Tiap Hari Dorong Gerobak Dagangan
Pekak (kakek) Jegur,85, asal Banjar Pinda, Desa Saba, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar, dikenal karena semangatnya yang pantang menyerah.
Pekak Jegur, Penjualan Soto Babi Keliling asal Saba
GIANYAR, NusaBali
Saat para lansia seusianya hanya bisa terbaring dalam kamar tidur, ayah dua anak ini setiap hari mendorong gerobak keliling untuk berjualan Soto Babi. Pekak Jegur keluar rumah mulai pukul 14.00 Wita, menuju utara ke wilayah Banjar Bonbiyu, Desa Saba, atau arah Desa Blahbatuh. Dia melakoni semua itu karena tuntutan hidup yang semakin tinggi. Terlebih istrinya, Ni Wayan Lami 75, buta dan sakit-sakitan.
Pekak Jegur punya dua anak, I Made Jendra,43, dan Ni Nyoman Sulandri,40, keduanya buruh harian lepas. Kondisi keluarganya pun semakin miris pasca anak pertamanya yang duda sejak 4 tahun lalu mengalami kecelakaan pada Desember 2017. Sementara anak keduanya, disibukkan dengan urusan rumah, dapur dan sanggah.
Ditemui di rumahnya, Rabu (10/1), Pekak Jegur mengaku baru saja pulang dari berobat. Pekak Jegur mengalami demam dan batuk setelah beberapa hari jualan selalu diguyur hujan. “Hari ini tumben saya libur, karena masih sakit kepala,” ujarnya.
Anak pertamanya masih dalam tahap penyembuhan pasca operasi pada kaki kiri, Pekak Jegur pun pergi ke dokter sendirian. “Saya biasa jalan kaki. Tadi mesuntik (berobat) juga jalan kaki,” terangnya. Meski begitu, Pekak Jegur merasa bersyukur masih bisa menikmati hidup. Sebab, teman sebayanya dominan menderita sakit dan tak sedikit yang telah tiada.
Pekak Jegur mengisahkan dirinya sudah mulai berjualan soto keliling sejak 1980an. Ketika itu, dia keliling berjualan hingga ke Pasar Blahbatuh bahkan Desa Sebatu, Tegallalang. “Dulu saya jual soto sate sapi. Sekarang, jual soto sate babi,” jelasnya.
Bermanajemen ‘dagang sate’, Pekak Jegur mengambil segala pekerjaan sendiri hingga menghitung hasil jualan pun sendiri. Dia berangkat pagi hari ke Pasar Sukawati untuk membeli daging dan bahan dagangan. Jika ada uang lebih, menyewa ojek Rp 10.000. Jika modalnya pas-pasan, terpaksa jalan kaki. “Sekali jualan, cuma habis 2 kg daging. Lebih dari itu sudah gak kuat,” jelasnya.
Sampai di rumah, Pekak Jegur pun mulai memasak bumbu soto dan menusuk daging untuk sate. Setelah siap, barulah sekitar pukul 14.00 Wita mendorong gerobaknya untuk berkeliling. Wilayah yang dilalui cukup singkat, hingga Banjar Bonbiyu, Saba. “Biasanya jualan sampai jam 8 malam. Sampai dirumah sekitar jam 9 malam, langsung bersih-bersih, mandi dan istirahat,” kenangnya. Baginya, lebih banyak beristirahat. “Semasih saya bisa, saya akan berusaha. Kalau toh nanti tenaga saya sudah habis. Ya istirahat,” jelasnya.
Untuk satu porsi Tipat Sate dan Soto Babi, biasa dijual Rp 10.000 - Rp 15.000. Dia sejatinya bercita-cita membuka warung, namun urung karena keterbatasan dana dan tenaga. “Sementara jalani ini dulu. Inginnya cari tempat buka warung, tapi tenaga kayaknya tidak memungkinkan,” terangnya. *nvi
GIANYAR, NusaBali
Saat para lansia seusianya hanya bisa terbaring dalam kamar tidur, ayah dua anak ini setiap hari mendorong gerobak keliling untuk berjualan Soto Babi. Pekak Jegur keluar rumah mulai pukul 14.00 Wita, menuju utara ke wilayah Banjar Bonbiyu, Desa Saba, atau arah Desa Blahbatuh. Dia melakoni semua itu karena tuntutan hidup yang semakin tinggi. Terlebih istrinya, Ni Wayan Lami 75, buta dan sakit-sakitan.
Pekak Jegur punya dua anak, I Made Jendra,43, dan Ni Nyoman Sulandri,40, keduanya buruh harian lepas. Kondisi keluarganya pun semakin miris pasca anak pertamanya yang duda sejak 4 tahun lalu mengalami kecelakaan pada Desember 2017. Sementara anak keduanya, disibukkan dengan urusan rumah, dapur dan sanggah.
Ditemui di rumahnya, Rabu (10/1), Pekak Jegur mengaku baru saja pulang dari berobat. Pekak Jegur mengalami demam dan batuk setelah beberapa hari jualan selalu diguyur hujan. “Hari ini tumben saya libur, karena masih sakit kepala,” ujarnya.
Anak pertamanya masih dalam tahap penyembuhan pasca operasi pada kaki kiri, Pekak Jegur pun pergi ke dokter sendirian. “Saya biasa jalan kaki. Tadi mesuntik (berobat) juga jalan kaki,” terangnya. Meski begitu, Pekak Jegur merasa bersyukur masih bisa menikmati hidup. Sebab, teman sebayanya dominan menderita sakit dan tak sedikit yang telah tiada.
Pekak Jegur mengisahkan dirinya sudah mulai berjualan soto keliling sejak 1980an. Ketika itu, dia keliling berjualan hingga ke Pasar Blahbatuh bahkan Desa Sebatu, Tegallalang. “Dulu saya jual soto sate sapi. Sekarang, jual soto sate babi,” jelasnya.
Bermanajemen ‘dagang sate’, Pekak Jegur mengambil segala pekerjaan sendiri hingga menghitung hasil jualan pun sendiri. Dia berangkat pagi hari ke Pasar Sukawati untuk membeli daging dan bahan dagangan. Jika ada uang lebih, menyewa ojek Rp 10.000. Jika modalnya pas-pasan, terpaksa jalan kaki. “Sekali jualan, cuma habis 2 kg daging. Lebih dari itu sudah gak kuat,” jelasnya.
Sampai di rumah, Pekak Jegur pun mulai memasak bumbu soto dan menusuk daging untuk sate. Setelah siap, barulah sekitar pukul 14.00 Wita mendorong gerobaknya untuk berkeliling. Wilayah yang dilalui cukup singkat, hingga Banjar Bonbiyu, Saba. “Biasanya jualan sampai jam 8 malam. Sampai dirumah sekitar jam 9 malam, langsung bersih-bersih, mandi dan istirahat,” kenangnya. Baginya, lebih banyak beristirahat. “Semasih saya bisa, saya akan berusaha. Kalau toh nanti tenaga saya sudah habis. Ya istirahat,” jelasnya.
Untuk satu porsi Tipat Sate dan Soto Babi, biasa dijual Rp 10.000 - Rp 15.000. Dia sejatinya bercita-cita membuka warung, namun urung karena keterbatasan dana dan tenaga. “Sementara jalani ini dulu. Inginnya cari tempat buka warung, tapi tenaga kayaknya tidak memungkinkan,” terangnya. *nvi
Komentar