Biarkan KPK Bekerja, Tak Perlu Revisi UU
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) absen dalam rapat dengar pendapat dengan Badan Legislasi DPR, Kamis (4/2/2016). Sedianya, dalam rapat tersebut, Baleg ingin mendapatkan masukan dari KPK terkait revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Revisi Undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terlihat sebagai usaha untuk memperlemah KPK. Pasalnya hingga saat ini, belum ada naskah akademik dalam revisi itu.
Staf Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW), Lalola Easter, memandang naskah akademik itu adalah syarat wajib dalam revisi undang-undang.
"Pertama yang harus ditanya, ada atau tidak naskah akademik revisi UU KPK, karena naskah akademik itu sifatnya mandatory atau wajib. Sampai sejauh ini saya belum melihat ada naskah akademik. Jangan-jangan ini ada inisiatif entah dari siapa yang ingin melemahkan KPK," ujarnya. Meski tidak ada sanksi yang ketat terkait naskah akademik, namun hal itu telah diamanatkan oleh UU No. 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Pembahasan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi masih menuai penolakan dari Fraksi Gerindra.
Namun, Badan Legislasi DPR tetap menggelar rapat dengar pendapat untuk membahas revisi UU, Kamis (4/2/2016) siang, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, dengan mengundang Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Ketua Fraksi Gerindra Ahmad Muzani mengatakan, sejak awal fraksinya telah menolak rencana revisi UU tersebut.
Ia khawatir revisi yang akan dilakukan justru akan melemahkan keberadaan lembaga antirasuah tersebut.
"Sejak periode sebelumnya hingga saat ini, kita konsisten menolak upaya revisi UU KPK," kata Muzani di Kompleks Parlemen, Kamis (4/2/2016).
"Kami akan tetap mengatakan “tidak” secara terus menerus, sampai kami habis kekuatan dan energi," lanjut dia.
Ada empat poin usulan di dalam revisi UU KPK, yaitu wewenang penyadapan, pembentukan dewan pengawas, wewenang menerbitkan SP3 dan mekanisme pengangkatan penyidik independen. Keempat poin itu dianggap akan memperkuat fungsi dan wewenang KPK jika direvisi. Namun, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Edhie Prabowo mengatakan, belum ada jaminan keempat poin itu direvisi justru akan memperkuat KPK.
"Daripada nanti berspekulasi memperkuat tetapi setelah direvisi tahunya nanti memperlemah siapa yang jamin? Maka dari itu sebaiknya jangan berspekulasi," kata Edhie.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mempertanyakan urgensi DPR untuk merevisi UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurut ICW, revisi UU KPK tidak diperlukan karena undang-undang yang sudah ada dinilai cukup mengoptimalkan kerja KPK sebagai sebuah lembaga independen pemberantas korupsi.
“Memang ada kekurangan di UU KPK, tapi tidak terlalu signifikan. KPK masih bisa bekerja secara optimal. Rasanya tidak perlu ada revisi," ujar Divisi Hukum dan Monitoring Pengadilan ICW Lalola Easter di Jakarta, Selasa (2/2/2016).
Lalola mengungkapkan ada peraturan perundang-undangan yang lebih penting untuk dibahas oleh DPR daripada UU KPK. Misalnya, rancangan revisi KUHP dan KUHAP masih menjadi perkerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh badan legislatif.
Laola pun menduga hal-hal yang akan direvisi di UU KPK juga akan diatur di RUU KUHP dan KUHAP.
"Ada peraturan hukum yang lebih general belum selesai dibahas di DPR. Kita punya RUU KUHP dan KUHAP. Bahkan pembahasannya mandeg. Kenapa harus kerja dua kali? Kan ada sistematika yang harus dijalankan. Kenapa harus buru-buru mengejar revisi UU KPK?" katanya.
Dia mencurigai ada pihak-pihak tertentu yang berdalih memperkuat KPK, tapi justru malah melemahkan. Tercatat sejak KPK berdiri, sudah ada 87 anggota legislatif yang terjerat kasus korupsi.
Selanjutnya...
Komentar