Dewan Serap Aspirasi Bendesa Adat Se-Badung
Guna menyempurnakan Ranperda Pemberdayaan Desa Adat, DPRD Badung melakukan serap aspirasi bendesa adat se-Badung, Senin (12/2), di gedung dewan setempat.
MANGUPURA, NusaBali
Acara yang dipimpin Wakil Ketua II DPRD Badung I Made Sunarta tersebut dihadiri Ketua Pansus I Made Retha beserta anggota pansus, Kadis Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Putu Gede Sridana, Sekwan Badung I Nyoman Predangga, sejumlah akademisi dari Universitas Warmadewa serta bendesa adat se-Badung.
Made Sunarta mengatakan, selama ini banyak hambatan yang dialami desa adat baik di bidang sosial maupun pembangunan. Untuk itu, Dewan Badung memandang eksistensi dan kelestarian desa adat perlu dilakukan melalui Perda. “Untuk itulah, kami memohon masukan demi menyempurnakan ranperda tersebut. Kami di dewan kan tidak bisa melihat seluruh permasalahan, jadi mengundang seluruh bendesa adat untuk diserap aspirasinya,” ujarnya.
Retha didampingi I Nyoman Oka Widianta mengatakan, penyusunan Ranperda Pemberdayaan Desa Adat dilakukan agar eksistensi desa adat di Badung dapat dipertahankan. “Pada intinya kami ingin memperkuat desa adat. Bagaimana menciptakan peluang bagi masyarakat desa adat baik mengenai pengusaha maupun penyerapan tenaga kerja,” jelasnya.
Retha mengatakan, banyak kasus yang terjadi berkaitan dengan desa adat, seolah-olah desa adat tidak berdaya. Jika tidak dibuatkan regulasi, katanya desa adat akan terkikis perlahan-lahan di era modernisasi. “Inilah salah satu komitmen kami untuk menjaga. Desa adat sangat penting untuk diselamatkan. Setiap desa pasti ada permasalahannya, dan permasalahannya tidak sama. Maka dari itu permasalahan tersebut akan kami tuangkan ke perda,” ungkapnya.
Bendesa Adat Pererenan Ketut Sukrasena menginginkan adanya pengakuan dan eksistensi terhadap desa adat. Dia mempertanyakan, apakah desa adat memiliki kedudukan yang sama dengan desa dinas? Selama ini, katanya, awig-awig yang dibuat oleh desa adat terabaikan. “Kami inginkan namanya agar Perda Desa Adat saja. Pemberdayaannya akan ada di dalamnya yaitu Tri Hita Karana,” ujarnya.
Sependapat dengan Sukrasena, Bendesa Adat Canggu Nyoman Sujapa, menyatakan tidak adanya sinkronisasi antara pemegang kebijakan dan penegak hukum. Sehingga awig-awig atau pararem yang dibuat desa adat menjadi tidak berguna. “Kami mengharapkan perda tersebut segera disahkan agar kami memiliki pedoman dalam membuat awig-awig,” tandasnya.
Bendesa Adat Kutuh Made Wena mempertanyakan acuan yang digunakan untuk membuat Ranperda Pemberdayaan Desa Adat tersebut. “Acuan yang digunakan yang mana? Apakah UU No 6 Tahun 2014? Ini harus jelas, jangan sampai menggunakan acuan hukum yang tidak jelas. Jika ada waktu, mohon pemerintah membuatkan fokus grup diskusi untuk mempertajam,” imbuhnya. Dia mengusulkan nama Ranperda menjadi Ranperda Pengakuan dan Penghormatan Desa Adat. *asa
Made Sunarta mengatakan, selama ini banyak hambatan yang dialami desa adat baik di bidang sosial maupun pembangunan. Untuk itu, Dewan Badung memandang eksistensi dan kelestarian desa adat perlu dilakukan melalui Perda. “Untuk itulah, kami memohon masukan demi menyempurnakan ranperda tersebut. Kami di dewan kan tidak bisa melihat seluruh permasalahan, jadi mengundang seluruh bendesa adat untuk diserap aspirasinya,” ujarnya.
Retha didampingi I Nyoman Oka Widianta mengatakan, penyusunan Ranperda Pemberdayaan Desa Adat dilakukan agar eksistensi desa adat di Badung dapat dipertahankan. “Pada intinya kami ingin memperkuat desa adat. Bagaimana menciptakan peluang bagi masyarakat desa adat baik mengenai pengusaha maupun penyerapan tenaga kerja,” jelasnya.
Retha mengatakan, banyak kasus yang terjadi berkaitan dengan desa adat, seolah-olah desa adat tidak berdaya. Jika tidak dibuatkan regulasi, katanya desa adat akan terkikis perlahan-lahan di era modernisasi. “Inilah salah satu komitmen kami untuk menjaga. Desa adat sangat penting untuk diselamatkan. Setiap desa pasti ada permasalahannya, dan permasalahannya tidak sama. Maka dari itu permasalahan tersebut akan kami tuangkan ke perda,” ungkapnya.
Bendesa Adat Pererenan Ketut Sukrasena menginginkan adanya pengakuan dan eksistensi terhadap desa adat. Dia mempertanyakan, apakah desa adat memiliki kedudukan yang sama dengan desa dinas? Selama ini, katanya, awig-awig yang dibuat oleh desa adat terabaikan. “Kami inginkan namanya agar Perda Desa Adat saja. Pemberdayaannya akan ada di dalamnya yaitu Tri Hita Karana,” ujarnya.
Sependapat dengan Sukrasena, Bendesa Adat Canggu Nyoman Sujapa, menyatakan tidak adanya sinkronisasi antara pemegang kebijakan dan penegak hukum. Sehingga awig-awig atau pararem yang dibuat desa adat menjadi tidak berguna. “Kami mengharapkan perda tersebut segera disahkan agar kami memiliki pedoman dalam membuat awig-awig,” tandasnya.
Bendesa Adat Kutuh Made Wena mempertanyakan acuan yang digunakan untuk membuat Ranperda Pemberdayaan Desa Adat tersebut. “Acuan yang digunakan yang mana? Apakah UU No 6 Tahun 2014? Ini harus jelas, jangan sampai menggunakan acuan hukum yang tidak jelas. Jika ada waktu, mohon pemerintah membuatkan fokus grup diskusi untuk mempertajam,” imbuhnya. Dia mengusulkan nama Ranperda menjadi Ranperda Pengakuan dan Penghormatan Desa Adat. *asa
1
Komentar