Ogoh-ogoh Ramah Lingkungan Makin Jadi Trend Kaum Muda
Trend pembuatan ogoh-ogoh ramah lingkungan di Gianyar dari tahun ke tahun cenderung naik.
GIANYAR, NusaBali
Ogoh-ogoh berbahan murni alami pada tahun lalu masih belasan ogoh-ogoh. Data sementara, Senin (12/3), dari Dinas Lingkungan Hidup, untuk Pangerupukan, Nyepi Isaka 1940, Sabtu (17/3), ogoh-ogoh full berbahan alami sudah mencapai 28 buah.
Kepala DLH Gianyar I Wayan Kujus Pawitra, di Gianyar, Senin (12/3), mengatakan berdasarkan pantauan tim yang diturunkan DLH, ada 28 ogoh-ogoh yang 100 persen atau murni berbahan alami. 28 ogoh-ogoh ini tersebar pada tujuh kecamatan di Gianyar. Jumlah ini relatif signifikan jika dibandingkan maraknya ogoh-ogoh berbahan styrofoam (busa padat) sejak dua tahun sebelumnya. Sebagaimana diketahui, styrofoam dan plastik, dua bahan yang sebelumnya marak dijadikan bahan pembuatan ogoh-ogoh. Dua zat kimis ini sangat tak ramah lingkungan karena amat sulit terurai, beracun, hingga membahayakan kehidupan.
Kujus mengakui, membuat ogoh-ogoh berbahan alami bukan skili yang enteng. Selain bahannya harus ringan, juga terpola, mudah didapat, hingga membutuhkan kecerdasan berkreasi. Namun pada beberapa komunitas pembuat ogoh-ogoh khususnya sekaa teruna-teruni, ditemukan kendala pembuatan ogoh-ogoh full berbahan alami pada bagian kepala atau punggalan ogoh-ogoh. Karena pada punggalan paling sulit membentuk pola dari bahan alami meskipun bias dengan anyaman bambu atau bahan lain. Oleh karena itu, khusus pada punggalan ogoh-ogoh masih banyak yang memakai bahan gabus.
Dia menilai, imbauan Pemkab Gianyar agar ogoh-ogoh dibuat dari bahan alami, sesungguhnya bukan kendala utama. Sebaliknya, imbauan ini dijadikan tantangan menarik oleh para kreator ogoh-ogoh. ‘’Karena yang kami tangkap ada kesan, para kreator ogoh-ogoh ini bersaing sehat. Mereka berprinsip ‘jika mereka bisa, kenapa kami tidak’’. Itu prinsip yang menyemangati semangat berkeseniannya,’’ jelasnya.
Kujus mengaku bangga dengan etika seni para kreator ogoh-ogoh, khususnya kalangan muda di Gianyar. Dengan banyaknya ogoh-ogoh dominan berbahan alami, menandakan karya seni yang diciptakan masih sangat berperadaban lingkungan sehat. ‘’Para kreator ini tak hanya taat pada etika berkesenian, mereka juga peduli terhadap lingkungan. Mereka buat karya seni tanpa mengorbankan lingkungan,’’ jelasnya.
Kujus berharap kreasi pihak lain yang tak berorientasi pada seni, misal pebisnis, lembaga pendidikan, dan dunia kreatif lainnya, bisa belajar dari semangat para seniman muda dalam hal penggarapan ogoh-ogoh yang ramah lingkungan. Artinya, proses pembuatan ogoh-ogoh ramah lingkungan dapat dijadikan semacam pilot projec oleh semua pihak untuk menguatkan kesadaran menjaga kesehatan lingkungan. ‘’Seniman ogoh-ogoh saja bisa menjaga lingkungan agar tetap sehat, kenapa yang lain tidak,’’ ujarnya. *lsa
Kepala DLH Gianyar I Wayan Kujus Pawitra, di Gianyar, Senin (12/3), mengatakan berdasarkan pantauan tim yang diturunkan DLH, ada 28 ogoh-ogoh yang 100 persen atau murni berbahan alami. 28 ogoh-ogoh ini tersebar pada tujuh kecamatan di Gianyar. Jumlah ini relatif signifikan jika dibandingkan maraknya ogoh-ogoh berbahan styrofoam (busa padat) sejak dua tahun sebelumnya. Sebagaimana diketahui, styrofoam dan plastik, dua bahan yang sebelumnya marak dijadikan bahan pembuatan ogoh-ogoh. Dua zat kimis ini sangat tak ramah lingkungan karena amat sulit terurai, beracun, hingga membahayakan kehidupan.
Kujus mengakui, membuat ogoh-ogoh berbahan alami bukan skili yang enteng. Selain bahannya harus ringan, juga terpola, mudah didapat, hingga membutuhkan kecerdasan berkreasi. Namun pada beberapa komunitas pembuat ogoh-ogoh khususnya sekaa teruna-teruni, ditemukan kendala pembuatan ogoh-ogoh full berbahan alami pada bagian kepala atau punggalan ogoh-ogoh. Karena pada punggalan paling sulit membentuk pola dari bahan alami meskipun bias dengan anyaman bambu atau bahan lain. Oleh karena itu, khusus pada punggalan ogoh-ogoh masih banyak yang memakai bahan gabus.
Dia menilai, imbauan Pemkab Gianyar agar ogoh-ogoh dibuat dari bahan alami, sesungguhnya bukan kendala utama. Sebaliknya, imbauan ini dijadikan tantangan menarik oleh para kreator ogoh-ogoh. ‘’Karena yang kami tangkap ada kesan, para kreator ogoh-ogoh ini bersaing sehat. Mereka berprinsip ‘jika mereka bisa, kenapa kami tidak’’. Itu prinsip yang menyemangati semangat berkeseniannya,’’ jelasnya.
Kujus mengaku bangga dengan etika seni para kreator ogoh-ogoh, khususnya kalangan muda di Gianyar. Dengan banyaknya ogoh-ogoh dominan berbahan alami, menandakan karya seni yang diciptakan masih sangat berperadaban lingkungan sehat. ‘’Para kreator ini tak hanya taat pada etika berkesenian, mereka juga peduli terhadap lingkungan. Mereka buat karya seni tanpa mengorbankan lingkungan,’’ jelasnya.
Kujus berharap kreasi pihak lain yang tak berorientasi pada seni, misal pebisnis, lembaga pendidikan, dan dunia kreatif lainnya, bisa belajar dari semangat para seniman muda dalam hal penggarapan ogoh-ogoh yang ramah lingkungan. Artinya, proses pembuatan ogoh-ogoh ramah lingkungan dapat dijadikan semacam pilot projec oleh semua pihak untuk menguatkan kesadaran menjaga kesehatan lingkungan. ‘’Seniman ogoh-ogoh saja bisa menjaga lingkungan agar tetap sehat, kenapa yang lain tidak,’’ ujarnya. *lsa
Komentar