Pasar Majelangu Tuban Diikuti 340 Pedagang
Biasanya saat Ngembak Geni atau sehari pasar Nyepi, Desa Adat Tuban, Kecamatam Kuta, Badung, menggelar pasar majelangu.
MANGUPURA, NusaBali
Demikian pula pada saat Ngembak Geni, Minggu (18/3), sebanyak 340 pedagang menjajakan barang dagangan baik makanan maupun pakaian di pasar yang digelar hanya setahun sekali dan hanya sehari itu. Meski pasar ini digelar masih dalam rangkaian Nyepi namun pedagang yang terlibat tak hanya krama adat (yang beragama Hindu) tetapi juga krama tamu (penduduk pendatang).
Kegiatan pasar dimulai sejak pukul 06.00 hingga 20.00 Wita. Kegiatan diawali dengan kegiatan embed-embedan (tarik tambang). Tarik tambang ini menggunakan akar gantung dari pohon beringin.
Bendesa Desa Adat Tuban I Wayan Mendra menjelaskan embed-embedan adalah tradisi budaya masyarakat Adat Tuban yang telah ada sejak zaman dahulu. Dirinya mengaku tradisi itu sempat hilang setelah Gestapu tahun 1965. Setelah beberapa tahun kemudian kembali dilakukan. Kegiatan embed-embedan yang dikaitkan dengan kegiatan pasar yang disebut pasar majelangu dimaksudkan memberikan ajang kepada masyarakat untuk membangkitkan kembali budaya yang hilang. Selain itu memberikan kesempatan kepada krama untuk bersilaturahmi antar-sesama umat Hindu dan non Hindu yang telah memberikan toleransi yang maksimal.
Pada pasar majelangu itu mempertontotnkan potensi budaya setempat dipadukan dengan budaya nasional lainnya yang dibawakan oleh krama tamyu (warga pendatang). Dikatakan semuanya terlibat dari anak TK hingga orang tua dilibatkan dalam mempertontonkan budaya masing-masing daerah.
Dikatakannya, kegiatan pasar majelangu ini dilaksanakan bukan untuk mencari keuntungan tetapi lebih banyak untuk memberikan hadiah kepada krama Tuban baik lokal maupun krama tamyu.
“Bagi kami warga yang tinggal di Tuban adalah warga Tuban. Pasar ini akan ditutup pada pukul 20.00 Wita malam ini (Minggu malam). Dalam pasar ini semuanya dilibatkan. Baik krama adat maupun krama tamyu. Yang terlibat sebanyak 160 tenda. Pedagang kaki lima sebanyak 180. Mereka menjual makanan tradisional misalnya lawar, rujak, bulung, dan makanan yang berkelas internasional,” ujar Mendra.
Mendra mengaku Nyepi Tahun Saka 1940 di Desa Adat Tuban berlangsung aman. Meski desa yang masyarakatnya heterogen. Bahkan perbandingan penduduk lokalnya lebih sedikit dari penduduk pendatang.
“Kami mengucapkan terima kasih kepada umat selain agama Hindu karena telah memberikan toleransi yang maksimal kepada setiap pelaksanaan yadnya di Tuban, terutama Nyepi,” ucapnya.
Untuk mengamankan jalannya Nyepi pihaknya menugaskan 100 orang pecalang. Ditambah 30 pecalang dari lingkungan, 14 orang pecalang internal di kompi tentara, dan pangkalan TNI AU tujuh orang. Khusus untuk pecalang TNI mereka bertanggunjawab mengamankan Nyepi di kesatuan masing-masing. *p
Demikian pula pada saat Ngembak Geni, Minggu (18/3), sebanyak 340 pedagang menjajakan barang dagangan baik makanan maupun pakaian di pasar yang digelar hanya setahun sekali dan hanya sehari itu. Meski pasar ini digelar masih dalam rangkaian Nyepi namun pedagang yang terlibat tak hanya krama adat (yang beragama Hindu) tetapi juga krama tamu (penduduk pendatang).
Kegiatan pasar dimulai sejak pukul 06.00 hingga 20.00 Wita. Kegiatan diawali dengan kegiatan embed-embedan (tarik tambang). Tarik tambang ini menggunakan akar gantung dari pohon beringin.
Bendesa Desa Adat Tuban I Wayan Mendra menjelaskan embed-embedan adalah tradisi budaya masyarakat Adat Tuban yang telah ada sejak zaman dahulu. Dirinya mengaku tradisi itu sempat hilang setelah Gestapu tahun 1965. Setelah beberapa tahun kemudian kembali dilakukan. Kegiatan embed-embedan yang dikaitkan dengan kegiatan pasar yang disebut pasar majelangu dimaksudkan memberikan ajang kepada masyarakat untuk membangkitkan kembali budaya yang hilang. Selain itu memberikan kesempatan kepada krama untuk bersilaturahmi antar-sesama umat Hindu dan non Hindu yang telah memberikan toleransi yang maksimal.
Pada pasar majelangu itu mempertontotnkan potensi budaya setempat dipadukan dengan budaya nasional lainnya yang dibawakan oleh krama tamyu (warga pendatang). Dikatakan semuanya terlibat dari anak TK hingga orang tua dilibatkan dalam mempertontonkan budaya masing-masing daerah.
Dikatakannya, kegiatan pasar majelangu ini dilaksanakan bukan untuk mencari keuntungan tetapi lebih banyak untuk memberikan hadiah kepada krama Tuban baik lokal maupun krama tamyu.
“Bagi kami warga yang tinggal di Tuban adalah warga Tuban. Pasar ini akan ditutup pada pukul 20.00 Wita malam ini (Minggu malam). Dalam pasar ini semuanya dilibatkan. Baik krama adat maupun krama tamyu. Yang terlibat sebanyak 160 tenda. Pedagang kaki lima sebanyak 180. Mereka menjual makanan tradisional misalnya lawar, rujak, bulung, dan makanan yang berkelas internasional,” ujar Mendra.
Mendra mengaku Nyepi Tahun Saka 1940 di Desa Adat Tuban berlangsung aman. Meski desa yang masyarakatnya heterogen. Bahkan perbandingan penduduk lokalnya lebih sedikit dari penduduk pendatang.
“Kami mengucapkan terima kasih kepada umat selain agama Hindu karena telah memberikan toleransi yang maksimal kepada setiap pelaksanaan yadnya di Tuban, terutama Nyepi,” ucapnya.
Untuk mengamankan jalannya Nyepi pihaknya menugaskan 100 orang pecalang. Ditambah 30 pecalang dari lingkungan, 14 orang pecalang internal di kompi tentara, dan pangkalan TNI AU tujuh orang. Khusus untuk pecalang TNI mereka bertanggunjawab mengamankan Nyepi di kesatuan masing-masing. *p
Komentar