Megakorupsi Proyek e-KTP dan Manuver Novanto
Sejak kasus megakorupsi proyek e-KTP yang diduga merugikan negara senilai Rp 2,3 triliun mencuat ke permukaan, publik sudah menyangka proses hukum yang berjalan dengan menyeret para 'aktor' di dalamnya tak akan berjalan mudah.
Episode demi episode yang diungkap dari kasus ini oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bak sekuel dalam sinetron. Publik dibuat tercengang, heran, sekaligus geram kepada para aktornya mengingat betapa uang rakyat yang demikian besar telah diskenario sedemikian rupa hanya untuk 'mengenyangkan perut' segelintir orang.
Dan, ketika sinetron kasus e-KTP menampilkan salah satu pemain utamanya, yakni Ketua DPR Setya Novanto, publik seakan mulai menemukan titik terang asal muasal perkara ini. Lewat kemunculan Setya Novanto, benang merah masing-masing tokoh sekaligus perannya dalam kasus ini mulai tersambung.
Namun, namanya juga pemeran utama, kemunculan Setya Novanto dalam kasus e-KTP lebih menyedot perhatian, uUtamanya ketika KPK menetapkan politisi senior Golkar tersebut sebagai tersangka, Juli 2017 lalu. Maklum, sejak saat itulah publik seakan mendapat suguhan akting yang begitu memikat dan nyaris sempurna dari seorang Setya Novanto.
Manuver-manuver yang dilakukan Novanto untuk keluar dari jeratan kasus ini benar-benar membuat publik sport jantung. Sebab, kali ini KPK mendapatkan lawan yang sangat tangguh. Lihat saja, sebulan pasca berstatus tersangka, Novanto resmi mendaftarkan gugatan praperadilan ke PN Negeri Jakarta Selatan. Gugatan praperadilan untuk menggugurkan status tersangka yang ditetapkan KPK ini terdaftar dalam nomor 97/Pid.Prap/2017/PN Jak.Sel.
Perlawanan Novanto kala itu membuahkan hasil. Sebab, hakim tunggal praperadilan, Cepi Iskandar, mengabulkan sebagian permohonan Novanto dalam sidang putusan, 29 September 2017. Penetapan Novanto sebagai tersangka oleh KPK dianggap tidak sah alias batal. Hakim juga meminta KPK untuk menghentikan penyidikan terhadap Novanto.
Hakim Cepi berdalih, penetapan Novanto sebagai tersangka tidak sah karena dilakukan di awal penyidikan, bukan di akhir penyidikan. Hakim Cepi juga memasalahkan alat bukti yang digunakan KPK untuk menjerat Novanto. Sebab, alat bukti itu sudah digunakan dalam penyidikan terhadap Irman dan Sugiharto, dua pejabat Kementerian Dalam Negeri yang sudah divonis bersalah di pengadilan.
Lucunya, selama proses gugatan praperadilan berlangsung, Novanto justru terbaring (seolah) tak berdaya dalam perawatan di RS Premier. Namun, begitu gugatan praperadilan dinyatakan menang, Novanto tiba-tiba kembali sehat dan beraktivitas seperti sediakala, bahkan dengan agenda yang cukup padat. Itu jelas terasa janggal untuk orang yang sebelumnya divonis menderita vertigo dan kemudian mengidap sakit ginjal hingga penyakit jantung dan sempat menjalani katerisasi jantung.
Ketangguhan Novanto bukan saja dalam keberhasilannya menggugurkan status tersangka, tapi selama proses tersebut bergulir, Ketua Umum DPP Golkar ini juga selalu mangkir dari panggilan KPK. Untung saja, KPK punya mental baja. Dengan lantang KPK menegaskan Novanto kembali menjadi tersangka untuk kasus yang sama.
Kendati Novanto me-warning akan kembali memakai jurus praperadilan jilid II untuk melepaskan diri dari kasus korupsi yang menjeratnya, KPK bergeming. KPK siap meladeni Novanto. Lagi-lagi, Novanto mencoba bermanuver lagi mulai dari pemeriksaannya harus seizin Presiden Jokowi, hingga memainkan berbagai isu agar KPK kehilangan kepercayaan di kalangan publik. Isu yang digulirkan Novanto, antara lain, soal pemalsuan surat dan penyalahgunaan wewenang oleh pimpinan KPK.
Namun, jurus KPK lebih ampuh. Setelah me-warning dengan panggilan paksa, meski sempat diwarnai insiden kecelakaan tabrak tiang listrik di jalan raya, KPK akhirnya resmi menjebloskan sang ketua DPR ke sel tahanan. Bukan hanya itu, KPK lebih cepat menyeret Novanto ke persidangan pengadilan Tipikor Jakarta, sebelum gugatan praperadilan jilid II sang Ketua DPR diputus hakim.
Publik mendesak Novanto bersikap ksatria. Posisinya sebagai orang nomor satu di lembaga legislatif harusnya menjadi contoh yang baik, bagaimana seharusnya proses penegakan hukum di negeri ini berjalan.
Tawaran KPK untuk menjadi justice collaborator, harusnya dilihat sebagai peluang emas bagi Novanto agar nanti mendapat vonis lebih 'ringan', mengingat nilai kerugian negara dalam kasus ini. Namun, untuk menyandang predikat justice collaborator itu, memang tidak mudah, mengingat Novanto harus membongkar siapa saja pihak-pihak yang turut menerima aliran duit e-KTP.
Cerita memang belum berakhir, bahkan boleh jadi babak baru justru baru dimulai dan sangat mungkin akan menampilkan aktor-aktor baru setelah Novanto duduk di kursi pesakitan. Banyak oknum yang diduga menikmati kue 'mark up' proyek e-KTP, mulai dari unsur eksekutif, legislatif, hingga pihak swasta.
Dan, atas nama keadilan, KPK memang harus mengungkap siapa saja aktor berikutnya yang menyusul Novanto duduk di kursi pesakitan. Untuk itu, KPK tentu saja tak bisa berjuang sendiri. Karena untuk melawan musuh besar pendekar korupsi di negeri ini, juga membutuhkan energi besar. Kepedulian dan support publik untuk terus berada di samping dan belakang, bahkan di depan KPK, akan menjadi kekuatan besar untuk bersama-sama melumpuhkan para koruptor di negeri ini. Sampai kapan pun, semangat ‘musuh KPK sama dengan musuh rakyat’ harus tetap digelorakan. Karena selama manusia ada di bumi ini, maka ketidakpuasan, ketamakan dan kerakusan tetap menjadi kawan setia bagi mereka yang ingin memperkaya diri sendiri. *
---PROYEKSI 2018 Bidang HUKRIM
Hardinah Sistriani
----------------------------
Wartawan NusaBali
1
Komentar