MUTIARA WEDA : Dunia Hanya Ide
Wahai Rama, dunia ini tiada lain hanyalah sekadar idea. Seluruh objek kesadaran di dunia ini hanyalah sebuah idea. Buang kekotoran dari idea tersebut dan bebaslah dari idea. Selalulah mengakar dalam kebenaran dan raihlah kedamaian!
Sankalpajālakalanaiva jagatsamagram
Sankalpameva nanu viddhi villāsacetyam
Sankalpamātramalam utsrjya nirvikalpa
Māsritya niscayam avāpnuhi rāma sāntim
(Yoga Vasishta, 39)
MUNGKIN, dunia idenya Plato memiliki kemiripan dengan apa yang disampaikan oleh Maharsi Vasishta kepada Rama. Plato mengatakan bahwa kita telah terbiasa dengan bayang-bayang di dinding dan tidak pernah menoleh dan melihat realitas yang sebenarnya. Cerita yang diilustrasikan oleh Plato tersebut menyentak sebagian besar para filsuf dan bisa dijadikan bahan renungan untuk melihat dan memberikan pandangan terhadap dunia ini. Sementara itu, jauh sebelum Plato, Vasishta telah membuat sebuah cerita yang mengilustrasikan bahwa dunia ini hanya sekadar idea, tidak real.
Vasistha bercerita tentang seorang bocah yang meminta neneknya untuk bercerita. Vasistha meminta Rama untuk mendengarkan secara seksama mengenai cerita apa yang akan diberikan oleh nenek tersebut kepada cucunya. Ceritanya seperti ini: Suatu ketika pada sebuah kota yang tidak pernah eksis, hiduplah tiga orang pangeran yang pemberani dan bahagia. Dari ketiga pangeran tersebut, dua di antaranya belum lahir dan satunya lagi belum dibuat oleh kedua orangtuanya. Malangnya, semua keluarga dari ketiga pangeran tersebut meninggal dan mereka harus meninggalkan kota tersebut. Dalam perjalanan dia tidak mampu menahan rasa panas dari pasir yang dilaluinya dan membuat kakinya terbakar. Segera dia mencari perlindungan dan akhirnya menemukan tiga pohon, di mana dari ketiganya, dua di antaranya tidak pernah ada dan yang satunya belum ditanam. Setelah istirahat di bawah pohon tersebut dan memakan buah dari pohon tersebut, mereka melanjutkan perjalanan.
Mereka akhirnya tiba pada tiga tepi sungai, di mana dua di antara sungai tersebut kering dan satunya lagi tidak berisi air. Para pangeran tersebut mandi dan menghilangkan penatnya di sungai tersebut. Kemudian setelah itu mereka akhirnya tiba pada sebuah kota yang sangat besar yang mungkin akan mau dibangun. Di kota tersebut mereka menemukan tiga istana yang indah dan megah. Dua dari istana tersebut belum dibangun dan yang satunya lagi tidak memiliki tembok. Mereka memasuki istana tersebut dan menemukan tiga piring emas, di mana dua dari piring tersebut pecah dan yang satunya lagi tidak ada. Mereka memegang piring emas yang tidak ada tersebut. Mereka mengambil 99 gram beras dikurangi 100 gram dan kemudian memasaknya. Setelah masak, mereka kemudian mengundang tiga orang suci sebagai tamu untuk makan bersama. Dua di antara tamunya tersebut tidak memiliki badan, sedangkan yang satunya tidak memiliki mulut. Setelah tamunya tersebut makan, kemudian ketiga pangeran tersebut menghabiskan sisa makanan itu dan menikmat
inya. Anakku! Cerita ini sangat indah dan harap ingat selalu, maka kamu akan tumbuh menjadi orang terpelajar.
Ketika anak tersebut mendengar cerita tersebut, dia sangat menikmatinya. Vasihtha mengatakan kepada Rama bahwa apa yang diketahui sebagai dunia ciptaan ini tidak lebih real daripada cerita yang didengar oleh anak kecil tersebut dari neneknya. Dunia ini bukanlah apa-apa, melainkan hanya sebuah halusinasi, tidak lebih dari sekadar idea. Dalam kesadaran yang tanpa batas, ide penciptaan muncul, dan hanya itulah yang ada nyatanya.
Ajaran ini pada abad ke-8 kemudian menjadi cikal-bakal lahirnya teori Ajativada (non-creation) oleh Gaudapada, dan kemudian oleh Adi Shankaracharya melahirkan teori Kausalitas Vivartavada (unreal manifestation). Advaita Vedanta dengan tegas menyimpulkan bahwa dunia ini ilusi, tidak nyata, dan hanya Brahman yang nyata. Dunia ini tampak nyata hanya ketika dilihat dari yang tidak nyata dan oleh pandangan yang tidak nyata. Ketika kita mampu merealisasikan Brahman, atau menyadari diri kita yang Nyata, maka kita akan mampu melihat bahwa dunia ini hanya sekadar ilusi. Sesuatu yang asli akan hadir dengan sendirinya. Kita akan mampu melihat kebenaran dan berada dalam kedamaian, sebagaimana diamantkan oleh teks di atas. Pernyataan ini tentu menjadi perdebatan panjang dan berdampak langsung pada tataran etik. 7
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Sankalpameva nanu viddhi villāsacetyam
Sankalpamātramalam utsrjya nirvikalpa
Māsritya niscayam avāpnuhi rāma sāntim
(Yoga Vasishta, 39)
MUNGKIN, dunia idenya Plato memiliki kemiripan dengan apa yang disampaikan oleh Maharsi Vasishta kepada Rama. Plato mengatakan bahwa kita telah terbiasa dengan bayang-bayang di dinding dan tidak pernah menoleh dan melihat realitas yang sebenarnya. Cerita yang diilustrasikan oleh Plato tersebut menyentak sebagian besar para filsuf dan bisa dijadikan bahan renungan untuk melihat dan memberikan pandangan terhadap dunia ini. Sementara itu, jauh sebelum Plato, Vasishta telah membuat sebuah cerita yang mengilustrasikan bahwa dunia ini hanya sekadar idea, tidak real.
Vasistha bercerita tentang seorang bocah yang meminta neneknya untuk bercerita. Vasistha meminta Rama untuk mendengarkan secara seksama mengenai cerita apa yang akan diberikan oleh nenek tersebut kepada cucunya. Ceritanya seperti ini: Suatu ketika pada sebuah kota yang tidak pernah eksis, hiduplah tiga orang pangeran yang pemberani dan bahagia. Dari ketiga pangeran tersebut, dua di antaranya belum lahir dan satunya lagi belum dibuat oleh kedua orangtuanya. Malangnya, semua keluarga dari ketiga pangeran tersebut meninggal dan mereka harus meninggalkan kota tersebut. Dalam perjalanan dia tidak mampu menahan rasa panas dari pasir yang dilaluinya dan membuat kakinya terbakar. Segera dia mencari perlindungan dan akhirnya menemukan tiga pohon, di mana dari ketiganya, dua di antaranya tidak pernah ada dan yang satunya belum ditanam. Setelah istirahat di bawah pohon tersebut dan memakan buah dari pohon tersebut, mereka melanjutkan perjalanan.
Mereka akhirnya tiba pada tiga tepi sungai, di mana dua di antara sungai tersebut kering dan satunya lagi tidak berisi air. Para pangeran tersebut mandi dan menghilangkan penatnya di sungai tersebut. Kemudian setelah itu mereka akhirnya tiba pada sebuah kota yang sangat besar yang mungkin akan mau dibangun. Di kota tersebut mereka menemukan tiga istana yang indah dan megah. Dua dari istana tersebut belum dibangun dan yang satunya lagi tidak memiliki tembok. Mereka memasuki istana tersebut dan menemukan tiga piring emas, di mana dua dari piring tersebut pecah dan yang satunya lagi tidak ada. Mereka memegang piring emas yang tidak ada tersebut. Mereka mengambil 99 gram beras dikurangi 100 gram dan kemudian memasaknya. Setelah masak, mereka kemudian mengundang tiga orang suci sebagai tamu untuk makan bersama. Dua di antara tamunya tersebut tidak memiliki badan, sedangkan yang satunya tidak memiliki mulut. Setelah tamunya tersebut makan, kemudian ketiga pangeran tersebut menghabiskan sisa makanan itu dan menikmat
inya. Anakku! Cerita ini sangat indah dan harap ingat selalu, maka kamu akan tumbuh menjadi orang terpelajar.
Ketika anak tersebut mendengar cerita tersebut, dia sangat menikmatinya. Vasihtha mengatakan kepada Rama bahwa apa yang diketahui sebagai dunia ciptaan ini tidak lebih real daripada cerita yang didengar oleh anak kecil tersebut dari neneknya. Dunia ini bukanlah apa-apa, melainkan hanya sebuah halusinasi, tidak lebih dari sekadar idea. Dalam kesadaran yang tanpa batas, ide penciptaan muncul, dan hanya itulah yang ada nyatanya.
Ajaran ini pada abad ke-8 kemudian menjadi cikal-bakal lahirnya teori Ajativada (non-creation) oleh Gaudapada, dan kemudian oleh Adi Shankaracharya melahirkan teori Kausalitas Vivartavada (unreal manifestation). Advaita Vedanta dengan tegas menyimpulkan bahwa dunia ini ilusi, tidak nyata, dan hanya Brahman yang nyata. Dunia ini tampak nyata hanya ketika dilihat dari yang tidak nyata dan oleh pandangan yang tidak nyata. Ketika kita mampu merealisasikan Brahman, atau menyadari diri kita yang Nyata, maka kita akan mampu melihat bahwa dunia ini hanya sekadar ilusi. Sesuatu yang asli akan hadir dengan sendirinya. Kita akan mampu melihat kebenaran dan berada dalam kedamaian, sebagaimana diamantkan oleh teks di atas. Pernyataan ini tentu menjadi perdebatan panjang dan berdampak langsung pada tataran etik. 7
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
1
Komentar