Semarak Jelang Nyepi dari Merawat Gunung, Hutan, hingga Laut
Tawur Agung Kesanga selalu dilaksanakan bersama-sama oleh umat Hindu Jogjakarta dan Jawa Tengah di Candi Perambanan. Namun, panitia pelaksananya digilir dimana untuk tahun genap dihandle Jawa Tengah dan tahun ganjil diambil Jogjakarta
Melongok Kehidupan Umat Hindu di Jogjakarta Jelang Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1940
WAKTU telah menunjukkan pukul 21.00 WIB saat NusaBali sampai di Pura Jagatnatha Banguntapan yang terletak di Jalan Pura Nomor 370 Desa Plumbon, Kecamatan Banguntapan, Bantul, DI Jogjakarta, Kamis (8/3). Malam itu, sejumlah krama Hindu tampak masih berdiskusi di madya mandala pura. Di bagian lain pura, beberapa anak muda dari kalangan mahasiswa Hindu juga sedang berkumpul.
“Silakan Pak, kebetulan ini baru saja selesai rapat persiapan Parade Budaya dan Melasti jelang Hari Raya Nyepi,” ujar Ketua Panitia Perayaan Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1940 Provinsi DI Jogjakarta, Mayor (Sus) I Komang Kesuma, sembari mempersilakan NusaBali duduk.
Ditemani Sekretaris PHDI Jogjakarta, Wayan Ordiyasa, Komang Kesuma menjelaskan bahwa rangkaian perayaan Hari Raya Nyepi di Jogjakarta sudah dimulai sejak Januari 2018 lalu. “Nyepi kali ini konsepnya merawat hutan (Wanakerti), gunung (Girikerti), hingga merawat laut dengan upacara Melasti,” jelas Komang Kusuma.
Untuk ritual Wanakerti, kata dia, telah dilaksanakan di Hutan Wonosadi, Kabupaten Gunungkidul, Jogjakarta, 18 Februari 2018 lalu. Di sini tak hanya ritual (niskala), tapi juga dilakukan penanaman pohon dan melepas berbagai jenis burung (merawat hutan secara sekala).
Sedankan ritual Girikerti (sejenis ritual mulang pakelem) telah dilakukan di Gu-nung Merapi, 4 Maret 2018 lalu, dengan ngelarung beberapa jenis hewan ke dalam kawah. “Kami juga menanam pohon di hutan kawasan Gunung Merapi,” ungkap Mayor Komang Kesuma, yang kini menjabat Kasi Simak di Akademi Angkatan Udara (AAU) Jogjakarta.
Berbagai kegiatan juga digelar sebagai rangkaian Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1940 yang jatuh pada Saniscara Umanis Watugunung, Sabtu (17/3), bertepatan dengan Hari Raya Saraswati. Kegiatan tersebut berupa pembinaan umat dalam bentuk roadshow Dharmatula (ceramah dan diskusi agama) serta bhakti sosial ke sejumlah komunitas Hindu, terutama yang dari etnis Jawa di Kulon Progo, Gunung Kidul, dan Sleman, Jogjakarta.
“Untuk bakti sosial berupa pembagian sembako dan cek kesehatan, juga menyasar umat non Hindu yang berada di sekitar atau di tengah-tengah komunitas umat Hindu,” kata ungkap tokoh umat Hindu Jogjakarta asal Banjar Jabapura, Desa Padangsambian Kelod, Kecamatan Denpasar Barat ini.
Selain itu, juga ada kegiatan Yoga Massal di Taman Lembah Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta dan sarasehan lintas agama di Gedung Santi Sasana Pura Jagatnata Banguntapan. Sedangkan ritual Pawai Ogoh-ogoh dengan balutan Parade Budaya telah dilaksanakan di Jalan Malioboro Jogjakarta, Sabtu (10/3) lalu.
“Untuk Parade Budaya ini kami mengundang partisipan dari lintas agama, serta kabupaten/kota di Jogja. Kami ingin Parade Budaya ini menjadi milik semua masyarakat Jogja, tak hanya umat Hindu dengan ogoh-ogohnya,” katanya.
Sedangkan untuk ritual Melasti, umat Hindu Jogjakarta menggelarnya dua kali. Pertama, Melasti di Pantai Ngobaran, Kabupaten Gunung Kidul yang telah dilaksanakan pada 1 Maret 2018 lalu. Kedua, Melasti di Pantai Parangkusumo, Jogjakarta, 11 Maret 2018.
Sementara upacara Tawur Agung Kesanga yang dipusatkan di Candi Prambanan serta pelaksanaan Catur Brata Penyepian pada 17 Maret 2018 di gelar di pura dan rumah masing-masing umat Hindu. “Untuk Tawur Kesanga di Candi Prambanan, kami melaksanakannya bersama umat Hindu Jawa Tengah (Jateng),” papar Mayor Komang Kusuma.
Menurut Mayor Komang Kusuma, Taruw Agung Kesanga memang setiap tahun digelar bersama-sama umat Hindu Jawa Tengah. Candi Prambanan yang dijadikan tempat upacara Tawur Agung Kesanga itu sendiri terletak di perbatasan antara Kabupaten Sleman (DI Jogjakarta) dan Kabupaten Klaten (Jawa Tengah).
Hanya saja, kata dia, kepanitiaan upacara Tawur Agung Kesanga dihandle secara bergantian antara DI Jogjakarta dan Jawa Tengah. “Jika tahun ganjil, panitia pelaksananya umat Hindu Jogjakarta, sementara jika tahun genap dihandle umat Hindu Jawa Tengah. Jadi, untuk Nyepi tahun ini, pelaksananya adalah umat Hindu Jawa Tengah, tapi yang hadir tetap dari kedua provinsi,” katanya.
Sementara itu, Sekretaris PHDI Provinsi DI Jogjakarta, Wayan Ordiyasa, mengatakan pelaksanaan Hari Raya Nyepi setahun sekali selalu disambut sukacita umat Hindu Jogjakarta. Apalagi, Nyepi sudah makin dikenal warga sekitar, sehingga saat umat Hindu melakoni Catur Brata Penyepian: Amati Geni (berpantang menyalakan api), Amati Karya (menghentikan kerja atau aktivitas fisik), Amati Lelungaan (pantang bepergian), dan Amati Lelanguan (pantang menghibur diri/kesenangan), mereka sudah memahaminya.
“Umat Hindu di sini juga sebagian besar melakukan upavasa atau berpuasa selama 24 jam,” ungkap Wayan Ordiyasa, tokoh lembaga umat yang juga menjadi dosen di Fakultas Teknologi Informasi (TI) di Universitas Respati Jogjakarta.
Menurut Ordiyasa, umat Hindu di Jogjakarta saat ini jumlahnya mencapai 16.250 jiwa, yang merupakan campuran dari etnis Bali dan Jawa. Khusus untuk umat Hindu etnis Jawa, terbanyak berada di Kabupaten Gunung Kidul dengan jumlah 5.800 jiwa. “Selebihnya, tersebar di Kabupaten Kulon Progo, Sleman, Bantul, dan Kota Jogjakarta,” kata pria asal Banjar Sekar Mukti, Desa Pangsan, Kecamatan Petang, Badung ini. *ketut
Komentar