Keberagaman Etnis dan Tradisi Jadi Ciri Khas Umat Hindu Jogjakarta
Saat ini, umat Hindu di Provinsi Jogjakarta berjumlah sekitar 16.250 jiwa, di mana 60 persen dari mereka merupakan etnis Jawa. Umat Hindu etnis Jawa kebanyakan bermukim di wilayah Kabupaten Gunung Kidul dan Sleman, sementara etnis Bali dominan tinggal di Kota Jogjakarta dan Bantul
Melongok Kehidupan Umat Hindu di Jogjakarta Jelang Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1940
JIKA sesekali berkesempatan mengikuti persembahyangan atau ritual keagamaan Hindu di Jogjakarta, maka akan melihat banyak umat Hindu yang mengenakan pakaian khas Jawa. Tanpa canggung, kaum pria Hindu datang dan bersembahyang ke pura dengan memakai blangkon (tutup kepala terbuat dari batik), baju Surjan (sejenis kemeja khas Jawa), serta bawahan berupa kain batik atau yang disebut Jarik.
Mereka akan berbaur dengan umat Hindu lainnya yang mengenakan destar (udeng), kemeja atau safari putih, serta kain dan saput khas Bali. Demikian juga dengan kaum wanitanya. Mereka akrab mengenakan gaya dan penampilan berpakaian yang khas Jawa dan Bali. Tak hanya pakaian, bebantenan atau sesaji saat ritual-ritual keagamaan Hindu di Jogjakarta juga merupakan perpaduan antara dua budaya dan tradisi, yakni Jawa dan Bali.
Menurut Pembimmas Hindu Kanwil Kementerian Agama (Kemenag) Provinsi DI Jogjakarta, Ida Bagus Wika Krishna, umat Hindu di Jogjakarta adalah pertemuan dua budaya, yakni etnis Jawa dan Bali. “Semua diberikan ruang untuk bertumbuh sesuai dengan budayanya. Dalam setiap ritual akan ditemukan sesajen Jawa dan Bali, begitu pula dalam seni dan cara berpakaiannya. Semua diharapkan mengakar pada budaya dan kearifan lokal,” ujar IB Wika Krishna yang akrab disapa Gus Wika ini kepada NusaBali, Rabu (14/3).
Gus Wika mengatakan, hampir di setiap pura di Jogjakarta terjadi perpaduan tentang sesajen, termasuk dalam kegiatan upacara besar, seperti Tawur Agung Kesanga, Melasti, piodalan, dan lainnya. Umat Hindu dari etnis Jawa akan mempersiapkan bebantenan versi Jawa, sementara umat dari etnis Bali menyiapkan bebantenan yang umum versi Bali. “Semua diperlakukan sama, tak ada yang ingin mendominasi,” ungkap pejabat asal Singaraja, Buleleng jebolan Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar ini.
Dari data Bimas Hindu Kanwil Kemenag DI Jogjakarta, saat ini umat Hindu di Provinsi Jogjakarta berjumlah 16.250 jiwa lebih. Sebanyak 60 persen dari mereka merupakan umat Hindu etnis Jawa. “Mereka yang etnis Jawa kebanyakan bermukim di wilayah Kabupaten Gunung Kidul dan Sleman. Sementara di daerah Kota Jogjakarta dan Bantul, kebanyakan umat Hindu dari etnis Bali, namun tetap ada umat lokalnya. Seperti di Bantul di sekitar kawasan Pura Jagatnata Banguntapan, ada sekitar 80 kepala keluarga (KK) umat Hindu dari etnis Jawa,” ungkap Gus Wika.
Gus Wika mengatakan, saat ini Bimas Hindu Kanwil Kemenga Jogjakarta sedang menggalakkan pembinaan pada umat lokal, terutama di daerah Gunung Kidul dan Sleman. Maklum saja, kebanggaan beragama Hindu mereka harus ditegakkan.
“Selain pembinaan kerohanian, kami juga kembangkan seni budaya asli milik mereka dengan memberikan bantuan gamelan Jawa. Sudah ada 6 gamelan Jawa yang tersebar di beberapa pura di Jogjakarta,” kata Gus Wika. “Sementara gamelan Bali hanya diadakan untuk umat Hindu di Kota Jogjakarta.”
Untuk melakukan pembinaan terhadap umat Hindu di desa-desa seperti di Gunung Kidul dan Sleman, menurut Gus Wika, Bimas Hindu mengerahkan para mahasiswa Hindu untuk terlibat aktif. Dalam 3 tahun terakhir, baru dilakukan upacara Upanayana (ritual mengawali masa belajar) terhadap para mahasiswa Hindu. Selanjutnya, mereka akan dilibatkan secara aktif dalam agenda keumatan. “Kita dekatkan mereka dengan umat Hindu lokal, agar terjadi pembauran,” beber Gus Wika.
Sementara itu, Ketua PC Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI) Jogjakarta, Kadek Ayu Tia Puspasari, juga mengungkap terkait keberagaman umat Hindu di Jogjakarta. Menurut mahasiswi Semester VI Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Atmajaya ini, Jogjakarta bisa dibilang miniaturnya Indonesia dalam konteks keumatan Hindu, tak terkecuali kalangan mahasiswa. Sebab, mahasiswa Hindu di Jogjakarta berasal dari berbagai daerah, seperti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, NTB, dan Bali.
“Mahasiswa Hindu di sini bukan hanya yang tinggal di Bali lalu merantau ke Jogjakarta atau memang tinggal di Jawa. Tapi, juga ada yang berasal dari sejumlah provinsi lainnya di Indonesia. Namun, hubungan antara satu dengan yang lainnya sangat baik,” jelas mahasiswi asal Desa Antosari, Kecamatan Selemadeg Barat, Tabanan ini.
Menurut Kadek Ayu Tia, ngayah di pura biasanya selalu menjadi momentum bagi para mahasiswa untuk bisa mengakrabkan diri satu dengan yang lain, selain tujuannya untuk beryadnya. “Saat ini ada sekitar 400 mahasiswa Hindu lintas angkatan dari sejumlah perguruan tinggi di Jogjakarta. Mereka terwadahi dalam 12 KMHD (Keluarga Mahasiswa Hindu Dharma) yang sampai saat ini masih aktif berkegiatan,” ungkap alumnus SMAN 1 Selemadeg, Tabanan ini.
Secara terpisah, Sekretaris PHDI Provinsi DI Jogjakarta, Wayan Ordiyasa, mengungkapkan pihaknya akan berupoaya merawat terus keberagaman umat Hindu di Jogjakarta. Menurut dosen Universitas Respati Jogjakarta ini, terdapat 24 pura dan 2 sanggar pemujaan (pura model umat asli Jawa) di Jogjakarta.
“Selain itu, terdapat sejumlah candi, peninggalan zaman Kerajaan Hindu di Jawa yang sebagian masih bisa dimanfaatkan sebagai tempat ibadah umat Hindu. Dari tempat-tempat suci inilah kami akan terus merawat Hindu Indonesia, terutama Jogjakarta yang penuh keberagaman ini,” tandas akademisi asal Banjar Sekar Mukti, Desa Pangsan, Kecvamatan Petang, Badung ini. *suardana
1
Komentar