Biarkan KPK Bekerja, Tak Perlu Revisi UU
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) absen dalam rapat dengar pendapat dengan Badan Legislasi DPR, Kamis (4/2/2016). Sedianya, dalam rapat tersebut, Baleg ingin mendapatkan masukan dari KPK terkait revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
"Menurut saya, sebaiknya jangan terburu-buru merevisi UU KPK jika ingin memperkuat. KPK baru pulih dari kritis, kondisinya tidak cocok untuk melakukan revisi. Apalagi sekarang anggotanya baru. Beri waktu untuk bernapas. Undang-undang yang sekarang sudah cukup optimal," ungkap Lalola.
Mengapa masih pro dan kontra? DPR RI tak mengizinkan KPK mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri. Penyidik dan penyelidik KPK nantinya harus diangkat dari Kepolisian dan Kejaksaan.
Hal tersebut diketahui dari draf RUU KPK yang dibahas dalam rapat harmonisasi Badan Legislasi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (1/2/2016).
Hadir dalam kesempatan itu, anggota Fraksi PDIP Risa Mariska dan Ichsan Soelistyo sebagai perwakilan pengusul. Pasal 43 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang KPK yang mengizinkan KPK mengangkat dan memberhentikan penyelidik sendiri, diganti oleh DPR.
Pasal 43 dalam draf RUU KPK kini berbunyi:
(1) Penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan penyelidik yang diperbantukan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia selama menjadi pegwai pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2) Penyelidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi atas usulan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Selain itu, DPR juga mengubah Pasal 45 yang mengizinkan KPK mengangkat dan memberhentikan penyidik sendiri. Pasal 45 dalam draft RUU KPK kini berbunyi:
(1) Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan penyidik yang diperbantukan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi atas usulan Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Kejaksaan Republik Indonesia.
Risa Mariska sebagi perwakilan pengusul beralasan, penyelidik dan penyidik KPK harus diperbantukan dari Kepolisian dan kejaksaan demi meningkatkan koordinasi antar ketiga lembaga penegak hukum.
"Kita ingin membangun sinergitas antar lembaga penegakan hukum," ujarnya.
Bagaimana komentar masyarakat ? Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Djayadi Hanan mengatakan, cukup banyak masyarakat yang mengetahui DPR berencana merevisi Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Berdasarkan survei SMRC, sebanyak 61 persen responden menilai revisi UU KPK merupakan upaya untuk melemahkan KPK.
"Mayoritas menganggap revisi UU KPK melemahkan KPK. Masyarakat mempersepsi revisi sebagai sesuatu yang negatif," ujar Djayadi.
Dikatakan, masyarakat berpikir semestinya lembaga antikorupsi itu diperkuat. Sementara 29 persen responden menyatakan revisi UU KPK adalah upaya untuk memperkuat KPK.
Sisanya, sebanyak 10 persen responden menjawab tidak tahu.
Publik pun ternyata cukup memantau wacana isu revisi UU KPK ini, terutama soal penghapusan kewenangan penyadapan.
"Sangat tinggi, masyarakat bilang penghapusan penyadapan tidak boleh. Ada 86 persen tidak setuju dengan upaya itu," kata Djayadi.
Begitu juga dengan wacana penghapusan kewenangan penuntutan. Bagi masyarakat, kata Djayadi, hal tersebut justru membuat korupsi akan berkembang semakin banyak.
"Sebanyak 88 persen responden menjawab tidak setuju kewenangan penuntutan KPK dihapuskan. Lalu 9 persen tidak setuju dan 3 persen tidak tahu," kata Djayadi.
Survei SMRC dilakukan pada Desember 2015. Responden sebanyak 1.220 orang dipilih secara random dari seluruh warga Indonesia berusia di atas 17 tahun. Sementara margin of error dari survei ini sebesar 3,2 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. 7 beragam sumber
Komentar