Suasana Diri, Suasana Hati
Suasana hati atau diri (self atmosphere) amat krusial. Ia berkaitan dengan keadaan alam, cerah dan gundahnya amat terkait dengan lingkungan.
Suasana diri harus diciptakan, bukan menunggu untuk diciptakan. Krama Bali harus dapat menciptakan iklim yang kondusif, walau saat bencana menimpa. Hujan dan badai menderu, pohon dan tanah longsor, gunung sedang erupsi, tetapi suasana hati harus tetap terjaga. Interaksi sosial antarkrama, Hindu, Muslim, Buddha, Kristiani, dan lainnya harus optimal saling asah, asuh, dan asih. Dengan demikian suasana akan tercipta ‘adem ayem’, tak ada gejolak maupun kegelisahan.
Suasana diri bukan komponen fisik. Maksudnya suasana diri tidak bisa diukur dengan ukuran baku dan jelas. Suasana diri merupakan kualitas yang bisa dikenali dan dirasakan. Suasana diri kondusif akan menghasilkan proses transformasi produktif dan berkualitas. Ketika para pengungsi berada di penampungan, mereka harus memiliki kesabaran terhadap cobaan hidup. Kesabaran dibarengi dengan rasa ‘jengah’ kadang menghasilkan upaya tak terduga manfaatnya. Untuk itu, mereka harus melakukan langkah praktis, bukan bergantung pada dermawan saja. Metodenya dapat dipilih, misalnya, melakukan evaluasi terhadap unsur pendukung. Anak-anak sekolah harus aktif mengakses sumber belajar. Orang dewasa harus kreatif mencari solusi kehidupan yang serba kurang. Para dermawan juga harus memberikan kontribusi positif, tidak membelenggu kreativitas. Pemerintah tidak berhenti mengupayakan pendekatan dan metode yang efisien dan efektif menanggulangi krisis.
Dengan kesabaran dan kemauan akan lahir kemampuan secara intelektual, spiritual, dan emosional. Kemampuan ini dapat diaktualisasikan untuk menghasilkan inovasi yang dapat digunakan untuk menanggulangi bencana diri maupun keluarga. Kemampuan ini merupakan bentukan lain dari aktualisasi diri, komunikasi, dan kerja sama. Dengan kemampuan beraktualisasi diri, berkomunikasi dan bekerjasama akan melahirkan kemandirian dan otonomi dalam berinovasi. Kemandirian merupakan kemampuan untuk melakukan kegiatan yang baik dan produktif secara mandiri. Sedangkan, otonomi merupakan kedirian dalam melakukan kegiatan dengan berpedoman pada norma dan kaidah.
Kedirian lebih menekankan pada kepribadian atau karakater. Karakter merupakan disposisi sosio, emosional, dan psikologis. Karakter yang baik merupakan hasil upaya dalam mentransformasi kearifan lokal. Kearifan lokal itu sendiri berpusar antara norma, etika, dan moral budaya Bali maupun agama Hindu. Salah satu kearifan Hindu adalah pencarian dan penanaman kebenaran dan nilai positif. Menurut pemikiran para perenialis, bahwa beragama semestinya memberi pengetahuan tentang kesemestaan. Pengetahuan adalah kebenaran. Kebenaran seharusnya sama, tidak tergantung desa, kala atau patra. Dengan demikian, inti beragama adalah memberi pencerahan tentang kesemestaan, sekala maupun niskala. Menurut Hutchins bahwa kendala kehidupan dapat muncul apabila proporsi antara sekala dan niskala berat sebelah. Proporsi antara sekala dan niskala yang tak sebanding akan mendatangkan bencana. Misalnya, kalau sumber energi listrik dianggap penting, maka konsekuensi logisnya sumber-sumber energi harus ditambang. Kepentingan demikian kurang mengindahkan lingkungan niskala. Kalau laut direklamasi untuk kepentingan ekonomi semata, maka lingkungan asali akan terpinggirkan. Singkatnya, uang atau materi merupakan determinan munculnya prahara. *
Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
Komentar