Minim Prestasi, Sepakbola Indonesia Masih Sarat Kontroversi
Sepakbola Indonesia 2017 masih seperti yang dulu: Sarat kontroversi, minim prestasi. Lihat saja, ujung Kompetisi Liga 1 menyisakan ‘skandal’ pengurangan nilai Mitra Kukar dan penambahan poin bagi Bhayangkara FC.
Kontroversi pun mengiringi ‘klub polisi’ itu menjadi juara liga musim ini, sementara Bali United FC harus mengubur mimpi sebagaui kampiun. Kontroversi lainnya, Ketua Umum PSSI Edy Rahmayadi menghalangi beberapa pemain tim nasional ‘merumput’ di luar Indonesia. Pemain dituduh mata duitan dan tidak memiliki nasionalisme, hanya karena Indonesia bersiap menjadi tuan rumah Asian Games 2018.
Selain itu, juga tertundanya pembagian sisa subsidi kepada klub-klub peserta Liga 1 hingga menimbulkan pertanyaaan serius. PT Liga Indonesia Baru (LIB) dituding mangkir dari tanggung jawab. Edy Rahmayadi pun berjanji melunasinya pada Januari 2018 nanti.
Dari beberapa kontroversi itu sudah cukup untuk menilai, seperti apa PSSI. Pemangku otoritas sepakbola tanah air itu sepertinya juga belum keluar dari lagu lama. PSSI masih belum memiliki ‘pakem’ yang jelas, akan seperti apa merekonstruksi masa depan sepakbola di negeri yang memiliki penduduk sekitar 250 juta jiwa ini?
Diakui atau tidak, sepakbola Indonesia masih jadi alat politik atau euforia politik. Setiap pergantian pengurus baru, selalu bikin program baru, rencana baru, konsep baru, paradigma baru. Tapi, toh selalu patah di tengah jalan, lalu dilupakan. Para pengurus disibukkan oleh kepentingan dan ‘agendanya’ sendiri-sendiri.
Belum seumur jagung menjabat Ketua Umum PSSI, Edy Rahmayadi pun maju dalam Pilgub Sumatra Utara 2018. Edy Rahmayadi menggunakan ‘baju PSSI’ daripada ‘baju Pangkostrad’ untuk tampil di iklan televisi sebagai Calon Gubernur (Cagub) Sumut.
Memang, itu hak politik setiap warga negara. Namun, satu tugas belum tertata dan tertangani baik, rasanya tak elok meloncat merengkuh ambisi lain. Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga (Sesmenpora), Gatot S Dewa Broto. memberikan saran untuk Edy. “Kalau bisa, pilih salah satu saja, karena sepakbola rumit dan punya kompleksitas sendiri!”
Kontroversi di pengujung tahun ini seolah menyusul prestasi minim di sepanjang 2017. Edy gagal mencapai beberapa target yang ditetapkan. Timnas U-22 gagal meraih medali emas dalam SEA Games 2017. Hanya sukses Timnas U-16 yang lolos ke Piala Asia U-16 di Malaysia 2018, seolah ‘oase’ di padang gersang sepakbola Indonesia.
Sedangkan Timnas U-19 gagal memenuhi target juara di Piala AFF U-18. Lalu, ‘kandas’ di Kualifikasi Piala Asia U-19, meski tetap tampil di Piala Asia U-19 tahun depan, karena Indonesia bertindak selaku tuan rumah. Lalu, PSSI berharap pada Timnas U-22 yang ditangani pelatih asal Spanyol, Luis Milla Aspas. Reputasi Milla yang sukses membawa Spanyol juara Piala Eropa U-21, juga gagal di Kualifikasi Piala Asia U-23 pada 2018 dan gagal meraih medali emas di SEA Games 2017.
Memang tak ada event resmi bagi Timnas senior. Milla yang juga menangangi Timnas senior belum bisa berbuat banyak, karena baru tiga kali bertemu. Beberapa kali hasil coba pun belum maksimal.
Kini, Milla difokuskan menangangi Timnas Asian Games yang bermaterikan para pemain U-23 plus tiga pemain senior. Tim ini pun gagal juga dalam turnamen Tsunami Cup di Aceh, yang diikuti empat negara. Timnas ‘bayangan’ Asian Games gagal juara, setelah dikalahkan Kyrgyzstan 1-0 di laga terakhir.
Dapatlah dimengerti rentetan kegagalan dalam tahun pertama kepengurusan PSSI di bawah komando Edy Rahmayadi, bahwa membangun prestasi sepakbola tidaklah semudah membalik tangan. Butuh waktu, ada proses. Jangan terlalu pongah hanya dalam setahun bisa mengubah segalanya.
Tengok saja Jepang, butuh waktu sekitar 10 tahun hingga berprestasi (tampil di Piala Dunia), setelah memulai melakukan rekonstruksi seluruh elemen dan komponen sepakbolanya pada akhir dekade 1980-an. Pelatih dan pemain kelas dunia didatangkan meramaikan J League.
Tak kalah penting, ratusan pelatih terbaik mulai dari Brasil, Argentina, hingga Eropa didatangkan ke Jepang. Mereka ditugasi menyiapkan ribuan pemain muda dan anak-anak di sekolah-sekolah sepakbola. Federasi Sepakbola Jepang (JFA) hanya berperan sebagai ‘kolaborator’ berbagai potensi kekuatan. Mulai merangkul perusahaan di tiap-tiap kota/wilayah untuk menjadi sponsor ‘satu kota satu klub’, dengan reward keringanan pajak.
Lalu, dimulai darimana membangun sepakbola Indonesia? Bagaimana menghadapi event terdekat, Asian Games 2018 di Jakarta dan Palembang? Mampukah berprestasi, minimal memenuhi target PSSI tembus babak semifinal Asian Games 2018, sebagaimana yang direngkuh Herry Kisswanto pada Asian Games 1986?
Jawabannya, seperti dikatakan Luis Milla, setidaknya ada tiga syarat agar sepakbola Indonesia maju. Pertama, perlu kompetisi rutin dan berjenjang. Kedua, pemain harus berlatih dengan pelatih berkualitas. Ketiga, anak-anak Indonesia juga berhak bermain atau berlatih di lapangan bagus. Artinya, infrastruktur juga harus bagus.
Tiga hal, ya tiga hal yang sederhana itu, apakah dilakukan oleh PSSI? Apakah Ketua Umum PSSI dan seluruh jajarannya menjadi ‘kolaborator’ semua potensi untuk ketiga hal itu? *
Budi Harminto
----------------------------
Wartawan NusaBali
Komentar