Keluhkan Urusan Setifikat Tanah, Warga Yeh Sumbul Masadu ke Dewan
Belasan warga Desa Yeh Sumbul, Kecamatan Mendoyo, Jembrana, mendatangi Kantor DPRD Jembrana, Kamis (22/3) pagi.
NEGARA, NusaBali
Belasan warga tersebut masadu (mengadu) terkait kesulitan mengurus sertifikat tanah karena enggan dibantu kepala desa. Padahal, mereka mengklaim sudah mengantongi pipil.Berdasar informasi, kedatangan 15 warga Yeh Sumbul ke kantor dewan tersebut diterima Sekretaris Komisi A DPRD Jembrana I Ketut Sadwi Darmawan. Menurut warga, tanah yang hendak disertifikatkan mereka itu, adalah tanah di pinggir Pantai Yeh Sumbul. Namun, pihak desa selalu menolak memberikan tanda tangan untuk permohonan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) guna mengurus sertifikat tanah mereka. Alasannya, tanah dimaksud merupakan tanah negara. “Padahal kami sudah memiliki pipil,” ujar Ariadi, salah seorang perwakilan warga.
Menurut beberapa warga, alasan tanah negara itu dinilai tidak masuk akal. Pasalnya, beberapa warga lainnya yang memiliki tanah di dekat lokasi tanah mereka, sudah memiliki sertifikat. Mereka menilai tindakan perbekel tidak sejalan dengan program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dari Presiden Joko Widodo.
Mereka pun membeberkan masalah PTSL tahun 2017. Dimana warga dimintai biaya antara Rp 700 ribu hingga Rp 1 juta, namun belum menerima sertifikat. “Kami memang belum punya bukti pungutan itu. Tetapi banyak warga mengeluh, karena sudah bayar, namun sertifikat tidak jadi,” tambah Ariadi.
Sekretaris Komisi A DPRD Jembrana Ketut Sadwi Darmawan, menyatakan dirinya menampung aspirasi warga Yeh Sumbul tersebut. Pihaknya memastikan segera menyampaikan keluhan tersebut ke pimpinan dewan untuk ditindaklanjuti, berupa mediasi antara masyarakat dengan BPN Kantor Pertanahan (KP) Jembrana bersama Perbekel Yeh Sumbul.
“Kami tampung aspirasi. Nanti pasti akan kami sampaikan, dan ditindaklanjuti. Saya harap masyarakat tetap tenang, jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” ujar Sadwi yang juga Ketua Fraksi Gerindra.
Sedangkan Perbekel Yeh Sumbul Komang Dentra, ketika dikonfirmasi secara terpisah, mengatakan, bukan menolak permohonan tanda tangan SPPT tersebut. Tetapi, pihaknya masih menunda karena menunggu kepastian status tanah di sekitar pinggir Pantai Yeh Sumbul tersebut, apakah tanah negara, aset daerah atau memang milik warga. “Ya kami belum berani. Soalnya nanti kalau ternyata bermasalah, kami yang kena masalah di desa,” ujarnya.
Dentra pun mengaku belum berani memberikan persetujuan untuk pembuatan SPPT untuk kepengurusan sertifikat tanah tersebut. Hal itu lantaran ada sejumlah petak tanah yang dimohonkan warga, ada direkomendasikan Bupati Jembrana pada 2018 untuk hak pakai lapangan sepakbola. Begitu juga dari pengecekan, ada warga yang memohon SPPT tersebut, sudah terjual tanahnya, namun masih memiliki pipil. Kemudian tanah yang dimohonkan warga tersebut, dulunya banyak ditumbuhi pohon pandan. “Yang pasti kami tidak berani karena belum pasti status tanahnya,” tegasnya.
Sementara mengenai tudingan pungutan untuk mengurus PTSL tahun 2017 lalu, juga dibantah Dentra. Menurutnya, untuk memfasilitasi warga yang ikut PTSL tersebut ada pihak ketiga. Namun dia menyatakan tidak mengetahui secara pasti, apakah pihak ketiga melakukan pungutan. Yang jelas, pihaknya mengaku tidak berani bermain-main dengan urusan PTSL yang dulu dikenal dengan nama prona tersebut, karena sudah ada beberapa perbekel sempat terseret kasus prona. *ode
Belasan warga tersebut masadu (mengadu) terkait kesulitan mengurus sertifikat tanah karena enggan dibantu kepala desa. Padahal, mereka mengklaim sudah mengantongi pipil.Berdasar informasi, kedatangan 15 warga Yeh Sumbul ke kantor dewan tersebut diterima Sekretaris Komisi A DPRD Jembrana I Ketut Sadwi Darmawan. Menurut warga, tanah yang hendak disertifikatkan mereka itu, adalah tanah di pinggir Pantai Yeh Sumbul. Namun, pihak desa selalu menolak memberikan tanda tangan untuk permohonan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) guna mengurus sertifikat tanah mereka. Alasannya, tanah dimaksud merupakan tanah negara. “Padahal kami sudah memiliki pipil,” ujar Ariadi, salah seorang perwakilan warga.
Menurut beberapa warga, alasan tanah negara itu dinilai tidak masuk akal. Pasalnya, beberapa warga lainnya yang memiliki tanah di dekat lokasi tanah mereka, sudah memiliki sertifikat. Mereka menilai tindakan perbekel tidak sejalan dengan program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dari Presiden Joko Widodo.
Mereka pun membeberkan masalah PTSL tahun 2017. Dimana warga dimintai biaya antara Rp 700 ribu hingga Rp 1 juta, namun belum menerima sertifikat. “Kami memang belum punya bukti pungutan itu. Tetapi banyak warga mengeluh, karena sudah bayar, namun sertifikat tidak jadi,” tambah Ariadi.
Sekretaris Komisi A DPRD Jembrana Ketut Sadwi Darmawan, menyatakan dirinya menampung aspirasi warga Yeh Sumbul tersebut. Pihaknya memastikan segera menyampaikan keluhan tersebut ke pimpinan dewan untuk ditindaklanjuti, berupa mediasi antara masyarakat dengan BPN Kantor Pertanahan (KP) Jembrana bersama Perbekel Yeh Sumbul.
“Kami tampung aspirasi. Nanti pasti akan kami sampaikan, dan ditindaklanjuti. Saya harap masyarakat tetap tenang, jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” ujar Sadwi yang juga Ketua Fraksi Gerindra.
Sedangkan Perbekel Yeh Sumbul Komang Dentra, ketika dikonfirmasi secara terpisah, mengatakan, bukan menolak permohonan tanda tangan SPPT tersebut. Tetapi, pihaknya masih menunda karena menunggu kepastian status tanah di sekitar pinggir Pantai Yeh Sumbul tersebut, apakah tanah negara, aset daerah atau memang milik warga. “Ya kami belum berani. Soalnya nanti kalau ternyata bermasalah, kami yang kena masalah di desa,” ujarnya.
Dentra pun mengaku belum berani memberikan persetujuan untuk pembuatan SPPT untuk kepengurusan sertifikat tanah tersebut. Hal itu lantaran ada sejumlah petak tanah yang dimohonkan warga, ada direkomendasikan Bupati Jembrana pada 2018 untuk hak pakai lapangan sepakbola. Begitu juga dari pengecekan, ada warga yang memohon SPPT tersebut, sudah terjual tanahnya, namun masih memiliki pipil. Kemudian tanah yang dimohonkan warga tersebut, dulunya banyak ditumbuhi pohon pandan. “Yang pasti kami tidak berani karena belum pasti status tanahnya,” tegasnya.
Sementara mengenai tudingan pungutan untuk mengurus PTSL tahun 2017 lalu, juga dibantah Dentra. Menurutnya, untuk memfasilitasi warga yang ikut PTSL tersebut ada pihak ketiga. Namun dia menyatakan tidak mengetahui secara pasti, apakah pihak ketiga melakukan pungutan. Yang jelas, pihaknya mengaku tidak berani bermain-main dengan urusan PTSL yang dulu dikenal dengan nama prona tersebut, karena sudah ada beberapa perbekel sempat terseret kasus prona. *ode
1
Komentar