Puluhan Siswa Menikmati Bermain di Lumpur
Puluhan siswa Sekolah Dasar (SD) mengikuti 'Festival Nyatua di Carik' yang digelar oleh Penyuluh Bahasa Bali Kota Denpasar, Minggu (17/12) di Subak Sembung, Peguyangan, Denpasar Utara.
DENPASAR, NusaBali
Dalam festival ini, peserta tampak asyik bernyanyi dan melakoni permainan tradisional di lumpur sawah tersebut. Ketua Panitia Acara, I Kadek Rika Aripawan mengatakan, kegiatan yang diikuti sekitar 78 siswa SD se-Kota Denpasar ini untuk memperkenalkan kepada anak-anak di zaman modern tentang makna dan fungsi sawah. Hal ini lantaran anak-anak kini cenderung sibuk dalam dunia modern yang berbasis teknologi. "Untuk memberi tahu anak-anak tentang sawah, karena saat ini mereka hanya mengenal sawah dari televisi atau sosial media saja," ujarnya.
Dikatakan Rika, Bali saat ini tengah dihadapkan dengan gerusan arus globalisasi, sehingga tak jarang lahan pertanian justru beralih fungsi menjadi perumahan. Melihat kondisi yang demikian, tentu pihaknya sebagai generasi muda turut prihatin.
Dikatakan Rika, Bali saat ini tengah dihadapkan dengan gerusan arus globalisasi, sehingga tak jarang lahan pertanian justru beralih fungsi menjadi perumahan. Melihat kondisi yang demikian, tentu pihaknya sebagai generasi muda turut prihatin.
Hal inilah yang mendasari sebuah konsep pelestarian bahasa Bali sekaligus pelestarian kebudayaan agraris yang merupakan salah satu mata pencaharian masyarakat Bali. Selain itu, dengan dilaksanakanya Festival Nyatua di Carik ini, anak-anak dapat langsung mengenal sawah secara lebih dekat. Seperti halnya pendidikan dasar tentang tata pengelolaan sawah, dari menanam bibit, hingga panen. "Dari kegiatan ini selain dapat melestarikan bahasa Bali, anak-anak juga secara langsung dapat turut andil dalam pelestarian sawah dan subak di Bali," ungkapnya.
Sementara itu, I Made Taro sebagai instruktur mengatakan, salah satu permainan tradisional yang dibawakan adalah Kelik-kelikan. Menurutnya, permainan ini menceritakan sebuah kolam berisi air saat musim kemarau. Kolam tersebut merupakan satu-satunya sumber air yang ada. Pun demikian, air yang berada di kolam tersebut dicuri oleh ribuan burung Kekelik yang menyebabkan petani kewalahan mencari air. Hanya saja, petani yang kewalahan tersebut dibantu oleh burung gagak. Hal inilah yang membuat petani dan burung gagak bersahabat untuk mengusir burung kekelik. Air kolam tersebut akhirnya dialirkan petani yang hingga kini dikenal dengan pola pengairan tradisional Bali yang disebut Subak. "Permainan itulah yang kami perkenalkan sekagius melestarikan sawah, bahasa Bali dan lain sebagainya, banyak yang bisa dipelajari dari kegiatan di sawah, inilah yang ingin dibangkitkan karena permainan tradisional banyak yang sudah dilupakan," pungkasnya. *m
Sementara itu, I Made Taro sebagai instruktur mengatakan, salah satu permainan tradisional yang dibawakan adalah Kelik-kelikan. Menurutnya, permainan ini menceritakan sebuah kolam berisi air saat musim kemarau. Kolam tersebut merupakan satu-satunya sumber air yang ada. Pun demikian, air yang berada di kolam tersebut dicuri oleh ribuan burung Kekelik yang menyebabkan petani kewalahan mencari air. Hanya saja, petani yang kewalahan tersebut dibantu oleh burung gagak. Hal inilah yang membuat petani dan burung gagak bersahabat untuk mengusir burung kekelik. Air kolam tersebut akhirnya dialirkan petani yang hingga kini dikenal dengan pola pengairan tradisional Bali yang disebut Subak. "Permainan itulah yang kami perkenalkan sekagius melestarikan sawah, bahasa Bali dan lain sebagainya, banyak yang bisa dipelajari dari kegiatan di sawah, inilah yang ingin dibangkitkan karena permainan tradisional banyak yang sudah dilupakan," pungkasnya. *m
1
Komentar