Pasutri Disabilitas Mandiri dengan Buka Toko
Keterbatasan fisik tak menyurutkan semangat pasangan penyandang disabilitas (cacat fisik), Bajuri,45,- Ni Komang Ayu Manik untuk menjalani hidup.
GIANYAR, NusaBali
Mereka hidup mandiri dengan buka took di jalan raya Banjar Abianseka, Desa Mas, Ubud, Gianyar. Di depan toko kecilnya, Tko 2R, mereka menjual bensin eceran. Sepintas, took ini tampak sama dengan toko-toko lain. Tapi jika sempat mampir membeli bensin, teh maupun kopi, maka pembeli akan kaget. Sebab, Komang Ayu Manik memakai kursi roda. Sedangkan suaminya, Bajuri duduk dilantai dengan kondisi cacat kaki. Keduanya bisa melayani pembeli layaknya orang normal.
Pasutri ini punya satu anak laki-laki, Gede Bayu Raditya,10. Bermula dari persamaan nasib menderita cacat fisik, hingga mengikuti acara penyandang disabilitas nasional di Jogjakarta tahun 2000. “Saya sejak umur 8 bulan sudah sakit-sakitan,” ujar Ayu Manik saat ditemui di tokonya, Selasa (19/12).
Ayu Manik menderita polio sejak usia delapan tahun. Dia sempat masuk kelas 3 SD. ‘Tapi setelah tidak bisa jalan, istirahat setahun,” jelas perempuan asal Banjar Banda, Desa Saba, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar, kelahiran 14 Oktober 1975 ini.
Setahun istirahat, Ayu Manik merasa sangat minder, hingga mengurung diri dalam kamar. “Waktu itu datang dari Yakkum Bali (sekarang Puspadi Bali, Red) ke rumah, memberi motivasi supaya saya mau sekolah lagi,” jelasnya. Karena sempat istirahat setahun, Ayu Manik pun masuk kelas IV di SDN 1 Banda bersama adik kelasnya. Dia sempat mewakili Bali dalam acara motivasi penyandang disabilitas di Jogjakarta tahun 2000. Dia pun bertemu Bajuri, laki-laki asal Kediri, Jawa Timur. “Tahun 2007 kami menikah,” jelasnya.
Setelah menikah, Ayu Manik sempat beberapa tahun menetap di Kediri, Jawa Timur. Kebahagiaan semakin dirasakan saat mengetahui dirinya hamil anak pertama. Meski dari atas kursi roda, proses kehamilannya tanpa kendala. Hanya saja, karena terbatas akses ke rumah sakit atau rumah bersalin, anak pertamanya harus lahir di dukun. “Untungnya lahir normal dibantu dukun,” ungkapnya. Bayu, anaknya itu tumbuh normal, kini kelas 3 di SD Sarin Rare, Desa Mas, Gianyar.
Diceritakan, pasutri ini hijrah ke Bali, tepatnya di Desa Mas, Ubud Gianyar sekitar tahun 2011. Ketika itu, anaknya berusia 4 tahun dan bersiap-siap masuk sekolah TK. “Saya kerja di sekitar desa Mas ini. Pas cari sekolah untuk anak, ketemunya Taman Rare yang paling dekat,” jelasnya.
Anaknya pun dibebaskan dari segala beban biaya. Dari kejadian itu pula, Ayu Manik akhirnya difasilitasi sebuah tempat untuk buka toko oleh pihak Taman Rare.
Hingga akhirnya dia ditawari modal Rp 10 juta untuk mengelola took sendiri. Pihaknya pun diberikan kebebasan untuk membayar tiap bulannya. Bahkan boleh menunda bayar jika memang uangnya tak cukup. “Sudah berjalan 4 bulan. Setiap bulan saya berusaha bayar Rp 500.000,” jelasnya.
Aneka makanan, minuman, dan kebutuhan rumah tangga sehari-hari dijualnya. Ayu Manik pun berkeinginan untuk menambah barang dagangan berupa alat tulis kantor dan jas hujan. “Maunya pinjam KUR di bank. Tapi karena banyak harus urus surat-surat, ditunda dulu. Siapa tahu nanti ada kemudahan,” harapnya.
Dengan membuka usaha ini, keluarga kecil ini bisa hidup layak sehari-hari. Suami, Bajuri bertugas pergi ke pasar Blahbatuh untuk berbelanja kebutuhan dapur mapun toko setiap pagi. Ayu Manik bertugas memasak dan mempersiapkan anaknya untuk pergi ke sekolah. Diungkapkan, pasutri ini tidak mengalami kesulitan melayani pembeli. Bahkan, kebanyakan pembeli berbalik merasa iba. “Pernah ada wisatawan asing beli bensin. Lihat bapak jalan, dia gak tega. Katanya bapak diam saja, biar saya yang isi bensin. Bahkan uang kembaliannya dikasi ke anak. Selain itu, kebanyakan pembeli memang pengertian,” terangnya.
Toko 2R ini buka setiap hari, mulai pukul 07.00 pagi hingga 21.00 wita. Selain kebutuhan sehari-hari, Ayu Manik juga menjual pulsa. Terpenting baginya, hidupnya tak lagi minder dan merepotkan orang lain. “Selagi bisa, kami akan berusaha,” paparnya. *nvi
Mereka hidup mandiri dengan buka took di jalan raya Banjar Abianseka, Desa Mas, Ubud, Gianyar. Di depan toko kecilnya, Tko 2R, mereka menjual bensin eceran. Sepintas, took ini tampak sama dengan toko-toko lain. Tapi jika sempat mampir membeli bensin, teh maupun kopi, maka pembeli akan kaget. Sebab, Komang Ayu Manik memakai kursi roda. Sedangkan suaminya, Bajuri duduk dilantai dengan kondisi cacat kaki. Keduanya bisa melayani pembeli layaknya orang normal.
Pasutri ini punya satu anak laki-laki, Gede Bayu Raditya,10. Bermula dari persamaan nasib menderita cacat fisik, hingga mengikuti acara penyandang disabilitas nasional di Jogjakarta tahun 2000. “Saya sejak umur 8 bulan sudah sakit-sakitan,” ujar Ayu Manik saat ditemui di tokonya, Selasa (19/12).
Ayu Manik menderita polio sejak usia delapan tahun. Dia sempat masuk kelas 3 SD. ‘Tapi setelah tidak bisa jalan, istirahat setahun,” jelas perempuan asal Banjar Banda, Desa Saba, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar, kelahiran 14 Oktober 1975 ini.
Setahun istirahat, Ayu Manik merasa sangat minder, hingga mengurung diri dalam kamar. “Waktu itu datang dari Yakkum Bali (sekarang Puspadi Bali, Red) ke rumah, memberi motivasi supaya saya mau sekolah lagi,” jelasnya. Karena sempat istirahat setahun, Ayu Manik pun masuk kelas IV di SDN 1 Banda bersama adik kelasnya. Dia sempat mewakili Bali dalam acara motivasi penyandang disabilitas di Jogjakarta tahun 2000. Dia pun bertemu Bajuri, laki-laki asal Kediri, Jawa Timur. “Tahun 2007 kami menikah,” jelasnya.
Setelah menikah, Ayu Manik sempat beberapa tahun menetap di Kediri, Jawa Timur. Kebahagiaan semakin dirasakan saat mengetahui dirinya hamil anak pertama. Meski dari atas kursi roda, proses kehamilannya tanpa kendala. Hanya saja, karena terbatas akses ke rumah sakit atau rumah bersalin, anak pertamanya harus lahir di dukun. “Untungnya lahir normal dibantu dukun,” ungkapnya. Bayu, anaknya itu tumbuh normal, kini kelas 3 di SD Sarin Rare, Desa Mas, Gianyar.
Diceritakan, pasutri ini hijrah ke Bali, tepatnya di Desa Mas, Ubud Gianyar sekitar tahun 2011. Ketika itu, anaknya berusia 4 tahun dan bersiap-siap masuk sekolah TK. “Saya kerja di sekitar desa Mas ini. Pas cari sekolah untuk anak, ketemunya Taman Rare yang paling dekat,” jelasnya.
Anaknya pun dibebaskan dari segala beban biaya. Dari kejadian itu pula, Ayu Manik akhirnya difasilitasi sebuah tempat untuk buka toko oleh pihak Taman Rare.
Hingga akhirnya dia ditawari modal Rp 10 juta untuk mengelola took sendiri. Pihaknya pun diberikan kebebasan untuk membayar tiap bulannya. Bahkan boleh menunda bayar jika memang uangnya tak cukup. “Sudah berjalan 4 bulan. Setiap bulan saya berusaha bayar Rp 500.000,” jelasnya.
Aneka makanan, minuman, dan kebutuhan rumah tangga sehari-hari dijualnya. Ayu Manik pun berkeinginan untuk menambah barang dagangan berupa alat tulis kantor dan jas hujan. “Maunya pinjam KUR di bank. Tapi karena banyak harus urus surat-surat, ditunda dulu. Siapa tahu nanti ada kemudahan,” harapnya.
Dengan membuka usaha ini, keluarga kecil ini bisa hidup layak sehari-hari. Suami, Bajuri bertugas pergi ke pasar Blahbatuh untuk berbelanja kebutuhan dapur mapun toko setiap pagi. Ayu Manik bertugas memasak dan mempersiapkan anaknya untuk pergi ke sekolah. Diungkapkan, pasutri ini tidak mengalami kesulitan melayani pembeli. Bahkan, kebanyakan pembeli berbalik merasa iba. “Pernah ada wisatawan asing beli bensin. Lihat bapak jalan, dia gak tega. Katanya bapak diam saja, biar saya yang isi bensin. Bahkan uang kembaliannya dikasi ke anak. Selain itu, kebanyakan pembeli memang pengertian,” terangnya.
Toko 2R ini buka setiap hari, mulai pukul 07.00 pagi hingga 21.00 wita. Selain kebutuhan sehari-hari, Ayu Manik juga menjual pulsa. Terpenting baginya, hidupnya tak lagi minder dan merepotkan orang lain. “Selagi bisa, kami akan berusaha,” paparnya. *nvi
1
Komentar