Nyepi di Hotel
Hari suci Nyepi berbarengan dengan hari-hari penting lain sudah berulang kali terjadi.
Nyepi di hari Jumat misalnya, saat umat Muslim sembahyang di masjid, berulang muncul. Sebelum hari suci itu dirayakan, bermacam komentar tampil. Ada yang berharap, sekali itu tak usahlah sembahyang Jumat. Tapi, ada juga yang berpendapat, ya sembahyang saja seperti biasa, yang penting tidak mengganggu kekhusukan Nyepi. Umat Muslim diharapkan sembahyang di masjid terdekat, berjalan kaki, sehingga tak mengganggu dengan raungan motor.
Nyepi ketika Idul Fitri pernah terjadi. Shalat Ied tetap berlangsung khidmat di alun-alun, bahkan menjadi khusuk karena suasana hening. Umat bukan Hindu memberikan toleransi agar Nyepi tetap berlangsung khidmat. Itu sebabnya, ketika Nyepi jatuh di hari Minggu, umat Kristiani ke gereja dengan tertib, tidak mengganggu khidmad Nyepi. Tapi Nyepi, tak pernah bertemu dengan Natal, karena Nyepi berlangsung Maret, Natal bulan Desember.
Nyepi berbarengan dengan hari raya Hindu lain pun berulang terjadi. Nyepi ketika Galungan atau Kuningan pernah dialami umat Hindu di Bali. Tahun ini Nyepi berbarengan dengan Saraswati. Jika Nyepi bersamaan dengan hari raya Hindu lain, selalu muncul polemik, apakah diperkenankan merayakan hari raya lain berbarengan dengan Nyepi? Bagaimana pula pelaksanaannya? Seperti biasa, selalu muncul silang pendapat. Ada yang berpendapat sebaiknya Nyepi saja, tanpa melaksanakan hari raya lain. Yang lain tetap bersikukuh melaksanakan hari raya lain sebelum pukul enam pagi, kemudian baru melakoni Nyepi. Mereka bergegas berhari raya sejak dini hari.
Nyepi bersamaan dengan hari-hari raya lain, hari-hari penting, memang menuai polemik. Tapi tahun ini muncul polemik baru karena ada keinginan pemerintah menghentikan kegiatan internet. Sejak lama, saat Nyepi siaran radio dan televisi dimatikan. Tapi, orang-orang masih bisa berkegiatan lewat media sosial. Dan kegiatan medsos ini dinilai merusak kekhusukan Nyepi. Banyak yang sepakat hidup sehari tanpa internet, tapi tak sedikit yang menentang. Para penentang ini menilai, masing-masing pribadi yang bertanggungjawab terhadap kekhusukan melaksanakan Nyepi, tak bisa dipaksa-paksa.
Yang setuju internet diputus berpendapat, bandara saja ditutup, agar tidak ada deru pesawat demi memberi keheningan Nyepi. Dulu, ketika Nyepi, bandara dibuka, tapi para penumpang, kebanyakan turis, yang tiba di bandara tak terangkut ke penginapan, sehingga mereka bermalam di lantai bandara berdesak-desak, kelaparan pula. Banyak yang memaki-maki. Penumpang yang berada di hotel juga tak bisa ke bandara, karena mobil dilarang melintas. Jadi, ya mending bandara ditutup saja, karena mobilitas penumpang dari dan ke bandara tidak terjadi.
Internet yang ditutup lewat jaringan telepon seluler antara lain menyebabkan orang-orang Nyepi di hotel. Mereka berharap wifi di hotel menyala, dan bisa untuk mengakses medsos. Selain itu, hotel akan memutar film lewat kanal ke kamar-kamar, sehingga tamu bisa menikmati hiburan. Lagi pula lampu-lampu di kamar bisa dinyalakan, kendati lampu di kebun dan teras mesti padam. Tamu-tamu masih bisa berenang di kolam hotel sepuas hati, bisa melewatkan hari tanpa kejenuhan.
Dulu, banyak yang melepas Nyepi di hotel karena tak tahan jenuh seharian di rumah. Hotel-hotel menyelenggarakan bermacam hiburan untuk menggaet pengunjung. Nyepi di hotel pun tak cuma menjadi jalan keluar menghindari kejenuhan sehari, justru menjadi tujuan dan hari yang ditunggu-tunggu. Banyak hotel menjual paket Nyepi dengan dua malam tiga siang berikut hiburan. Tapi pemerintah kemudian mengimbau agar paket Nyepi di hotel tidak menyelenggarakan hiburan. Tampaknya imbauan ini ditaati.
Sebuah hotel di Pantai Sindu, Sanur, melaksanakan paket Nyepi dengan ketat. Lampu-lampu di taman dan di teras dipadamkan. Lampu kamar secukupnya, sehingga hotel jadi gelap gulita. Makan malam dilakukan di ruang tertutup. Tamu-tamu yang ke restoran dan kembali ke kamar diantar petugas hotel dengan lampu senter. Selepas setengah sepuluh makam malam usai. Beberapa tamu asing menganggap Nyepi ini peristiwa unik, tapi ada pula yang menilai tak perlu sampai segelap itu, jadi mengerikan. Yang senang malah berdiri di halaman, menatap langit bertabur bintang.
Lalu, jika hiburan tak diizinkan, untuk apa pula hotel menjual paket Nyepi? Mungkin untuk orang-orang yang takut gelap, sehingga di hotel masih bisa menikmati cahaya lampu di kamar. Tapi, tak sedikit yang akhirnya pergi ke luar Bali, menikmati Nyepi menjadi tamasya. Mereka bisa pergi leluasa, bisa tetap menikmati internet dan televisi. Namun mereka juga sesungguhnya tetap ingin menikmati Nyepi asli di Bali. “Nyepi itu hanya bisa dirasakan di Bali, di lain tempat biasa-biasa saja,” komentar mereka. Tapi, kalau Nyepi di Bali gelap total, mereka tidak tahan.Dulu, paket Nyepi di hotel dipromosikan dengan gencar, hiburan dirancang dengan seksama. Kini Nyepi di hotel bukan lagi sesuatu yang istimewa. *
Aryantha Soethama
Pengarang
1
Komentar