Pasangan Kakek-Nenek Berusia 65 Tahun Juga Ikut Nikah Massal
Kepala Disdukcapil Bangli, I Wayan Sumantra, terjun ke acara nikah massal di Desa Pakraman Pengotan untuk serahkan administrasi kependudukan dan sekaligus launching program Gema Bisa
Kisah di Balik Prosesi Ritual Pernikahan Massal di Desa Pakraman Pengotan, Kecamatan Bangli
BANGLI, NusaBali
Ada yang spesial dalam prosesi ritual nikah massal di Desa Pakraman Pengotan, Desa Pengotan, Kecamatan Bangli pada Wraspati Umanis Sinta, Kamis (22/3). Dari 21 pasangan pengantin yang mengikuti ritual nikah massal di Pura Peanataran Agung, Desa Pakraman Penmgotan, salah satunya berusia sepuh, yakni I Ketut Kasih, 65, dan Ni Nengah Lentek, 65. Pasangan pengantin sepuh lainnya adalah I Wayan Rai, 55, dengan Ni Nengah Ngasta, 45.
Pasangan kakek-nenek I Ketut Kasih dan Ni Nengah Lentek bukanlah pengantin baru, melainkan sudah menjadi suami istri sejak lama, namun baru sekarang mengikuti ritual nikah massal sesuai tradisi warisan leluhur. Jauh sebelumnya, pasangan Ketut Kasih-Nengah Lentek sudah melangsungkan upacara pawiwahan (pernikahan) di Desa Pakraman Sekaan, Kecamatan Kintamani, Bangli, hingga dikaruniai seorang anak, I Wayan Bondol, serta tiga cucu.
Sang suami, Ketut Kasih, merupakan krama asli Desa Sekaan. Sedang-kan istrinya, Nengah Lentek, lahir di Desa Pakraman Pengotan, namun sejak kecil tinggal di Desa Sekaan. Ketika dulu menikah, pasangan Ketut Kasih-Nengah Lentek mengikuti adat di Desa Sekaan, bukannya tradisi nikah massal di Desa Pakraman Pengotan.
Belakangan, mereka diharuskan mengikuti prosesi ritual nikah massal di Desa Pakraman Pengotan---tempat asal Nengah Lentek---, berdasarkan petunjuk niskala orang pintar. Kisahnya, keluarga pasutri Ketut Asih-Nengeh Lentek di Desa Sekaan kerap jatuh sakit dan bertengkar karena masalah sepela.
“Pihak keluarga kemudian nunasang (minta petunjuk niskala) kepada orang pintar. Nah, berdasarkan petunjuk orang pintar, paman dan bibi saya, Ketut Kasih-Nengah Lentek, harus melangsungkan perwakinan massal di Desa Pakraman Pengotan. Sebab, bibi saya krama asli Desa Pengotan, sehingga wajib melaksanakan ritual nikah massal, meskipun jauh sebelumnya sudah menggelar upacara perkawinan di Desa Sekaan. Makanya, hari ini (kemarin) ikut upacara nikah massal,” ungkap salah satu kerabat pasutri Ketut Asih-Nengah Lentek, yakni I Nengah Suweta, 35, kepada NusaBali di sela upacara nikah massal, Kamis kemarin.
Menurut Nengah Suweta, setelah mengikuti seluruh rangkaian prosesi ritual nikah massal di Pura Penataran Agung Desa Pakraman Pengotan, Kamis kemarin, pasangan Ketut Kasih-Nengah Lentek langsung kembali ke Desa Sekaan. Mereka tidak terikat oleh pantangan keluar desa atau melintas di rurung adat selama tiga hari pasca nikah massal. “Di rumah di Desa Sekaan nanti hanya lanjut ngaturang benten pejati, karena sebelumnya upacara sudah lengkap dijalani,” jelas Nengah Suweta.
Selain pasutri Ketut Asih-Nengah Lentek, masih ada pasangan pengantin ‘lingsir’ (tua) yang mengikuti prosesi ritual nikah massal di Desa Pakraman Pengotan, Kamis kemarin. Mereka adalah pasangan I Wayan Rai, 55, dam Ni Nengah Ngasta, 45. Bedanya, Wayan Rai menjalani perkawinan untuk kedua kalinya karena berstatus duda pasca ditinggal mati istrinya. Sedangkan pasangannya, Nengah Ngasta, berstatus masing bajang (lajang). “Kebetulan, Wayan Rai dan Nengah Ngasta warga asli Desa Pengotan,” jelas Bendesa Pakraman Pengotan, Jro Wayan Kopok.
Sementara itu, prosesi ritual nikah massal di Pura Penataran Agung Desa Pakraman Pengotan, Kamis kemarin, dilaksanakan sejak pagi pukul 08.00 Wita. Para mempelai mengenakan pakaian adat Bali kuna. Dalam hal ini, mempelai laki-laki menggunakan kancut dan selempang, tanpa busana atasan, dengan membawa keris. Mereka tidak mengenakan destar (udeng). Sedangkan mempelai perempuan mengenakan kamben dan rembang atau kain yang dipasangkan di seluruh badan, bukan dalam bentuk kebaya.
Menurut Jro Wayan Kopok, penggunaan pakaian adat Bali kuna ini menjadi ciri khas dalam pernikahan massal di desanya. Dan, ini sudah diwarisi secara turun-temurun. Jadi, tidak ada pasangan pengantin yang mengenakan payas agung sebagaimana zaman sekarang. “Ini bermakna untuk melestarikan budaya Bali dan sekaligus mengajarkan untuk tampil sederhana. Yang penting berpakaian rapi, sesuai dengan aturan sudah cukup, tidak harus bermewah-mewah," katanya.
Rangkaian upacara nikah massal kemarin diawali dengan ritual penyembelihan seekor sapi oleh krama setempat. Pada saat bersamaan, pihak keluarga calon pengantin memepersiapkan sarana upacara dan nasi yang akan digunakan untuk membuat kawisan. Kemudian setelah seluruh sarana upacara lengkap, barulah seluruh pasangan yang masih berada di rumahnya masing-masing dipanggil untuk berkumpul di Nista Mandala Pura Penatara Agung.
Seluruh 21 pasangan pengantin berbaris menuju Pura Penataran Agung, di mana saat masih berada di Nista Mandala, dihaturkan bakti pekandelan yang bermakna membersihkan kekotoran dalam diri untuk menunju jenjang yang lebih tinggi. Selanjutnya, seluruh pasangan pengantin masuk ke Madya Mandala Pura Penataran Agung dan duduk saling berhadapan di Bale Nganten.
“Duduknya dipisah antara laki-laki dan perempuan. Mereka nginang (makan sirih) bersama sebagai pertanda sudah memasuki usai lebih tua, dengan tanggung jawab yang lebih besar. Kemudian mempelai perempuan ngunggahang damar kurung untuk memohon tuntunan dari Ida Sang Hyang Widhi, agar pasangan baru ini mampu menjalani kehidupan berumah tangga,” ujar Jro Wayan Kopok. Terakhir, para me-mpelai mepamit di Sanggar Agung, sebagai pertana berakhirnya rangkaian upacara nikah massal tersebut.
Dalam prossi ritual nikah massal di Pura Penataran Agung Desa Pakraman Pengotan kemarin, hadir pula petugas dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kabupaten Bangli, untuk menyerahkan administrasi kependudukan bagi para pengantin baru. Rombongan dipimpin langsung Kepala Disdukcapil Bangli, I Wayan Sumantra.
Menurut Wayan Sumantra, administrasi kependudukan yang diserahkan meliputi akta pekawinan, KTP, dan kartu keluarga. Kegiatan ini segaligus launching program Gema Bisa (Gerakan Masyarakat Bangli Sadar Administrasi Kependudukan). “Program ini sebagai terusan program pusat,” jelas Sumantra. Tradisi ritual menikah massal ini dilaksanakan Desa Pakraman Pengotan dua kali dalam setahun, yakni pada Sasih Kapat (bulan keempat sistem penanggalan Bali) dan Sasih Kadasa (bulan ke-10 sistem penanggalan Bali). Hanya saja, tradisi nikah massal sempat tidak digelar selama 2 tahun terakhir, karena masih ada pembangunan di Pura Penataran Agung. *e
BANGLI, NusaBali
Ada yang spesial dalam prosesi ritual nikah massal di Desa Pakraman Pengotan, Desa Pengotan, Kecamatan Bangli pada Wraspati Umanis Sinta, Kamis (22/3). Dari 21 pasangan pengantin yang mengikuti ritual nikah massal di Pura Peanataran Agung, Desa Pakraman Penmgotan, salah satunya berusia sepuh, yakni I Ketut Kasih, 65, dan Ni Nengah Lentek, 65. Pasangan pengantin sepuh lainnya adalah I Wayan Rai, 55, dengan Ni Nengah Ngasta, 45.
Pasangan kakek-nenek I Ketut Kasih dan Ni Nengah Lentek bukanlah pengantin baru, melainkan sudah menjadi suami istri sejak lama, namun baru sekarang mengikuti ritual nikah massal sesuai tradisi warisan leluhur. Jauh sebelumnya, pasangan Ketut Kasih-Nengah Lentek sudah melangsungkan upacara pawiwahan (pernikahan) di Desa Pakraman Sekaan, Kecamatan Kintamani, Bangli, hingga dikaruniai seorang anak, I Wayan Bondol, serta tiga cucu.
Sang suami, Ketut Kasih, merupakan krama asli Desa Sekaan. Sedang-kan istrinya, Nengah Lentek, lahir di Desa Pakraman Pengotan, namun sejak kecil tinggal di Desa Sekaan. Ketika dulu menikah, pasangan Ketut Kasih-Nengah Lentek mengikuti adat di Desa Sekaan, bukannya tradisi nikah massal di Desa Pakraman Pengotan.
Belakangan, mereka diharuskan mengikuti prosesi ritual nikah massal di Desa Pakraman Pengotan---tempat asal Nengah Lentek---, berdasarkan petunjuk niskala orang pintar. Kisahnya, keluarga pasutri Ketut Asih-Nengeh Lentek di Desa Sekaan kerap jatuh sakit dan bertengkar karena masalah sepela.
“Pihak keluarga kemudian nunasang (minta petunjuk niskala) kepada orang pintar. Nah, berdasarkan petunjuk orang pintar, paman dan bibi saya, Ketut Kasih-Nengah Lentek, harus melangsungkan perwakinan massal di Desa Pakraman Pengotan. Sebab, bibi saya krama asli Desa Pengotan, sehingga wajib melaksanakan ritual nikah massal, meskipun jauh sebelumnya sudah menggelar upacara perkawinan di Desa Sekaan. Makanya, hari ini (kemarin) ikut upacara nikah massal,” ungkap salah satu kerabat pasutri Ketut Asih-Nengah Lentek, yakni I Nengah Suweta, 35, kepada NusaBali di sela upacara nikah massal, Kamis kemarin.
Menurut Nengah Suweta, setelah mengikuti seluruh rangkaian prosesi ritual nikah massal di Pura Penataran Agung Desa Pakraman Pengotan, Kamis kemarin, pasangan Ketut Kasih-Nengah Lentek langsung kembali ke Desa Sekaan. Mereka tidak terikat oleh pantangan keluar desa atau melintas di rurung adat selama tiga hari pasca nikah massal. “Di rumah di Desa Sekaan nanti hanya lanjut ngaturang benten pejati, karena sebelumnya upacara sudah lengkap dijalani,” jelas Nengah Suweta.
Selain pasutri Ketut Asih-Nengah Lentek, masih ada pasangan pengantin ‘lingsir’ (tua) yang mengikuti prosesi ritual nikah massal di Desa Pakraman Pengotan, Kamis kemarin. Mereka adalah pasangan I Wayan Rai, 55, dam Ni Nengah Ngasta, 45. Bedanya, Wayan Rai menjalani perkawinan untuk kedua kalinya karena berstatus duda pasca ditinggal mati istrinya. Sedangkan pasangannya, Nengah Ngasta, berstatus masing bajang (lajang). “Kebetulan, Wayan Rai dan Nengah Ngasta warga asli Desa Pengotan,” jelas Bendesa Pakraman Pengotan, Jro Wayan Kopok.
Sementara itu, prosesi ritual nikah massal di Pura Penataran Agung Desa Pakraman Pengotan, Kamis kemarin, dilaksanakan sejak pagi pukul 08.00 Wita. Para mempelai mengenakan pakaian adat Bali kuna. Dalam hal ini, mempelai laki-laki menggunakan kancut dan selempang, tanpa busana atasan, dengan membawa keris. Mereka tidak mengenakan destar (udeng). Sedangkan mempelai perempuan mengenakan kamben dan rembang atau kain yang dipasangkan di seluruh badan, bukan dalam bentuk kebaya.
Menurut Jro Wayan Kopok, penggunaan pakaian adat Bali kuna ini menjadi ciri khas dalam pernikahan massal di desanya. Dan, ini sudah diwarisi secara turun-temurun. Jadi, tidak ada pasangan pengantin yang mengenakan payas agung sebagaimana zaman sekarang. “Ini bermakna untuk melestarikan budaya Bali dan sekaligus mengajarkan untuk tampil sederhana. Yang penting berpakaian rapi, sesuai dengan aturan sudah cukup, tidak harus bermewah-mewah," katanya.
Rangkaian upacara nikah massal kemarin diawali dengan ritual penyembelihan seekor sapi oleh krama setempat. Pada saat bersamaan, pihak keluarga calon pengantin memepersiapkan sarana upacara dan nasi yang akan digunakan untuk membuat kawisan. Kemudian setelah seluruh sarana upacara lengkap, barulah seluruh pasangan yang masih berada di rumahnya masing-masing dipanggil untuk berkumpul di Nista Mandala Pura Penatara Agung.
Seluruh 21 pasangan pengantin berbaris menuju Pura Penataran Agung, di mana saat masih berada di Nista Mandala, dihaturkan bakti pekandelan yang bermakna membersihkan kekotoran dalam diri untuk menunju jenjang yang lebih tinggi. Selanjutnya, seluruh pasangan pengantin masuk ke Madya Mandala Pura Penataran Agung dan duduk saling berhadapan di Bale Nganten.
“Duduknya dipisah antara laki-laki dan perempuan. Mereka nginang (makan sirih) bersama sebagai pertanda sudah memasuki usai lebih tua, dengan tanggung jawab yang lebih besar. Kemudian mempelai perempuan ngunggahang damar kurung untuk memohon tuntunan dari Ida Sang Hyang Widhi, agar pasangan baru ini mampu menjalani kehidupan berumah tangga,” ujar Jro Wayan Kopok. Terakhir, para me-mpelai mepamit di Sanggar Agung, sebagai pertana berakhirnya rangkaian upacara nikah massal tersebut.
Dalam prossi ritual nikah massal di Pura Penataran Agung Desa Pakraman Pengotan kemarin, hadir pula petugas dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kabupaten Bangli, untuk menyerahkan administrasi kependudukan bagi para pengantin baru. Rombongan dipimpin langsung Kepala Disdukcapil Bangli, I Wayan Sumantra.
Menurut Wayan Sumantra, administrasi kependudukan yang diserahkan meliputi akta pekawinan, KTP, dan kartu keluarga. Kegiatan ini segaligus launching program Gema Bisa (Gerakan Masyarakat Bangli Sadar Administrasi Kependudukan). “Program ini sebagai terusan program pusat,” jelas Sumantra. Tradisi ritual menikah massal ini dilaksanakan Desa Pakraman Pengotan dua kali dalam setahun, yakni pada Sasih Kapat (bulan keempat sistem penanggalan Bali) dan Sasih Kadasa (bulan ke-10 sistem penanggalan Bali). Hanya saja, tradisi nikah massal sempat tidak digelar selama 2 tahun terakhir, karena masih ada pembangunan di Pura Penataran Agung. *e
1
Komentar