Ketua KPU Buleleng Raih Gelar Doktor Kajian Budaya
Dinyatakan lulus dengan predikat sangat baik, Gede Suardana resmi sandang gelar Doktor ke-32 di Fakultas Ilmu Budaya Unud dan sekaligus sebagai Doktor ke-204 di Prodi Kajian Budaya
Kaji Komodifikasi Seni Pertunjukan Pariwisata Bali Agung-The Legend of Balinese Goddesses
DENPASAR, NusaBali
Di tengah kesibukannya sebagai Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Buleleng, Gede Suardana SPd Msi, 39, berhasil mempertahankan disertasinya untuk menyelesaikan program studi S3 Kajian Budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana. Mantan wartawan NusaBali ini berhak menyandang gelar Doktor usai ujian disertasi berjudul ‘Analisis Komodifikasi Seni Pertunjukan Pariwisata Bali Agung-The Legend of Balinese Goddesses’, yang digelar di Denpasar, Rabu (31/1).
Gede Suardana dinyatakan lulus dengan predikat sangat baik. Dia pun resmi sandang gelar Doktor ke-32 di Fakultas Ilmu Budaya Unud dan sekaligus sebagai Doktor ke-204 di Prodi Kajian Budaya.
Sidang promosi Doktor Promovendus Gede Suardana kemarin dipimpin Dekan Fakultas Ilmu Budaya Unud, Prof Dr Luh Sutjiati Beratha MA, dengan anggota Prof Dr I Nyoman Darma Putra MLitt, Prof Dr Nengah Bawa Atmadja MA, Dr Putu Sukardja MSi, Prof Dr I Wayan Ardika MA, Prof Dr AA Bagus Wirawan SU, Prof Dr I Nyoman Kutha Ratna SU, dan Dr I Gede Mudana MSi.
Dalam disertasinya, Promovendus Suardana mengungkap bahwa pertumbuhan pariwisata Bali memberikan pengaruh terhadap perkembangan seni dan tradisi budaya Bali. Perkembangan pariwisata yang semakin modern menyebabkan seni dan tradisi budaya Bali menjadi komoditas pariwisata, sebagai sebuah keniscayaan. Seni sakral tersebut kemudian dikelola oleh industri pariwisata menjadi seni pertunjukan pariwisata (staged culture).
Disertasi yang disajikan Suardana kemarin mengkaji komodifikasi seni pertunjukan pariwisata Bali Agung-The Legend of Balinese Goddesses di Bali Safari and Marine Park, Desa Lebih, Kecamatan Gianyar, untuk mengetahui proses komodifikasi seni pertunjukan pariwisata Bali Agung mulai dari proses produksi, distribusi dan konsumsi, hingga implikasinya terhadap pariwisata dan budaya Bali.
“Pelaku dan industri pariwisata, dalam hal ini kebun binatang Bali Safari and Marine Park, memanfaatkan seni dan tradisi budaya Bali sebagai komoditas pariwisata. Mitos sakral pernikahan Jayapangus dan Kang Cing We dijadikan sebagai inti cerita seni pertunjukan pariwisata yang bertajuk Bali Agung–The Legend of Balinese Goddesses,” ungkap komisioner KPU kelahiran Seririt, Buleleng, 5 Desember 1979 ini.
Suardana menambahkan, seni pertunjukan Bali Agung merupakan hasil kolaborasi seniman Bali Made Sidia dan seniman asal Asutralia, Peter J Wilson. Mereka melakukan komodifikasi mitos Jayapangus dan Kang Cing We dari bersifat sakral menjadi profan. Sebagai tokoh sakral, Jayapangus diyakini sebagai perwujudan Jro Gede yang berwajah seram dan berkulit hitam, sementara Kang Cing We sebagai perwujudan Jro Luh yang bermata sipit dan berkulit putih.
Kedua tokoh sakral ini dijadikan tokoh profan dalam wujud manusia yang bisa mengalami jatuh cinta atau asmara. Sementara tokoh Dewi Danu sebagai dewi kesuburan dan penguasa Danau Batur, dijadikan tokoh profan sebagai putri yang cantik, dengan tampilan agak seksi dan sensual.
Ada dua temuan dari hasil penelitian Suardana. Pertama, kolaborasi kedua seniman berhasil berhasil menciptakan seni pertunjukan modern, canggih, dan kolosal yang inti ceritanya bersumber dari mitos pernikahan Jayapangus dan Kang Cing We. Terciptanya seni pertunjukan pariwisata hybrid ini sebagai sebuah kenyataan bahwa pariwisata terbukti dapat memberikan arena kolaborasi kreativitas antara seniman Bali dan Barat, untuk menciptakan seni pertunjukan.
Sedangkan temuan kedua, kata Suardana, proses komodifikasi seni pertunjukan pariwisata Bali Agung-The Legend of Balinese Goddesses merupakan kegiatan kapitalisme yang mengubah mitos Jayapangus dan Kang Cing We yang bersifat sakral menjadi komoditas yang bisa dijual kepada wisatawan. Proses komodifikasi sebuah seni dan budaya tak hanya saja memiliki nilai jual, namun telah menyebabkan terjadinya desakralisasi mitos pernikahan Jayapangus dan Kang Cing We yang bersifat sakral menjadi mitos profan.
“Unsur-unsur mitos pernikahan Jayapangus dan Kang Cing We yang mengalami desakralisasi adalah cerita mitos, proses pembuatan mitos, penokohan, fungsi dan tujuan pementasan, waktu dan tempat pementasan, ritualisme pementasan, struktur pementasan, organisasi pendukung, daya magis, dan penonton,” imbuh putra dari pasangan Ketut Noja (almarhum) dan Ketut Muderanis ini.
Desakralisasi ini, kata Suardana, jangan sampai mengubah budaya Bali menjadi kepentingan pariwisata semata. Menurut Suardana, masyarakat Bali yang berprofesi di bidang seni dan pariwisata diharapkan lebih memperhatikan batasan seni wali, seni bebali, dan seni balih-balihan, supaya tidak menggunakan budaya Bali yang sakral dalam memproduksi seni pertunjukan pariwisata. Para seniman dan pelaku wisata diharapkan dapat mengemas kekayaan budaya Bali dan kekayaan seni pertunjukan Bali menjadi bagian dari seni pertunjukan pariwisata yang menguntungkan secara sosial kultural dan ekonomi.
Di sisi lain, pemerintah juga diharapkan lebih intens melakukan pengembangan sumber daya manusia (SDM) dengan memberikan pelatihan dan bimbingan kepada seniman dan pelaku industri pariwisata sehingga mampu menyelaraskan kehidupan budaya sakral dengan seni pertunjukan pariwisata. Termasuk bagi peneliti, agar mengkaji praktik-praktik komodifikasi budaya Bali yang dijadikan komoditas untuk kepentingan pariwisata dalam rangka memberikan pendidikan bagi seniman, pelaku industri pariwisata, serta memberikan konstribusi kemanfaatan bagi pariwisata Bali. *ind
Komentar