Karya Kolaboratif 28 Seniman
Penggabungan berbagai bakat untuk menghasilkan karya seni merupakan hal yang khas terdapat dalam kreativitas Bali, apalagi menyangkut seni ukir.
GIANYAR, NusaBali
Damping Gallery akan menggelar pameran 28 karya ukir panel kayu bertajuk ‘Transcending Myth and Reality: Damping Wooden Reliefs’ 28 Desember 2017-28 Januari 2018. Pemilik Damping Gallery Wayan Sutarma mengatakan, karya ini disiapkan selama 2 tahun yang dikerjakan secara kolaboratif oleh 28 seniman yakni perupa, pengukir, pewarna dan pembuat pigura khusus. “Kami ingin menyajikan karya-karya yang lebih dari stilisasi seni rupa tradisional Bali, tetapi memaknainya lebih jauh dengan menggunakan medium balok kayu dengan ukiran detil tiga dimensi,” katanya, Senin (25/12).
Pameran akan dibuka oleh panglingsir Puri Agung Ubud Tjokorda Gde Putra Sukawati dan budayawan Prof Dr Made Bandem, Kamis (28/12) pukul 18.30 Wita di Damping Gallery, Banjar Kutuh Kaja, Ubud.
Tema yang diangkat dalam karya-karya ini bersumber dari wiracarita Ramayana, Mahabharata, Tantri, dan Pan Brayut yang mewakili cerita rakyat Bali. Sebuah karya yang minimal berbobot 300 kilogram ini diawali dengan membuat sketsa di atas papan kayu, kemudian diukir, diwarnai, dan dipigura khusus sesuai dengan wiracarita yang diangkat.
Pengamat seni rupa Dr Jean Couteau dalam katalog pameran menuliskan karya seni ini terbilang genre seni baru: panel-panel yang tidak bisa diklasifikasikan sepenuhnya sebagai seni ukir atau seni lukis. Panel tersebut memadukan secara magis kedua genre ini, sehingga layak disebut juga, selain seni lukis, sebagai seni ukir. “Realisme yang diperlihatkan pada penggambaran ukiran pada papan kayu tersebut memadukan dengan indah tradisi akademik Barat dan tradisi asli Bali” katanya.
Pada awalnya ini merupakan ide I Wayan Sutarma yang menyebut Gaya Ubud yang juga dikenal sebagai Pita Maha, dianggapnya telah menemui jalan buntu dan perlu generasi pembaharu berikutnya.
Hasilnya adalah panel atau relief kayu yang akan dipamerkan tersebut. Wayan Sutarma mengajak I Gede Ngurah panji, seniman muda lulusan Universitas Aix-Marseille membuat sketsa di atas papan kayu merbau dan jati. Kemudian dilanjutkan oleh tukang ukir, seniman pemberi warna, dan parakit pigura khusus.
Lantas siapa pencipta karya ini? Ini suatu pertanyaan penting, dan barangkali lebih tepat ditanyakan: siapa para-senimannya, karena panel perpaduan antara lukisan dan ukiran ini tidak mungkin ada tanpa kolaborasi kreatif dari sejumlah seniman.
Penggabungan berbagai bakat untuk menghasilkan karya seni merupakan hal yang khas terdapat dalam kreativitas Bali, apalagi menyangkut seni ukir. Dalam panel-panel kayu yang dipamerkan sekarang ini tidak kurang dari empat kelompok seniman terlibat di dalam pembuatannya.
Antropolog dari IHDN Denpasat Prof Dr I Nengah Duija mengatakan, Wayan Sutarma dengan karya khasnya ukiran pandil berdimensi vertikal dan horizontal menampilkan ruang diskusi interpretatif dari berbagai sudut pemaknaan. Karya ini memberikan makna jauh lebih ke “dalam” logika-religiousitas. Hal tesebut dimaksudkan untuk mencapai ruang estetika metafisika atau teo-estetik, agar penikmat karya mampu meneropong roh yang terhanyut oleh keindahan (langö) dengan objek ritual religious-magis, yaitu penyucian sang diri (katharsis). Di sanalah karya estetika pandil ini telah masuk pada ruang kesunyian (suwung).
Duija menyebut karya-karya pandil yang merunut totalitas cerita ini mampu menampilkan alur cerita Ramayana, misalnya, yang utuh melalui garapan seni ukir tiga dimensi, digarap dengan gaya ukiran dan pengecatan yang khas, sehingga mampu mencapai logika-estetika, dan etika dalam ruang pemaknaanya yang tidak lepas dari masyarakat lingkungan. “Sungguh karya-karya ini menyediakan ruang yang sangat luas dan mendalam kepada penikmat untuk masuk meneropong kedalaman teo-estetik dari sebuah tampilan wiracarita yang berbeda dengan karya-karya sejenis yang penah ada,” katanya. *isu
Damping Gallery akan menggelar pameran 28 karya ukir panel kayu bertajuk ‘Transcending Myth and Reality: Damping Wooden Reliefs’ 28 Desember 2017-28 Januari 2018. Pemilik Damping Gallery Wayan Sutarma mengatakan, karya ini disiapkan selama 2 tahun yang dikerjakan secara kolaboratif oleh 28 seniman yakni perupa, pengukir, pewarna dan pembuat pigura khusus. “Kami ingin menyajikan karya-karya yang lebih dari stilisasi seni rupa tradisional Bali, tetapi memaknainya lebih jauh dengan menggunakan medium balok kayu dengan ukiran detil tiga dimensi,” katanya, Senin (25/12).
Pameran akan dibuka oleh panglingsir Puri Agung Ubud Tjokorda Gde Putra Sukawati dan budayawan Prof Dr Made Bandem, Kamis (28/12) pukul 18.30 Wita di Damping Gallery, Banjar Kutuh Kaja, Ubud.
Tema yang diangkat dalam karya-karya ini bersumber dari wiracarita Ramayana, Mahabharata, Tantri, dan Pan Brayut yang mewakili cerita rakyat Bali. Sebuah karya yang minimal berbobot 300 kilogram ini diawali dengan membuat sketsa di atas papan kayu, kemudian diukir, diwarnai, dan dipigura khusus sesuai dengan wiracarita yang diangkat.
Pengamat seni rupa Dr Jean Couteau dalam katalog pameran menuliskan karya seni ini terbilang genre seni baru: panel-panel yang tidak bisa diklasifikasikan sepenuhnya sebagai seni ukir atau seni lukis. Panel tersebut memadukan secara magis kedua genre ini, sehingga layak disebut juga, selain seni lukis, sebagai seni ukir. “Realisme yang diperlihatkan pada penggambaran ukiran pada papan kayu tersebut memadukan dengan indah tradisi akademik Barat dan tradisi asli Bali” katanya.
Pada awalnya ini merupakan ide I Wayan Sutarma yang menyebut Gaya Ubud yang juga dikenal sebagai Pita Maha, dianggapnya telah menemui jalan buntu dan perlu generasi pembaharu berikutnya.
Hasilnya adalah panel atau relief kayu yang akan dipamerkan tersebut. Wayan Sutarma mengajak I Gede Ngurah panji, seniman muda lulusan Universitas Aix-Marseille membuat sketsa di atas papan kayu merbau dan jati. Kemudian dilanjutkan oleh tukang ukir, seniman pemberi warna, dan parakit pigura khusus.
Lantas siapa pencipta karya ini? Ini suatu pertanyaan penting, dan barangkali lebih tepat ditanyakan: siapa para-senimannya, karena panel perpaduan antara lukisan dan ukiran ini tidak mungkin ada tanpa kolaborasi kreatif dari sejumlah seniman.
Penggabungan berbagai bakat untuk menghasilkan karya seni merupakan hal yang khas terdapat dalam kreativitas Bali, apalagi menyangkut seni ukir. Dalam panel-panel kayu yang dipamerkan sekarang ini tidak kurang dari empat kelompok seniman terlibat di dalam pembuatannya.
Antropolog dari IHDN Denpasat Prof Dr I Nengah Duija mengatakan, Wayan Sutarma dengan karya khasnya ukiran pandil berdimensi vertikal dan horizontal menampilkan ruang diskusi interpretatif dari berbagai sudut pemaknaan. Karya ini memberikan makna jauh lebih ke “dalam” logika-religiousitas. Hal tesebut dimaksudkan untuk mencapai ruang estetika metafisika atau teo-estetik, agar penikmat karya mampu meneropong roh yang terhanyut oleh keindahan (langö) dengan objek ritual religious-magis, yaitu penyucian sang diri (katharsis). Di sanalah karya estetika pandil ini telah masuk pada ruang kesunyian (suwung).
Duija menyebut karya-karya pandil yang merunut totalitas cerita ini mampu menampilkan alur cerita Ramayana, misalnya, yang utuh melalui garapan seni ukir tiga dimensi, digarap dengan gaya ukiran dan pengecatan yang khas, sehingga mampu mencapai logika-estetika, dan etika dalam ruang pemaknaanya yang tidak lepas dari masyarakat lingkungan. “Sungguh karya-karya ini menyediakan ruang yang sangat luas dan mendalam kepada penikmat untuk masuk meneropong kedalaman teo-estetik dari sebuah tampilan wiracarita yang berbeda dengan karya-karya sejenis yang penah ada,” katanya. *isu
1
Komentar