Jelang Pilkada, Bali Tergolong Aman dari Hoaks
Kepolisian Daerah (Polda) Bali menyatakan Pulau Dewata masih tergolong aman dari penyebaran berita bohong atau hoaks, isu SARA, dan ujaran kebencian menjelang Pilkada Bali pada 27 Juni mendatang.
DENPASAR, NusaBali
"Itu berdasarkan hasil analisa dan laporan intelijen jajaran Polda Bali dalam waktu beberapa bulan terakhir selama tahapan Pilkada Bali hingga kini, bahkan hasil analisa itu juga sudah kami sampaikan ke Kapolri," kata Kasubbid PID Bidang Humas Polda Bali AKBP Syamsudin saat berbicara dalam Talk Show bertajuk ‘Pilkada Tanpa Hoaks - Ujaran Kebencian’ yang diadakan PWI Bali dalam rangka puncak Hari Pers Nasional (HPN) 2018 dan dihadiri anggota PWI Bali, pimpinan redaksi, mahasiswa dari beberapa universitas, dan wartawan, termasuk para mantan ketua dan pengurus PWI.
Diskusi itu juga menampilkan pembicara lain yakni Ni Wayan Widhiasthini (Komisioner KPU Bali yang membidangi kampanye), Nyoman Wirata (Pemred Bali Post), dan Gusti Ayu Diyah Yuniti (Bali Sruti, lembaga peduli perempuan dan anak).
Dalam diskusi yang juga ditandai dengan pemotongan tumpeng HPN 2018 oleh Ketua PWI Bali IGMB Dwikora Putra itu, AKBP Syamsudin menegaskan bahwa Bali termasuk wilayah yang tidak rawan hoaks, SARA, dan ujaran kebencian dari 171 daerah pelaksana pilkada serentak. "Meski tidak rawan hoaks, bukan berarti tidak ada hoaks di sini, tapi Bali relatif aman dari hoaks. Untuk itu, kami akan tetap melakukan antisipasi Tahun Politik dengan memaksimalkan fungsi Humas, Bimmas, intelijen, dan patroli cyber. Sejak tahapan awal, kami sudah melakukan patroli cyber," katanya.
Bahkan, katanya, andaikata ada penyebar hoaks yang terdeteksi bergerak di Bali, maka pihaknya akan menerapkan UU ITE, terutama pasal 28, yang menjatuhkan sanksi pidana kepada penyebar hoaks yakni enam tahun penjara dan denda Rp1 miliar. "Tapi, hoaks, SARA, dan ujaran kebencian itu bukan hanya tanggung jawab kami, karena itu kami akan melakukan counter bersama semua pihak, seperti Dinas Kominfo, KPU, Bawaslu, dan juga media massa untuk mendorong Pilkada Bali yang aman," katanya.
Sementara itu, Komisioner KPU Bali yang membidangi kampanye, Ni Wayan Widhiasthini, menjelaskan tahapan kampanye Pilkada Bali sudah dimulai sejak 15 Februari hingga 23 Juni, namun hal itu melalui media sosial (medsos) dari setiap kandidat. Untuk media cetak pada 10-23 Juni. "Untuk medsos itu, kami minta setiap kandidat menyetorkan lima akun dan kami bersama Bawaslu akan melakukan pengawasan terkait kemungkinan ada unsur menghasut dan melawan Pancasila. Kami berharap Pilkada DKI yang memainkan unsur SARA juga tidak terjadi di sini," katanya.
Ia mengharapkan pemilih tidak mengunggah kartu pemilihan yang sudah dicoblos di TPS, karena hal itu akan dikenai sanksi pidana. "KPU sendiri memang akan berupaya melakukan pendidikan pemilih berbasis internet dan keluarga," katanya.
Sementara Nyoman Wirata juga menegaskan bahwa informasi hoaks itu bukan sekadar tidak boleh, tapi hoaks itu memang mengadu domba untuk menciptakan kegaduhan di tengah masyarakat. "Produsen hoaks itu terbukti ada dan aparat kepolisian sudah menangkapnya, seperti Saracen, MCA, dan lainnya, karena itu media massa bukan hanya wajib mencegah, tapi juga melawannya," kata Wirata yang didukung sejumlah pimpinan media massa dan wartawan senior di Bali yang hadir dalam diskusi itu, termasuk Pemred Harian Umum NusaBali, Ketut Naria.
Caranya, media arus utama harus memberi kejelasan atau tidak hanya menulis informasi yang sedang viral saja, menulis sesuai kode etik (berimbang) dan menyampaikan informasi yang mengedukasi masyarakat. "Untuk edukasi itu, sanksi pidana perlu untuk penyebar hoaks," katanya.
Namun, ia juga sepakat perlawanan terhadap hoaks itu harus dilakukan secara bersama-sama, misalnya pemerintah mengatur dengan regulasi untuk pencegahan, aparat kepolisian melalukan patroli cyber, dan para akademisi dari kalangan kampus melakukan edukasi kepada masyarakat.
Sedangkan aktivis perempuan dari Bali Sruti, Gusti Ayu Diyah Yuniti mengungkapkan, hoaks justru rentan terhadap kaum perempuan. Seringkali perempuan menjadi lahan empuk bagi penyebar berita bohong. Karena itu, dia mengajak perempuan harus berdaya dan cerdas. Salah satu yang bisa dilakukan untuk memerangi hoaks bagi perempuan yakni dengan tidak sembarangan men-share berita yang belum jelas kebenarannya.
Ketua PWI Bali IGMB Dwikora Putra menyatakan media yang melakukan hoaks itu hakekatnya melakukan kejahatan jurnalistik. "Kami tidak hanya melawan, tapi PWI bersama Dinas Kominfo juga melakukan edukasi B5+S yakni baca, berpikir, baik, benar, bermanfaat, lalu share," katanya. *ant, ind
Diskusi itu juga menampilkan pembicara lain yakni Ni Wayan Widhiasthini (Komisioner KPU Bali yang membidangi kampanye), Nyoman Wirata (Pemred Bali Post), dan Gusti Ayu Diyah Yuniti (Bali Sruti, lembaga peduli perempuan dan anak).
Dalam diskusi yang juga ditandai dengan pemotongan tumpeng HPN 2018 oleh Ketua PWI Bali IGMB Dwikora Putra itu, AKBP Syamsudin menegaskan bahwa Bali termasuk wilayah yang tidak rawan hoaks, SARA, dan ujaran kebencian dari 171 daerah pelaksana pilkada serentak. "Meski tidak rawan hoaks, bukan berarti tidak ada hoaks di sini, tapi Bali relatif aman dari hoaks. Untuk itu, kami akan tetap melakukan antisipasi Tahun Politik dengan memaksimalkan fungsi Humas, Bimmas, intelijen, dan patroli cyber. Sejak tahapan awal, kami sudah melakukan patroli cyber," katanya.
Bahkan, katanya, andaikata ada penyebar hoaks yang terdeteksi bergerak di Bali, maka pihaknya akan menerapkan UU ITE, terutama pasal 28, yang menjatuhkan sanksi pidana kepada penyebar hoaks yakni enam tahun penjara dan denda Rp1 miliar. "Tapi, hoaks, SARA, dan ujaran kebencian itu bukan hanya tanggung jawab kami, karena itu kami akan melakukan counter bersama semua pihak, seperti Dinas Kominfo, KPU, Bawaslu, dan juga media massa untuk mendorong Pilkada Bali yang aman," katanya.
Sementara itu, Komisioner KPU Bali yang membidangi kampanye, Ni Wayan Widhiasthini, menjelaskan tahapan kampanye Pilkada Bali sudah dimulai sejak 15 Februari hingga 23 Juni, namun hal itu melalui media sosial (medsos) dari setiap kandidat. Untuk media cetak pada 10-23 Juni. "Untuk medsos itu, kami minta setiap kandidat menyetorkan lima akun dan kami bersama Bawaslu akan melakukan pengawasan terkait kemungkinan ada unsur menghasut dan melawan Pancasila. Kami berharap Pilkada DKI yang memainkan unsur SARA juga tidak terjadi di sini," katanya.
Ia mengharapkan pemilih tidak mengunggah kartu pemilihan yang sudah dicoblos di TPS, karena hal itu akan dikenai sanksi pidana. "KPU sendiri memang akan berupaya melakukan pendidikan pemilih berbasis internet dan keluarga," katanya.
Sementara Nyoman Wirata juga menegaskan bahwa informasi hoaks itu bukan sekadar tidak boleh, tapi hoaks itu memang mengadu domba untuk menciptakan kegaduhan di tengah masyarakat. "Produsen hoaks itu terbukti ada dan aparat kepolisian sudah menangkapnya, seperti Saracen, MCA, dan lainnya, karena itu media massa bukan hanya wajib mencegah, tapi juga melawannya," kata Wirata yang didukung sejumlah pimpinan media massa dan wartawan senior di Bali yang hadir dalam diskusi itu, termasuk Pemred Harian Umum NusaBali, Ketut Naria.
Caranya, media arus utama harus memberi kejelasan atau tidak hanya menulis informasi yang sedang viral saja, menulis sesuai kode etik (berimbang) dan menyampaikan informasi yang mengedukasi masyarakat. "Untuk edukasi itu, sanksi pidana perlu untuk penyebar hoaks," katanya.
Namun, ia juga sepakat perlawanan terhadap hoaks itu harus dilakukan secara bersama-sama, misalnya pemerintah mengatur dengan regulasi untuk pencegahan, aparat kepolisian melalukan patroli cyber, dan para akademisi dari kalangan kampus melakukan edukasi kepada masyarakat.
Sedangkan aktivis perempuan dari Bali Sruti, Gusti Ayu Diyah Yuniti mengungkapkan, hoaks justru rentan terhadap kaum perempuan. Seringkali perempuan menjadi lahan empuk bagi penyebar berita bohong. Karena itu, dia mengajak perempuan harus berdaya dan cerdas. Salah satu yang bisa dilakukan untuk memerangi hoaks bagi perempuan yakni dengan tidak sembarangan men-share berita yang belum jelas kebenarannya.
Ketua PWI Bali IGMB Dwikora Putra menyatakan media yang melakukan hoaks itu hakekatnya melakukan kejahatan jurnalistik. "Kami tidak hanya melawan, tapi PWI bersama Dinas Kominfo juga melakukan edukasi B5+S yakni baca, berpikir, baik, benar, bermanfaat, lalu share," katanya. *ant, ind
Komentar