Dinamika Seka
Semula ia disebut sekeha, ada yang menuliskannya sekaha. Banyak yang menulisnya sekaa.
Sekarang istilah yang bersumber dari bahasa Bali ini sudah menjadi kata serapan dalam bahasa Indonesia, dan ditulis seka. Orang Bali tentu tak begitu peduli ditulis sekeha, sekaa atau seka. Mereka tahunya seka itu berarti kelompok.
Bali memang tak bisa lepas dari kelompok, karena dinamika Bali adalah dinamika seka. Hampir semua kegiatan orang Bali yang menyangkut tradisi dan keagamaan, pasti melibatkan banyak orang, pasti melibatkan seka. Bali tanpa seka tak akan bisa bergerak, bakal macet. Jika hendak menggerakkan Bali, seka harus digerakkan. Di mana muncul gerakan, di situ seka berperan.
Tentu ada seka dengan anggota beberapa orang, ada yang belasan, muncul pula seka dengan anggota puluhan. Banyak dinamika kelompok orang Bali yang tidak tergantung pada banyaknya jumlah anggota. Seka dengan anggota belasan orang justru lebih dinamis dibanding yang anggotanya puluhan. Belum pernah ada yang meneliti berapa jumlah anggota seka yang ideal, paling efektif, dan paling dinamis.
Dulu, di zaman orang-orang Bali hidup dari bercocok tanam, anggota seka manyi (penuai padi) cuma belasan orang, tapi mereka bergerak dinamis. Seka-seka seni anggotanya juga tidak besar, belasan orang, namun menyodorkan seni bermutu. Jika mereka hendak menyuguhkan pertunjukan dengan pregina (penari) lebih banyak, mereka akan bergabung dengan seka-seka lain. Penggabungan ini untuk suatu saat saja, tidak untuk seterusnya.
Karena anggota-anggota seka sedikit, mereka bisa solid, akrab, dan saling merasakan nasib satu sama lain. Mereka jadi militan. Kekerabatan menjadi ciri seka. Dan sejarah seka-seka membuktikan, seka memang dimulai oleh beberapa orang. Tak pernah terjadi seka dimulai dengan puluhan atau ratusan anggota. Seka penuai padi, seka seni pertunjukan, seni karawitan, adalah kelompok-kelompok kecil. Tapi mereka liat dan padat.
Anggota seka dengan anggota belasan ini juga masih terjadi belakangan. Dua puluh tahun silam, belasan mahasiswa seni rupa di ISI Denpasr membentuk kelompok Galang Kangin. Mereka sesungguhnya membentuk seka. Mereka berinteraksi dalam seka, berpameran bersama. Minggu 25 Februari 2018 lalu mereka mengulang kembali berpameran bersama, kali ini di Museum Neka, Ubud. Mereka membuktikan, setelah 20 tahun bersama, mereka tetap liat, dan berperan dalam dinamika seni rupa Bali. Mereka juga meluncurkan buku yang memuat dinamika mereka sebagai perupa selama 20 tahun. Ada sejumlah tulisan tentang kritik, laporan pers, dimuat di buku bertajuk ‘Becoming, 20 Tahun Galang Kangin’ itu.
Ini buku menarik, karena bisa menjadi petunjuk Bali sesungguhnya mengenal dinamika seka dalam kehidupan berkesenian di zaman modern. Tentu tidak berlebihan jika kemudian ada yang berkomentar, yang menunjang dinamika Bali itu justru sangat ditentukan oleh seka. Tanpa seka Bali tak sanggup beranjak banyak. Tanpa seka Bali itu lesu. Kehidupan seka itulah yang membuat Bali selalu bersemangat dan menggeliat.
Dinamika banjar adalah dinamika seka. Orang Bali yang diajak berkelompok digolongkan sebagai sosok yang diajak maseka. Seseorang yang karena ulah dan tingkahnya buruk dalam kelompok digolongkan sebagai merusak seka. Yang dikucilkan disebut ‘jangan diajak maseka’. Maka seka menjadi sangat penting, ibarat hakikat hidup. Saking pentingnya, dinamika seka ini kemudian diadopsi untuk tujuan-tujuan kehidupan modern, misalnya untuk tujuan ekonomi.
Koperasi-koperasi yang tumbuh dan berkembang di Bali sesungguhnya memanfaatkan konsep dinamika seka ini. Jika kemudian banyak koperasi yang ambruk, muncul pertanyaan, begitu bagus dan mulia konsep seka, mengapa tidak sukses ketika diterapkan dalam lembaga koperasi? Ada pendapat, seka itu untuk jumlah anggota yang sedikit. Seka ditengarai tidak sanggup menampung anggota ratusan orang.
Pantas jika muncul pendapat, orang Bali itu cuma mampu dan hebat mengurus yang kecil-kecil. Seka mereka kecil. Begitu diberi kesempatan mengurus yang besar, mereka terkapar. Karena itu tak ada kegiatan ekonomi berskala besar sanggup dikerjakan oleh seka. Tapi kenyataan membuktikan, kini banyak kegiatan kepariwisataan yang dikelola desa, dan itu berarti diurus oleh seka. Dinamika ini dikenal sebagai ‘pariwisata berbasis masyarakat model Bali’, seperti dilakukan oleh Desa Kutuh yang mengurus Pantai Pandawa, objek wisata Ceking di Desa Tegalalang, Gianyar, atau pengelolaan Pantai Kedonganan dan Pecatu di Badung. Benar kalau begitu, kekuatan Bali itu terletak pada dinamika seka. Maka menjaga Bali harus dimulai dari menjaga seka. *
Aryantha Soethama
Pengarang
1
Komentar