal alam semesta per se. Ketiga, banten juga menjadi simbol dari Tuhan itu sendiri. Dia yang menjadi sumber dari segala sumber, yang menjadikan seluruh alam semesta beserta segala aktivitasnya ini, yang memberikan keselamatan kepada semua makhluk, dan yang menjadi tumpuan dari semua yang ada, disebut dengan Tuhan. Salah satu sifatnya yang unik adalah achintya, yakni tak terpikirkan. Jadi, apapun yang manusia pikirkan tentang Tuhan itu pasti ilusi, sebab Dia mengatasi pikiran. Maka dari itu, agar pikiran kita memiliki gambaran-Nya, maka banten adalah simbol dari-Nya. Orang Bali, melalui banten, karenanya, akan dengan sendirinya mengenal Tuhan.
Demikianlah prinsip banten bagi orang Bali. Dalam hidup, tidak ada yang bisa kita kenali lebih dari itu. Artinya, dengan mengenal banten, kita sesungguhnya telah mengenal segalanya, yakni diri sendiri, alam semesta dan Tuhan. Hanya saja, apakah kita yang telah begitu berkecimpung dengan banten telah sesuai dengan apa yang diinginkan teks di atas? Atau, kita bisa berkilah, bahwa banten itu adalah simbol, sehingga dengan simbol itu saja semuanya telah selesai. Jika demikian halnya, maka simbol itu tidak ubahnya seperti poster yang berisi iklan kecantikan yang dipasang di kandang sapi. Setiap hari sapi melihat poster itu, tetapi tidak pernah mengerti isi poster tersebut.
ORANG Bali identik dengan banten. Tanpa banten, ‘ke-Balian-nya’ kadang diragukan. Kemelekatannya terhadap banten mungkin karena faktor genetis, di mana, orang Bali telah mewarisi tradisi ini turun-temurun dalam kurun waktu ribuan tahun tanpa putus. Sekecil apapun kejadian atau kegiatan yang dilakukan, mereka selalu mendahului dan mengakhirinya dengan banten. Bahkan kejadian-kejadian yang tampak aneh pun seperti turunnya lahar dingin dan lava dari gunung berapi, manak salah (kelahiran tidak wajar), dan yang lainnya, mereka menyelenggarakan upacara untuk itu. Hal inilah yang menyebabkan mengapa orang Bali, yang walaupun berada di tengah gempuran globalisasi, tradisinya tetap berjalan sebagaimana mestinya.
Mengapa orang Bali sangat bertalian dengan banten? Secara simbolis hal ini disebutkan dalam lontar Yadnya Prakerti dengan menyatakan bahwa banten adalah lambang manusia, alam, dan Tuhan. Ketika bicara Tri Hita Karana, maka banten adalah sumber awalnya. Dalam banten lah simbol ketiga itu ada, dan jika dibuat dengan tatanan tertentu akan menjadi lambang keharmonisan. Melalui banten, seseorang akan mencoba melihat seluruhnya. Dalam hal ini, pertama, banten adalah cermin dan sekaligus sebagai pisau bedah untuk membedah satu per satu dirinya dan kemudian menunjukkannya sehingga secara perlahan mampu mengenal dirinya. Melalui banten seseorang diharapkan belajar tentang dirinya sendiri. Melalui banten seseorang mampu svadyaya, yakni belajar tentang dirinya secara terus-menerus. Orang Bali tidak putus-putus membuat banten, artinya, setiap saat mereka selalu terhubungan dengan dirinya sendiri dan kemudian mengenal betul siapa dirinya yang sesungguhnya.
Kedua, banten adalah lambang alam semesta. Alam semesta ini sangat luas. Jangankan miliaran galaksi, satu bumi pun kita tidak mampu mengetahuinya dengan baik, sehingga pengetahuan tentang alam semesta mustahil dikuasai. Untuk itu orang Bali menyajikan formula, yakni dengan sarana banten diharapkan mereka memahami seluruh alam semesta. Banten sebagai simbol alam semesta mengindikasikan hal ini. Banten adalah miniatur alam semesta. Sehingga, dengan mengenal banten, kita akan mengenal alam semesta per se. Ketiga, banten juga menjadi simbol dari Tuhan itu sendiri. Dia yang menjadi sumber dari segala sumber, yang menjadikan seluruh alam semesta beserta segala aktivitasnya ini, yang memberikan keselamatan kepada semua makhluk, dan yang menjadi tumpuan dari semua yang ada, disebut dengan Tuhan. Salah satu sifatnya yang unik adalah achintya, yakni tak terpikirkan. Jadi, apapun yang manusia pikirkan tentang Tuhan itu pasti ilusi, sebab Dia mengatasi pikiran. Maka dari itu, agar pikiran kita memiliki gambaran-Nya, maka banten adalah simbol dari-Nya. Orang Bali, melalui banten, karenanya, akan dengan sendirinya mengenal Tuhan.
Demikianlah prinsip banten bagi orang Bali. Dalam hidup, tidak ada yang bisa kita kenali lebih dari itu. Artinya, dengan mengenal banten, kita sesungguhnya telah mengenal segalanya, yakni diri sendiri, alam semesta dan Tuhan. Hanya saja, apakah kita yang telah begitu berkecimpung dengan banten telah sesuai dengan apa yang diinginkan teks di atas? Atau, kita bisa berkilah, bahwa banten itu adalah simbol, sehingga dengan simbol itu saja semuanya telah selesai. Jika demikian halnya, maka simbol itu tidak ubahnya seperti poster yang berisi iklan kecantikan yang dipasang di kandang sapi. Setiap hari sapi melihat poster itu, tetapi tidak pernah mengerti isi poster tersebut.
Poster dengan pesan yang ada di dalamnya melalui simbol, baik tulisan maupun gambar tetaplah seperti itu, dan sapi yang senantiasa melihatnya juga tidak pernah menangkap pesannya. Bahkan, oleh karena terbiasanya melihat poster tersebut setiap saat, suatu ketika, ada orang mencoba mengambil atau menggantinya dengan poster yang lain, si sapi menjadi beringas karena merasa ada sesuatu yang hilang atau situasi tidak nyaman. Jadi, pesan yang ingin disampaikan oleh Yadnya Prakerti tersebut, hendaklah kita jadikan banten sesuai dengan peruntukannya, tidak seperti poster dan sapi di atas. Hanya dengan itu, manusia mengalami perkembangan secara utuh. Jika tidak, dia tidak ubahnya seperti sapi, selamanya akan tetap seperti itu. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Komentar