Bali Masih Indah, Pariwisata Tidak Akan Tamat
Gunung Agung bukan ancaman bagi pariwisata Bali! Begitu berkali-kali para pemangku kepentingan, baik level lokal maupun nasional, mencoba menentramkan ‘kepanikan’ yang melanda wisatawan.
Ya, kajian ilmiah ataupun rumusan hitungan lain memang menunjukkan daerah terdampak erupsi Gunung Agung ada di kisaran 8-10 kilometer dari puncak Gunung Agung. Tapi, berita yang sempat menjadi viral di sosial media sejak September 2017 lalu, saat pertamakali Gunung Agung dinaikkan aktivitasnya ke level IV (Awas), telanjur seram-seram. Bahkan, sampai beredar maps ancaman Gunung Agung membuat wisatawan berlarian menyelamatkan diri. Intinya, seolah-olah erupsi akan mengancam para wisatawan yang berlibur di Pulau Dewata.
Tidak heran jika relasi atau handaitaulan kita yang berada di luar Bali juga kerap bertanya soal keamanan Pantai Kuta, Tanah Lot, ataupun Lovina. Dan, tak bosan-bosannya kita menjawab ‘aman, aman, dan aman’. Karena faktanya jarak destinasi wisata itu tak sedekat yang diviralkan.
Toh, kondisi pariwisata Bali tak bisa dihindari dari kata jeblok pasca erupsi Gunung Agung, 26 November 2017. Gongnya saat Bandara Internasional Ngurah Rai Tuban terpaksa ditutup selama tiga hari. Kerugian yang dirilis Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan oleh kantor perwakilan Bank Indonesia Denpasar, ditaksir mencapai Rp 209 miliar.
Kerugian itu akibat batalnya kedatangan sebanyak 44.000 wisatawan mancanegara. Padahal, wisatawan mancanegara itu memiliki tingkat belanja rata-rata Rp 1,3 juta per orang per hari. Selain itu, kerugian datang dari batalnya wisatawan Nusantara sebanyak 44.000 orang dengan potensi belanja sekitar Rp 520.000 per orang per hari. Tingkat hunian hotel pun anjlok menjadi hanya sekitar 10 persen dari total ka-pasitas kamar.
Tidak berhenti di ‘tiga hari itu’, tapi pukulan pariwisata Bali juga dirasakan pasca Bandara Internasional Ngurah Rai dibuka kembali. Sektor MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition) juga mengalami pukulan. Acara yang biasanya bisa membawa ratusan hingga ribuan tamu hotel batal. Bahkan, event tahunan Bali Democracy Forum yang selama ini selalu digelar di Nusa Dua, digeser jauh ke Banten. Jauh hari sebelumnya, saat Level IV Gunung Agung pada September 2017 lalu, agenda MICE di sejumlah hotel juga sudah berantakan.
Beruntung, sejak sepekan terakhir tamu-tamu mancanegara maupun domestik sudah mulai meramaikan bandara ataupun hotel-hotel. Adapun hotel-hotel dengan rate di bawah Rp 500.000 per room juga tertolong dengan musim liburan rombongan pelajar.
Langkah dan upaya pemerintah sudah tepat dengan menggaungkan kampanye ‘Bali Aman’. Elemen masyarakat Bali, mulai dari penggemar mobil kuno hingga klub sepakbola Bali United, juga menyebarkan pesan ‘Bali Safe.’ Sehingga gawe besar Pertemuan Tahunan Dana Moneter Internasional-Bank Dunia (IMF-WBG) pada Oktober 2018 mendatang dinyatakan tetap dilangsungkan di Bali, meski hingga saat ini Gunung Agung masih berstatus Awas.
Namun, dari apa yang terjadi, Gunung Agung menunjukkan kepada kita celah yang harus diperbaiki. Bali tak bisa hanya menggantungkan pada Bandara Ngurah Rai semata. Pasalnya, jika terjadi sebaran abu vulkanik yang dikhawatikan mengganggu penerbangan, maka hal ini bisa terulang lagi. Kuta, Nusa Dua, Tanah Lot aman dikunjungi, namun moda transportasi bagi wisatawan yang akan kembali ke tempat asalnya, belum mendapatkan garansi.
Kerjasama dengan bandara terdekat harus dilakukan, seperti Bandara Belimbing Sari di Banyuwangi, Jawa Timur yang bisa menjadi alternatif bagi wisatawan. Kalaupun saat ini baru bisa didarati pesawat jenis ATR, di masa datang Bandara Belimbing Sari Banyuwangi juga hendaknya bisa didarati pesawat berbadan lebar.
Pewujudan bandara di Bali Utara juga menunjukkan bahwa diperlukan bandara alternatif di Pulau Dewata. Bukan hanya karena alasan daya tamping bandara lama ataupun jargon keseimbangan pembangunan Bali Selatan dan Bali Utara, namun dalam kondisi force majeur, bandara alternatif di Bali bisa menjadi ‘pembawa rasa tenang’ bagi wisatawan. Angkutan laut (cruise) hingga pemanfaatan kereta api, juga sebagai solusi agar Bali tidak hanya mengandalkan satu pintu masuk: Bandara Ngurah Rai.
Dan, yang terpenting, pemerintah jangan ‘meninggalkan’ Bali dengan keasyikan melahirkan ’10 Bali Baru’. Ingat, saat ini devisa negara dari sektor pariwisata, sebesar 40 persennya berasal dari pulai kecil ini. Bali memberi kontribusi Rp 70 triliun bagi negara dari pariwisata. Adalah sangat tidak elok manakala ‘mesin uang’ ini dilupakan.
Pembangunan infrastruktur Bali tak hanya harus menunggu saat sebuah event IMF-Bank Dunia digelar. Sebab, Bali adalah magnet dan daya pesona Indonesia. Bahkan, jika dikalkulasi, sebenarnya kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali pada 2017 ini sudah mendekati target 5,5 juta orang. Sebab, hingga November 2017, terdeteksi angka 5 juta wisman. Kabar terbaru juga menunjukkan bahwa di periode yang sama tahun lalu, maka periode di akhir 2017 ini ada peningkatan signifikan.
Jadi, marilah kita menyongsong tahun 2018 dengan penuh semangat dan optimis. Sepinya wisatawan pada minggu-minggu lalu perlu dijadikan ajang introspeksi memperbaiki pariwisata Bali, dan mengantisipasi dampak-dampak yang terjadi. *
---PROYEKSI 2018 Bidang EKONOMI
M Maolan
----------------------------
Wartawan NusaBali
Komentar