Sebelum Tewas Disambar Petir, Menolak Diajak Pulang dari Sawah
Sesuai awig yang berlaku di Desa Pakraman Yeh Anakan, pamangku Pura Kahyangan Tiga seperti Jro Mangku Putu Laba ketika meninggal harus langsung diabenkan, dengan bantuan dana Rp 15 Juta dari pihak desa adat
Kisah di Balik Tewasnya Pamangku Pura Segara Yeh Anakan, Desa Banjarasem, Kecamatan Seririt
SINGARAJA, NusaBali
Kematian tragis Jro Mangku Putu Laba, 65, Pamangku Pura Segara Desa Pakraman Yeh Anakan, Desa Banjarasem, Kecamatan Seririt, Buleleng, yang tewas disambar petir, Kamis (22/3) petang, menyisakan duka mendalam bagi keluarga dan krama setempat. Terungkap, Jro Mangku Laba sempat menunjukkan gelagat aneh sebelum peristiwa maut: tumben bikin kopi sendiri, menolak diajak pulang dari sawah.
Jro Mangku Laba tewas mengenaskan dengan luka bakar dari rambut hingga punggung akibat disambar petir saat aktivitas mapuah (mengusir burung pemakan padi, Red) di sawah kawasan Subak Yeh Anakan, Desa Banjarasem, Kamis sore sekitar pukul 17.00 Wita. Pihak keluarga tidak ada firasat apa pun di balik musibah maut ini.
Namun, sebelum tewas tersambar petir, Jro Mangku Laba sempat menunjukkan gelagat aneh. Dia tumben membuat kopi sendiri, Kamis pagi. Bukan hanya itu, berselang 1 jam sebelum kejadian maut, Jro Mangku Laba sempat mau diajak pulang dari sawah oleh anaknya, karena turun hujan deras. Namun, ajakan tersebut ditolak mentah-mentah.
Setelah menolak pulang, Jro Mangku Laba memilih berteduh dalam gubuk darurat yang berada di tengah pematang sawah. Nah, saat berteduh itulah dia tersambar petir hingga tewas mengenaskan. Berita duka kematian Jro Mangku Laba langsung menyebar ke krama Desa Pakraman Yeh Anakan.
Saat NusaBali datang ke rumah duka di Banjar Yeh Anakan, Desa Banjarasem, Jumat (23/3) pagi, sejumlah prajuru adat dan krama sudah ngumpul di sana. Prajuru adat terlihat menggelar paruman kecil di rumah duka. Sedangkan krama lainnya sibuk menyiapkan tetaring (tenda, Red) dan sarana upacara Pitra Yadnya. Rencananya, jenazah Jro Mangku Laba akan diabenkan pada Wraspati Pon Landep, Kamis (29/3) depan.
Jenazah Jro Mangku Laba sendiri masih disemayamkan di ruang tamu rumahnya, karena keluarganya termasuk kurang mampu. Sawah seluas kurang dari 1 hektare yang ditanami padi, bukanlah miliknya. Jero Mangku Laba hanya bekerja sebagai penyakap di sana.
Jro Mangku Laba berpulang buat selamanya dengan meninggalkan istri tercinta Jro Kadek Umiasih, 62, serta 3 anak, dan 6 cucu. Dua anaknya sudah menikah dan tinggal berjauhan. Sedangkan Jro Mangku Laba hanya tinggal bertiga bersama sang istri dan dan anak busungnya, Komang Agus Sutaya, 21, yang masih lajang.
Sambil menangis, Jro Kadek Umiasih sempat menceritakan seputar kematian almarhum kepada NusaBali. Jro Kadek Umiasih merasa menyesal, karena pagi harinya dia tidak sempat membuatkan kopi untuk Jro Mangku Laba. Almarhum pun tumben bikin seniri kopi pagi itu.
“Tiyang dundun semengan, nto yeh anget di paon, pang ragane ngae kopi. Tiyang uling semengan repot ngae banten (Saya bangunkan Jro Mangku Laba paginya, bilang sudah ada air hangat didapur, agar bikin kopi sendiri. Sebab, saya dari pagi memang sibuk bikin sarana upacara, Red),” kenang Jro Kadek Umiasih terbata-bata di rumah duka, Jumat kemarin.
Jro Kadek Umiasih selama ini memang sering menjual banten. Kesibukannya membuat banten beberapa hari terakhir adalah untuk persiapan upacara Ngalapan di tengah sawah, sebagai ucapan syukuran atas padi mengunging sebelum dipanen. Selama persiapan upacara Ngalapan itu, Jro Kadek Umiasih tidak sempat ngobrol banyak dengan suaminya. ”Sing maan ngomong mekelo (Tidak sempat bicara banyak),” ujarnya sambil menanggis.
Sementara itu, putra sulung almarhum, Gede Mas Pariawan, 33, mengisahkan ayahnya datang ke sawah untuk mengusir burung, Kamis sore pukul 16.30 Wita. Saat itu, Mas Pariwawan tengah menjemput istrinya yang juga sejak pagi di sawah yang disakapnya, bersebelahan dengan sawah yang digarap sang ayah.
Karena mulai turun hujan, kata Mas Pariawan, dia bersama istrinya bergegas pulang. Pariawan sempat memanggil bapaknya untuk diajak pulang, namun almarhum menolak dan menyuruh anaknya pulang duluan. “Tiyang mulih malunan jak kurnane, I Bape maembon di rangon---gubuk di pematang sawah. Sing ade pirasat ape-ape, nak biasa dogen (Saya bersama istri pulang duluan, Bapak berteduh di rangon. Tidak ada prisat apa-apa, biasa saja,” cerita Pariawan.
Kamis malam sekitar pukul 19.00 Wita, Pariawan yang tinggal berjauhan dicari ibunya, Jro Kadek Umiasih, yang menyampaikan bahwa ayahnya belum pulang dari sawah. Karena hujan dan jalanan licin, Pariawan putuskan untuk menjemput sendiri ayahnya ke sawah yang berjarak sekitar 500 meter dari rumah.
Setelah barada di sawah, bapaknya dipanggil-panggil tidak menyahut. Dari kejauhan, Pariawan melihat ayahnya seperti tidur di tengah rangon. Karena dipanggil tidak nyahut, Pariawan pun mendekat. Pariawan terkejut karena mendadak tericum bau gosong. Awalnya, tidak curiga kalau bau gosong itu muncul dari tubuh ayahnya. Dia pun berusaha membangunkan ayahnya yang tertidur.
Namun, begitu tubuhnya dibalikkan, ternyata rambut, baju, dada, dan punggung Jro Mangku Laba hangus terbakar. “Ne sander tatit be, tiyang ngaukin anak sing ade ningeh. Tiyang terus mulih malu ngorahin kuranan, ngalih anak lenan, mare buin ke rangon (Ini pasti disambar petir, saya teriak minta tolong, tidak ada yang dengar. Akhirnya saya balik lagi pulang memberitahukan kepada istri dan tetangga, diajak ke Ragon),” kenang Pariawan.
Akhirnya, jenazah Pamangku Pura Segara, Desa Pakraman Yeh Anakan ini digotong beramai-ramai dari tengah sawah. Sempat diajak ke rumah sakit terdekat di Seririt, namun sudah dinyatakan meninggal.
Sementara, Kelian Desa Pakraman Yeh Anakan, Jro Putu Tirta, menyatakan sesuai awig yang berlaku, Jro Mangku Kahyangan Tiga yang meninggal harus diupacari pengabenan. Berdasarkan awig, pihak desa pakraman memberikan bantuan dana sebesar Rp 15 juta kepada pamangku yang meninggal.
“Dalam awig disampaikan, Tan Wenang Kasulubang (tidak bisa dikubur), Nanging Kageseng (dibakar). Jadi, upacara nanti diabenkan. Tanggung jawab desa pakraman sampai pada prosesi di Pura Dalem, dengan biaya sebesar Rp 15 juta. Nanti kekurangannya dari pihak keluarga,” jelas Jro Putu Tirta. *k19
SINGARAJA, NusaBali
Kematian tragis Jro Mangku Putu Laba, 65, Pamangku Pura Segara Desa Pakraman Yeh Anakan, Desa Banjarasem, Kecamatan Seririt, Buleleng, yang tewas disambar petir, Kamis (22/3) petang, menyisakan duka mendalam bagi keluarga dan krama setempat. Terungkap, Jro Mangku Laba sempat menunjukkan gelagat aneh sebelum peristiwa maut: tumben bikin kopi sendiri, menolak diajak pulang dari sawah.
Jro Mangku Laba tewas mengenaskan dengan luka bakar dari rambut hingga punggung akibat disambar petir saat aktivitas mapuah (mengusir burung pemakan padi, Red) di sawah kawasan Subak Yeh Anakan, Desa Banjarasem, Kamis sore sekitar pukul 17.00 Wita. Pihak keluarga tidak ada firasat apa pun di balik musibah maut ini.
Namun, sebelum tewas tersambar petir, Jro Mangku Laba sempat menunjukkan gelagat aneh. Dia tumben membuat kopi sendiri, Kamis pagi. Bukan hanya itu, berselang 1 jam sebelum kejadian maut, Jro Mangku Laba sempat mau diajak pulang dari sawah oleh anaknya, karena turun hujan deras. Namun, ajakan tersebut ditolak mentah-mentah.
Setelah menolak pulang, Jro Mangku Laba memilih berteduh dalam gubuk darurat yang berada di tengah pematang sawah. Nah, saat berteduh itulah dia tersambar petir hingga tewas mengenaskan. Berita duka kematian Jro Mangku Laba langsung menyebar ke krama Desa Pakraman Yeh Anakan.
Saat NusaBali datang ke rumah duka di Banjar Yeh Anakan, Desa Banjarasem, Jumat (23/3) pagi, sejumlah prajuru adat dan krama sudah ngumpul di sana. Prajuru adat terlihat menggelar paruman kecil di rumah duka. Sedangkan krama lainnya sibuk menyiapkan tetaring (tenda, Red) dan sarana upacara Pitra Yadnya. Rencananya, jenazah Jro Mangku Laba akan diabenkan pada Wraspati Pon Landep, Kamis (29/3) depan.
Jenazah Jro Mangku Laba sendiri masih disemayamkan di ruang tamu rumahnya, karena keluarganya termasuk kurang mampu. Sawah seluas kurang dari 1 hektare yang ditanami padi, bukanlah miliknya. Jero Mangku Laba hanya bekerja sebagai penyakap di sana.
Jro Mangku Laba berpulang buat selamanya dengan meninggalkan istri tercinta Jro Kadek Umiasih, 62, serta 3 anak, dan 6 cucu. Dua anaknya sudah menikah dan tinggal berjauhan. Sedangkan Jro Mangku Laba hanya tinggal bertiga bersama sang istri dan dan anak busungnya, Komang Agus Sutaya, 21, yang masih lajang.
Sambil menangis, Jro Kadek Umiasih sempat menceritakan seputar kematian almarhum kepada NusaBali. Jro Kadek Umiasih merasa menyesal, karena pagi harinya dia tidak sempat membuatkan kopi untuk Jro Mangku Laba. Almarhum pun tumben bikin seniri kopi pagi itu.
“Tiyang dundun semengan, nto yeh anget di paon, pang ragane ngae kopi. Tiyang uling semengan repot ngae banten (Saya bangunkan Jro Mangku Laba paginya, bilang sudah ada air hangat didapur, agar bikin kopi sendiri. Sebab, saya dari pagi memang sibuk bikin sarana upacara, Red),” kenang Jro Kadek Umiasih terbata-bata di rumah duka, Jumat kemarin.
Jro Kadek Umiasih selama ini memang sering menjual banten. Kesibukannya membuat banten beberapa hari terakhir adalah untuk persiapan upacara Ngalapan di tengah sawah, sebagai ucapan syukuran atas padi mengunging sebelum dipanen. Selama persiapan upacara Ngalapan itu, Jro Kadek Umiasih tidak sempat ngobrol banyak dengan suaminya. ”Sing maan ngomong mekelo (Tidak sempat bicara banyak),” ujarnya sambil menanggis.
Sementara itu, putra sulung almarhum, Gede Mas Pariawan, 33, mengisahkan ayahnya datang ke sawah untuk mengusir burung, Kamis sore pukul 16.30 Wita. Saat itu, Mas Pariwawan tengah menjemput istrinya yang juga sejak pagi di sawah yang disakapnya, bersebelahan dengan sawah yang digarap sang ayah.
Karena mulai turun hujan, kata Mas Pariawan, dia bersama istrinya bergegas pulang. Pariawan sempat memanggil bapaknya untuk diajak pulang, namun almarhum menolak dan menyuruh anaknya pulang duluan. “Tiyang mulih malunan jak kurnane, I Bape maembon di rangon---gubuk di pematang sawah. Sing ade pirasat ape-ape, nak biasa dogen (Saya bersama istri pulang duluan, Bapak berteduh di rangon. Tidak ada prisat apa-apa, biasa saja,” cerita Pariawan.
Kamis malam sekitar pukul 19.00 Wita, Pariawan yang tinggal berjauhan dicari ibunya, Jro Kadek Umiasih, yang menyampaikan bahwa ayahnya belum pulang dari sawah. Karena hujan dan jalanan licin, Pariawan putuskan untuk menjemput sendiri ayahnya ke sawah yang berjarak sekitar 500 meter dari rumah.
Setelah barada di sawah, bapaknya dipanggil-panggil tidak menyahut. Dari kejauhan, Pariawan melihat ayahnya seperti tidur di tengah rangon. Karena dipanggil tidak nyahut, Pariawan pun mendekat. Pariawan terkejut karena mendadak tericum bau gosong. Awalnya, tidak curiga kalau bau gosong itu muncul dari tubuh ayahnya. Dia pun berusaha membangunkan ayahnya yang tertidur.
Namun, begitu tubuhnya dibalikkan, ternyata rambut, baju, dada, dan punggung Jro Mangku Laba hangus terbakar. “Ne sander tatit be, tiyang ngaukin anak sing ade ningeh. Tiyang terus mulih malu ngorahin kuranan, ngalih anak lenan, mare buin ke rangon (Ini pasti disambar petir, saya teriak minta tolong, tidak ada yang dengar. Akhirnya saya balik lagi pulang memberitahukan kepada istri dan tetangga, diajak ke Ragon),” kenang Pariawan.
Akhirnya, jenazah Pamangku Pura Segara, Desa Pakraman Yeh Anakan ini digotong beramai-ramai dari tengah sawah. Sempat diajak ke rumah sakit terdekat di Seririt, namun sudah dinyatakan meninggal.
Sementara, Kelian Desa Pakraman Yeh Anakan, Jro Putu Tirta, menyatakan sesuai awig yang berlaku, Jro Mangku Kahyangan Tiga yang meninggal harus diupacari pengabenan. Berdasarkan awig, pihak desa pakraman memberikan bantuan dana sebesar Rp 15 juta kepada pamangku yang meninggal.
“Dalam awig disampaikan, Tan Wenang Kasulubang (tidak bisa dikubur), Nanging Kageseng (dibakar). Jadi, upacara nanti diabenkan. Tanggung jawab desa pakraman sampai pada prosesi di Pura Dalem, dengan biaya sebesar Rp 15 juta. Nanti kekurangannya dari pihak keluarga,” jelas Jro Putu Tirta. *k19
Komentar