Krama Dharmajati Pertanyakan Status Tanah Adat
Ratusan krama Desa Pakraman Dharmajati, Desa Tukadmungga, Kecamatan Buleleng, turun ke areal Pantai Happy, Karena mereka mendengar Satpol PP meninjau dugaan pelanggaran sepadan pantai di lokasi tersebut, Selasa (6/1) pagi.
SINGARAJA, NusaBali
Masalahnya, lahan lokasi dugaan pelanggaran itu ada masih menjadi sengketa. Pihak krama mengklaim lahan itu adalah pelaba desa. Namun lahan itu justru sudah bersertifikat atas nama perseorangan. Pihak krama pun berharap Satpol PP dapat memberikan kejelasan soal status tanah tersebut. Informasinya, sengketa tanah pelaba desa itu telah berlangsung cukup lama. Peristiwa berawal ketika terbit sertifikat atas nama Wayan Angker, warga Kintamani, Bangli, yang mengklaim menguasai tanah pelaba desa seluas 13,5 are. Saat itu krama masih berusaha tenang, karena belum ada upaya klaim secara langsung.
Belakangan, saat Balai Wilayah Sungai (BWS) Bali Penida membangun krib penahan gelombang, Wayan Angker ikut membangun tembok pagar. Tembok pagar itu dibangun tepat diatas pondasi krib milik BWS. Pembangunan tembok itulah kembali memicu sengketa tersebut, karena lahan tersebut biasanya menjadi tempat melangsungkan upacara melasti.
Krama yang turun ke lokasi berharap Satpol PP dapat memberi kepastian status lahan tersebut. Namun sayangnya, Satpol PP tidak berani memberi kejelasan dan menyarankan agar dilakukan langkah-langkah mediasi terlebih dulu.
Kelian Desa Pakraman Dharmajati, Ketut Wicana mengatakan, tanah pelaba pura itu sebenarnya sudah dikuasai desa pakraman sejak lama. Tanah itu kini digunakan untuk kegiatan melasti. Lokasi melasti terpaksa dipindah, karena lahan pelaba pura yang berbatasan langsung dengan pantai banyak yang digerus abrasi. Belakangan saat terjadi pemagaran, hal itu pun memicu reaksi dari krama. “Awal masalahnya ini kan karena ada pemagaran yang lewati batas. Pemagarannya agak menjulur ke utara. Sehingga dari sana ada gerakan krama. Kami bersama perbekel mencoba mengondisikan jangan sampai timbul hal-hal yang negatif,” kata Wicana.
Wicana mengaku sudah berupaya melakukan mediasi beberapa kali. Namun tak kunjung menemukan titik temu. Alih-alih mengembalikan lahan pelaba pura, Wayan Angker disebut menawarkan tukar guling lahan. Desa pakraman ditawari lahan seluas enam are di sisi selatan desa. Kontan saja desa pakraman menolak. “Tujuan utama kami bukan itu (tukar guling lahan, Red). Tanah itu kami gunakan untuk melasti tiap tahun. Tidak ada lagi tempat melasti selain itu,” tegas Wicana.
Kabid Trantib Pol PP Buleleng Wayan Duala Arsayasa mengatakan pemerintah akan melakukan mediasi lebih dulu. Mediasi akan dilakukan oleh Camat Buleleng. Mediasi akan diperluas, melibatkan banyak pihak, sehingga masalah lebih klir. “Kami minta kepada kecamatan agar mediasi dengan mengundang Pertanahan, Dinas Perkimta, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas PU, dan BWS. Ini untuk menyinkronkan, masalah apa sebenarnya yang terjadi di sana. Kami sarankan, minggu ini sudah harus ada pertemuan lagi biar cepat klir,” kata Duala.*k19
Masalahnya, lahan lokasi dugaan pelanggaran itu ada masih menjadi sengketa. Pihak krama mengklaim lahan itu adalah pelaba desa. Namun lahan itu justru sudah bersertifikat atas nama perseorangan. Pihak krama pun berharap Satpol PP dapat memberikan kejelasan soal status tanah tersebut. Informasinya, sengketa tanah pelaba desa itu telah berlangsung cukup lama. Peristiwa berawal ketika terbit sertifikat atas nama Wayan Angker, warga Kintamani, Bangli, yang mengklaim menguasai tanah pelaba desa seluas 13,5 are. Saat itu krama masih berusaha tenang, karena belum ada upaya klaim secara langsung.
Belakangan, saat Balai Wilayah Sungai (BWS) Bali Penida membangun krib penahan gelombang, Wayan Angker ikut membangun tembok pagar. Tembok pagar itu dibangun tepat diatas pondasi krib milik BWS. Pembangunan tembok itulah kembali memicu sengketa tersebut, karena lahan tersebut biasanya menjadi tempat melangsungkan upacara melasti.
Krama yang turun ke lokasi berharap Satpol PP dapat memberi kepastian status lahan tersebut. Namun sayangnya, Satpol PP tidak berani memberi kejelasan dan menyarankan agar dilakukan langkah-langkah mediasi terlebih dulu.
Kelian Desa Pakraman Dharmajati, Ketut Wicana mengatakan, tanah pelaba pura itu sebenarnya sudah dikuasai desa pakraman sejak lama. Tanah itu kini digunakan untuk kegiatan melasti. Lokasi melasti terpaksa dipindah, karena lahan pelaba pura yang berbatasan langsung dengan pantai banyak yang digerus abrasi. Belakangan saat terjadi pemagaran, hal itu pun memicu reaksi dari krama. “Awal masalahnya ini kan karena ada pemagaran yang lewati batas. Pemagarannya agak menjulur ke utara. Sehingga dari sana ada gerakan krama. Kami bersama perbekel mencoba mengondisikan jangan sampai timbul hal-hal yang negatif,” kata Wicana.
Wicana mengaku sudah berupaya melakukan mediasi beberapa kali. Namun tak kunjung menemukan titik temu. Alih-alih mengembalikan lahan pelaba pura, Wayan Angker disebut menawarkan tukar guling lahan. Desa pakraman ditawari lahan seluas enam are di sisi selatan desa. Kontan saja desa pakraman menolak. “Tujuan utama kami bukan itu (tukar guling lahan, Red). Tanah itu kami gunakan untuk melasti tiap tahun. Tidak ada lagi tempat melasti selain itu,” tegas Wicana.
Kabid Trantib Pol PP Buleleng Wayan Duala Arsayasa mengatakan pemerintah akan melakukan mediasi lebih dulu. Mediasi akan dilakukan oleh Camat Buleleng. Mediasi akan diperluas, melibatkan banyak pihak, sehingga masalah lebih klir. “Kami minta kepada kecamatan agar mediasi dengan mengundang Pertanahan, Dinas Perkimta, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas PU, dan BWS. Ini untuk menyinkronkan, masalah apa sebenarnya yang terjadi di sana. Kami sarankan, minggu ini sudah harus ada pertemuan lagi biar cepat klir,” kata Duala.*k19
1
Komentar