Brainware Leadership
BALI kini akan memilih pemimpin yang handal di masa depan. Pemilihan tersebut sebagai gubernur dan wakil gubernur Provinsi Bali.
Di samping itu, pemilihan juga dilakukan untuk bupati dan wakilnya di kabupaten/kota di Bali. Kepemimpinan seperti apa yang dibutuhkan untuk membawa Bali yang aman, nyaman, dan sejahtera? Banyak usulan krama Bali tentang figur yang cocok. Secara normatif, ada yang mengusulkan kepemimpinan yang selaras dengan Hasta Brata. Ada pula yang berpendapat, kepemimpinan yang demokratis terpimpin, bukan liberal. Masih ada usul lainnya, yaitu, pemimpin yang melestarikan adat dan budaya Bali, dan seterusnya.
Taufik Bahaudin (2007) menyebut kepemimpinan yang paling cocok adalah ‘brainware leadership’. Kepemimpinan ini mencirikan suatu kepemimpinan abad otak dan milenium pikiran. Ia menengara, teori organisasi klasik, neoklasik, modern sekalipun tidak akan bisa menyelesaikan masalah-masalah Bali di zaman now, yang amat kompleks dan kait mengait satu masalah dengan lainnya. Pemimpin Bali terdahulu sudah baik, namun dibutuhkan kepemimpinan yang lebih baik dari yang pernah ada atau yang akan digantikan. Sederhananya, kepemimpinan pasca–modern diyakini akan dapat menguak masalah-masalah terkini yang dihadapi Bali. Bukan masalah orang atau figur, dari mana sosok itu diusulkan, tetapi lebih menjurus pada kepemimpinan yang berlandaskan otak, yang dapat menjelaskan fenomena keberhasilan dalam menatakelola kebudayaan Bali.
Kepemimpinan berlandaskan otak dan milenium pikiran lebih menukik pada perpaduan dan sinergi antara nalar, naluri, dan nurani. Nalar sangat diperlukan, karena didasarkan atas tujuh kecerdasan dasar, yaitu, kecerdasan intelektual, emosional, sosial, personal, ekologis, adversitas, dan spiritual. Naluri merupakan insting yang bersifat refleksif untuk selalu berbuat kebajikan dan kebijakan yang benar dan baik. Naluri demikian tidak berkondisi apapun, melainkan spontan. Sedangkan, nurani merupakan kompetensi berkesadaran (conscious competence). Kesadaran ini membawa pikiran kepada sifat tantangan eksternal yang kompleks dan harus diatasi dengan sungguh. Ketika tantangan tersebut belum atau tidak bisa diatasi, maka ia tidak mencari kambing hitam.
Kalau diandaikan organisasi pemerintahan sebagai bisnis, maka otak menciptakan bisnis keamanan, kenyamanan, dan kesejahteraan, brain breeds security, serenity and prosperity. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa otak emosional memiliki kecerdasan dan peran sentral dalam menentukan kualitas kehidupan. Otak bersifat dinamis, berkembang, dan menyesuaikan dengan lingkungan. Inilah yang disebut dengan kelenturan otak, brain plasticity. Seorang pemimpin tidak boleh stagnan dalam berpikir, walau ia sudah amat berhasil dalam kepemimpinannya. Dengan kelenturan tersebut, ia melakukan transformasi dengan berbagai cara atau pendekatan. Zaman now diistilahkan keren, yaitu, abad kehebatan otak dan milenium pikiran, century of brain and millennium of mind.
Profesor Howard Gardner dari Harvard University menemukan keberadaan sekitar 200 cara untuk menjadi cerdas. Hasil penelitian ini menginspirasi ada 200 cara atau prosedur atau langkah untuk berbuat cerdas. Kecerdasan merupakan kiat cerdik untuk mengupayakan keamanan, kenyamanan, dan kesejahteraan. Kalau satu atau dua cara belum menghasilkan, maka masih tersisa seratus sembilan puluh delapan (198) cara lain yang perlu dicoba. Kecerdikan ini menggambarkan kegesitan, kegigihan maupun kesungguhan untuk berusaha. Bisnis tidak akan maju kalau hanya ditonton dan dikeluhkan saja. Ia akan produktif apabila diupayakan dengan strategi transformasi yang adaptif, kreatif, dan menyenangkan, seperti pembelajaran hidup. Adakah pemimpin seperti itu di masa depan, yang siap membawa keamanan, kenyamanan, dan kesejahteraan Bali ? Semoga. *
Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
Taufik Bahaudin (2007) menyebut kepemimpinan yang paling cocok adalah ‘brainware leadership’. Kepemimpinan ini mencirikan suatu kepemimpinan abad otak dan milenium pikiran. Ia menengara, teori organisasi klasik, neoklasik, modern sekalipun tidak akan bisa menyelesaikan masalah-masalah Bali di zaman now, yang amat kompleks dan kait mengait satu masalah dengan lainnya. Pemimpin Bali terdahulu sudah baik, namun dibutuhkan kepemimpinan yang lebih baik dari yang pernah ada atau yang akan digantikan. Sederhananya, kepemimpinan pasca–modern diyakini akan dapat menguak masalah-masalah terkini yang dihadapi Bali. Bukan masalah orang atau figur, dari mana sosok itu diusulkan, tetapi lebih menjurus pada kepemimpinan yang berlandaskan otak, yang dapat menjelaskan fenomena keberhasilan dalam menatakelola kebudayaan Bali.
Kepemimpinan berlandaskan otak dan milenium pikiran lebih menukik pada perpaduan dan sinergi antara nalar, naluri, dan nurani. Nalar sangat diperlukan, karena didasarkan atas tujuh kecerdasan dasar, yaitu, kecerdasan intelektual, emosional, sosial, personal, ekologis, adversitas, dan spiritual. Naluri merupakan insting yang bersifat refleksif untuk selalu berbuat kebajikan dan kebijakan yang benar dan baik. Naluri demikian tidak berkondisi apapun, melainkan spontan. Sedangkan, nurani merupakan kompetensi berkesadaran (conscious competence). Kesadaran ini membawa pikiran kepada sifat tantangan eksternal yang kompleks dan harus diatasi dengan sungguh. Ketika tantangan tersebut belum atau tidak bisa diatasi, maka ia tidak mencari kambing hitam.
Kalau diandaikan organisasi pemerintahan sebagai bisnis, maka otak menciptakan bisnis keamanan, kenyamanan, dan kesejahteraan, brain breeds security, serenity and prosperity. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa otak emosional memiliki kecerdasan dan peran sentral dalam menentukan kualitas kehidupan. Otak bersifat dinamis, berkembang, dan menyesuaikan dengan lingkungan. Inilah yang disebut dengan kelenturan otak, brain plasticity. Seorang pemimpin tidak boleh stagnan dalam berpikir, walau ia sudah amat berhasil dalam kepemimpinannya. Dengan kelenturan tersebut, ia melakukan transformasi dengan berbagai cara atau pendekatan. Zaman now diistilahkan keren, yaitu, abad kehebatan otak dan milenium pikiran, century of brain and millennium of mind.
Profesor Howard Gardner dari Harvard University menemukan keberadaan sekitar 200 cara untuk menjadi cerdas. Hasil penelitian ini menginspirasi ada 200 cara atau prosedur atau langkah untuk berbuat cerdas. Kecerdasan merupakan kiat cerdik untuk mengupayakan keamanan, kenyamanan, dan kesejahteraan. Kalau satu atau dua cara belum menghasilkan, maka masih tersisa seratus sembilan puluh delapan (198) cara lain yang perlu dicoba. Kecerdikan ini menggambarkan kegesitan, kegigihan maupun kesungguhan untuk berusaha. Bisnis tidak akan maju kalau hanya ditonton dan dikeluhkan saja. Ia akan produktif apabila diupayakan dengan strategi transformasi yang adaptif, kreatif, dan menyenangkan, seperti pembelajaran hidup. Adakah pemimpin seperti itu di masa depan, yang siap membawa keamanan, kenyamanan, dan kesejahteraan Bali ? Semoga. *
Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
Komentar